Putri Yang Kembali, Kaisar Yang Menanti
Langit di atas ibu kota Luoyang seperti sedang menangis. Awan mendung menggulung tebal, seolah tahu bahwa hari itu akan menjadi saksi dari pengkhianatan paling kejam dalam sejarah istana kekaisaran.
Di pelataran luas di depan gerbang utama istana, ribuan pasang mata rakyat berkumpul. Mereka berdiri dalam diam.
Tak ada yang bersorak, tak ada yang tertawa. Bahkan para penjaga istana yang biasa bengis pun terlihat ragu menatap barisan yang sedang digiring menuju tiang eksekusi.
Mereka sebenarnya tidak percaya dan tidak sanggup melihat jendral mereka di perlakukan seperti ini tapi mereka bukan siapa siapa yang bisa melawan.
Seorang jendral dan istrinya, beserta pengikut dan keluarga besarnya ya g berda di sana.
Mereka diikat dan didorong paksa ke tengah lapangan. Darah segar mengalir dari luka di wajah dan tubuh mereka.
Salah satu perempuan, mengenakan pakaian putih yang compang-camping, wajahnya bengkak penuh luka. Namun dari matanya masih menyala api yang dulu membuatnya dikenal sebagai Putri Wei Lian, anak sulung Jenderal Wei, sang legenda perang, pemilik 300.000 pasukan elit utara.
Kini, ia tidak lebih dari tawanan.
Putri dari keluarga pahlawan, dijadikan tumbal kekuasaan.
Dari atas panggung tinggi berdiri dua orang berpakaian megah. Seorang pria muda berjubah ungu kerajaan dengan mata elang dan senyum dingin: Putra Mahkota Xian. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik bersanggul indah dan perhiasan istana Wei Rou, adik kandung Wei Lian.
Wei Lian menatap mereka dengan mata nanar. Ia terengah, tapi tetap memaksa bicara.
“Kenapa... Rou’er... kau adikku... kenapa kau...?” tanya Wei Lian terbata
Wei Rou tersenyum manis. Tapi senyum itu tak membawa hangat. "Jiejie, bukankah kau yang egois? Seharusnya aku yang menjadi Putri Jenderal, bukan kau. Seharusnya aku yang diperistri Putra Mahkota."
“Tidak... Ayah... Ibu... kita membesarkanmu... dengan cinta...” Wei Lian menangis,
"Apa kau lupa kau juga darah keluarga Wei... dan orang yang kau khianati adalah keluarga dan ayah ibumu sendiri" ujar Wei Lian putus asa ingin berdiri tapi tubuhnya tak mampu berdiri. Ia jatuh berlutut, tak kuasa melawan.
Sedangkan Wei Rou hanya diam tidak perduli, yang ia perdulikan saat ini ia akan jadi permaisuri kekaisaran ini.
Putra Mahkota Xian sendiri menatap ke bawah dengan tatapan jijik. “Wei Lian, selama ini kau hanya batu loncatan. Aku hanya membutuhkan ayahmu. Setelah dukungan militer diberikan, kau... tak lebih dari beban.”
Wei Lian menggeleng, tak percaya. “Kau mencintaiku... kau berjanji...”
“Janji adalah senjata, Wei Lian. Dan kau... terlalu mudah percaya.” jawab Putra Mahkota Xian
Jeritan Wei Lian pecah. Tapi bukan hanya karena pengkhianatan itu.
Sebab di hadapannya, pedang algojo sudah terangkat tinggi.
“Ayah.....!!!” teriak Wei Lian histeris.
Tapi suara sudah terlambat. Pedang turun.
Suara tubuh jatuh menghantam tanah. Darah memercik.
Jenderal Wei—ayahnya—tumbang pertama. Ibu dan yang lain mulai menyusul.
Wei Lian menjerit, suaranya melengking memecah langit Luoyang. Tapi tiada satu pun yang mendekat.
