Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Malam di kediaman Jenderal Wei tak pernah benar-benar sepi. Di halaman belakang, suara prajurit yang sedang berlatih terdengar seperti irama yang tak pernah padam.
Namun di kamar pribadi Putri Wei Lian, suasana justru seperti badai yang menanti untuk dilepaskan.
Di balik meja kayu jati besar, Wei Lian menatap sehelai kertas tipis berhiaskan tinta merah muda. Tinta itu bukan dari tangannya. Ia menyuruh salah satu pelayan andalannya, seorang kaligrafer diam-diam yang biasa menulis puisi untuk para selir muda, menuliskannya.
Kalimatnya lembut, namun isinya... mematikan.
"Yang Mulia Putra Mahkota, Hamba bukan siapa-siapa, hanya seorang gadis yang mengagumi Anda dari balik bayang.
Melihat Anda bersama kakakku, hatiku terbakar dengan cemburu.
Bila hidup hanya mengizinkan satu dari kami untuk berdiri di sisi Anda…
Maka izinkanlah hamba menjadi orang itu.
— Wei Ruo"
Wei Lian memegang surat itu erat. Ia tahu surat ini bukan sekadar jebakan. Ini awal dari serangan baliknya. Putra Mahkota Xian adalah pria yang gila kekuasaan, tapi juga tamak wanita. Ia menyukai pujian, dan mudah tergoda jika merasa dicintai diam-diam.
"Aku tahu dia akan menelan ini bulat-bulat," bisiknya.
Ah Rui, pelayan setianya, masuk perlahan membawa jubah hitam dan kerudung tipis.
"Putri, Anda yakin ingin keluar malam-malam seperti ini?" bisik Ah Rui khawatir.
"Aku tak bisa menyerahkan ini pada orang lain. Ini harus melalui jalur yang kutentukan sendiri." Jawab Wei Lian
---
Di gang sempit dekat pasar malam, Wei Lian berpakaian seperti wanita penghibur kelas atas Wei Rou menyelinap ke sebuah kedai teh tua yang dikenal sebagai tempat para pelayan istana berkumpul diam-diam untuk bertukar kabar.
Di sana duduk seorang wanita paruh baya, dikenal sebagai Bibi Zhen, mantan pelayan istana bagian dapur yang sekarang menjual “ramuan awet muda” dan gosip paling segar seantero Luoyang.
Bibi Zhen langsung menoleh saat melihat "wanita" berjubah hitam duduk di meja belakang.
"Siapa kau?" tanyanya curiga.
Wei Lian tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi perak dan meletakkannya di atas meja, lalu menggeser suratnya pelan.
“Beri ini pada pelayan yang biasa mengurus kamar Putra Mahkota. Bilang ini dari pengagumnya yang diam-diam. Pastikan surat ini dibaca.”
Bibi Zhen menatapnya lama. “Kau... orang istana?”
Wei Lian tersenyum samar dari balik kerudung. “Yang pasti, aku lebih tahu isi istana daripada yang kau bayangkan.”
---
Keesokan harinya…
Di kediaman Putra Mahkota Xian, pelayan muda yang baru datang dari luar istana menemukan surat itu saat merapikan bunga di meja depan kamar sang pangeran. Ia tak tahu dari mana surat itu datang, tapi segel peraknya menunjukkan ini bukan surat main-main.
Putra Mahkota membaca surat itu dengan ekspresi senyum sinis. Ia mengangkat alis saat membaca nama di akhir surat.
“Wei Ruo…? Adik Wei Lian?” gumamnya.
Mata pangeran itu memicing. Wei Ruo memang lebih muda, lebih lembut, dan lebih "penurut" dibanding kakaknya yang keras kepala. Kalau ini benar… maka ia mungkin bisa memiliki keduanya dan menjatuhkan satu.
“Apa aku seberharga itu, sampai adik iparku pun tak bisa menahan perasaannya?” gumamnya penuh keangkuhan.
---
Sementara itu, di ruang belakang kediaman Jenderal Wei, Wei Ruo tanpa tahu apa-apa sedang belajar merangkai bunga bersama ibunda mereka.
“Ruo'er, kau tampak bahagia hari ini,” kata ibu mereka lembut.
Wei Ruo tersenyum manis. “Hamba hanya senang karena kakak akan segera menikah. Kami semua akan lebih terhormat di istana.”
Dalam hati, Wei Lian yang menguping dari balik dinding dalam lorong rahasia, hampir tertawa. Tunggu saja, Ruo. Kau ingin naik ke istana? Silakan. Tapi bukan sebagai adik dari permaisuri. Kau akan menjadi perusak kehormatan keluarga sendiri.
---
Di sisi lain kota, di atap rumah para pedagang sutra…
Mo Yichen duduk bersila sambil menyesap teh. Zhao Jin, si pengawal lucu tapi setia, sedang membaca papan pengumuman yang baru dipasang.
“Wah! Lihat ini, Tuan Mo! Putra Mahkota akan menunda pengumuman tanggal pernikahan karena katanya ada ‘masalah pribadi dalam keluarga calon mempelai’. Wah, wah…”
Mo Yichen tersenyum tipis. “Dia sudah mulai goyah.”
Zhao Jin menatapnya dengan mata membelalak. “Jadi rumor tentang surat cinta itu benar? Yang katanya dari adik calon istrinya?”
“Aku tak tahu siapa mengirim surat itu, tapi efeknya jelas. Dan jika dugaan kita benar… maka Putri Wei Lian sedang memulai permainan berbahaya.”
“Yang Mul—eh, Tuan Mo, bolehkah saya bertanya?”
“Tidak boleh,” jawab Mo Yichen tanpa menoleh.
Zhao Jin tetap lanjut. “Kenapa Anda begitu tertarik pada gadis itu? Bukankah kita sedang mencari pengkhianat istana? Bukan… calon istri.”
Mo Yichen menatap jauh, lalu berkata pelan, “Karena gadis itu tidak takut kotor. Ia melompat menyelamatkan anak-anak di pasar, tidak peduli wajahnya dikenali. Itu bukan wanita biasa.”
Zhao Jin mengangguk-angguk bijak, lalu mengunyah kacang. “Jadi… kita bantu dia?”
“Kita awasi dulu. Tapi kalau dia benar-benar ingin melawan Putra Mahkota, kita tidak bisa diam.”
Zhao Jin tersedak. “Melawan Putra Mahkota?! Itu seperti mencoba menyedot laut dengan sendok teh, Tuan!”
Mo Yichen tertawa kecil. “Maka kita perlu sendok yang sangat tajam.”
Zhao Jin memiringkan kepala. “apa tuan jatuh cinta padanya ya, Tuan?”
Mo Yichen tidak menjawab hanya tersenyum.
---
Malam itu, Wei Ruo dipanggil oleh Putra Mahkota ke istana secara resmi, dengan alasan membahas persiapan upacara keluarga. Jenderal Wei yang polos tak menaruh curiga, bahkan merasa bangga karena kedua putrinya mendapat perhatian dari pangeran.
Wei Lian berdiri di beranda kamarnya, menatap bayangan kereta yang membawa Wei Rui menuju istana.
Ah Rui bertanya lirih, “Putri, Anda yakin ingin adik Anda masuk perangkap ini?”
Wei Lian menoleh perlahan. Wajahnya dingin, namun tidak kejam.
“Dia yang memilih jalan ini sendiri. Bahkan di kehidupan sebelumnya, dia rela menghancurkan Ayah dan Ibu demi kekuasaan.”
“Lalu... langkah selanjutnya?” tanya Ah Rui
Wei Lian menyeringai kecil. “Langkah selanjutnya? Aku akan membiarkan Putra Mahkota dan Wei Ruo tenggelam dalam ambisi mereka. Saat mereka saling menggenggam… aku akan memotong tali yang mereka pegang.”
---
Di dalam istana, Putra Mahkota menyambut Wei Ruo dengan senyum penuh arti.
“Kau datang… Ruo’er.”
Wei Ruo menunduk sopan, tapi jantungnya berdebar. “Hamba… hanya datang karena diperintahkan.”
“Tak perlu canggung. Suratmu… begitu tulus.”
Wei Ruo membeku. “S-su… surat?”
Putra Mahkota mengangkatnya perlahan dan memperlihatkan surat itu. “Jangan malu. Aku mengerti. Kau berbeda dari kakakmu. Kau… lebih halus. Lebih bijak. Mungkin… lebih pantas.”
Mata Wei Ruo berkedip bingung. Tapi ia tak menolak. Ia tahu ini adalah kesempatan. Ia berpura-pura menunduk lagi, lalu berkata pelan:
“Hamba hanya ingin… berada di sisi Yang Mulia.”
---
Di luar jendela istana, tak jauh dari sana, Mo Yichen menyaksikan semua ini dari jauh. Dengan tatapan tajam, ia menghela napas.
“Putri Wei Lian… kau menusuk mereka dari balik bayangan. Tapi sampai kapan kau bisa main sendirian?”
Zhao Jin duduk di sebelahnya, sedang makan kue isi kacang.
“Kalau kau cinta, kenapa nggak bantu sekalian?”
Mo Yichen tersenyum. “Aku tidak akan mencampuri rencananya. Kecuali jika ada yang ingin mendorongnya. Saat itu… baru aku tangkap.”
bersambung