Tak ada tangan yang menolong. Bahkan rakyat pun tak berani bersuara. Mereka hanya bisa menyaksikan tragedi itu, dengan mulut tertutup dan hati tersayat.
Putri Wei Lian jatuh lemas. Dunia dalam pikirannya seakan ikut mati bersama keluarganya.
"Pengawal.... Bawa wanita menjijikan itu kepenjara, belum waktunya ia mati. Siksa dulu dia jangan beri makan dan minum, setelah tiga hari baru eksekusi " teriak Putra Mahkota Xian dengan lantang
Wei Rou yang mendengar itu sangat bahagia melihat Jie jienya menderita.
Ia sangat puas lalu pergi bersama Putra Mahkota Xian
---
Hari berganti malam. Wei Lian dikurung dalam penjara bawah tanah istana, tempat para pemberontak dan penjahat negara biasanya dibuang. Rantai besi mengekang tangannya, dan luka di sekujur tubuhnya membuat napasnya berat.
Ia tak makan, tak minum. Tidak ada air, tidak ada sinar. Hanya aroma besi dan darah.
Hari pertama, ia berusaha berteriak, meminta keadilan.
Hari kedua, ia terdiam. Menangis dalam senyap.
Hari ketiga, ia tidak menangis. Tidak bicara. Hanya menatap langit sempit di celah-celah batu bata dengan mata kosong.
Saat malam ketiga datang, pintu besi terbuka. Seorang algojo masuk membawa pedang pendek.
"Sudah saatnya. Atas perintah Putra Mahkota, kau akan diakhiri malam ini," ucapnya tanpa emosi dan menunduk tidak berani melihat Wei Lian disana.
Wei Lian menatapnya datar. Tak ada ketakutan.
Ia tersenyum samar. Tapi bukan senyum pasrah. Melainkan senyum... yang menyeramkan.
Ia menutup mata, lalu berbisik pelan.
"Dewa Langit, jika ada satu harapan yang bisa kau dengar... kembalikan waktuku. Aku tidak meminta hidup abadi, tidak meminta mukjizat... hanya satu kesempatan. Satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Petir mengguncang langit, angin bertiup kencang di luar, berputar kuar hingga menghancurkan dinding dinding istana.
Algojo tersentak. Tiba-tiba, kilat putih menyambar langsung ke dalam penjara.
Wei Lian memekik—tapi bukan karena sakit. Tubuhnya melayang. Dunia berputar. Semua menjadi putih.
Lalu—gelap.
---
Saat Wei Lian membuka mata, ia terengah dan terduduk. Tubuhnya berkeringat. Namun... tidak ada luka. Tidak ada darah. Tidak ada rantai.
Ia menatap sekeliling dengan bingung.
Ranjang kayu berukir phoenix. Tirai sutra hijau muda. Aroma bunga prem menguar dari dupa kecil.
Kamarnya.
Kamar pribadinya di kediaman Jenderal Wei.
Wei Lian berlari ke cermin.
Wajahnya... masih muda. Belum ada bekas luka. Tidak ada darah.
Ia melihat keluar jendela. Halaman kediaman ramai. Ayahnya sedang berlatih pedang seperti biasa di pagi hari. Adiknya, Wei Rou, sedang menari bersama pelatih pribadi. Para pelayan sibuk membawa nampan sarapan.
"Ini... bukan mimpi. Ini... masa lalu" gumam Wei Lian
Ia meraba dadanya. Air mata meleleh.
"Langit benar-benar mengabulkan doaku..." ujar Wei Lian menangis haru
---
Hari itu, tepat satu bulan sebelum perjodohan dengan Putra Mahkota Xian diumumkan secara resmi.
Wei Lian menenangkan napas. Tapi hatinya sudah membara.
"Jika satu bulan ini adalah milikku... aku akan gunakan sebaik mungkin."
"Pertama, Aku harus membatalkan perjodohan itu. Kedua, menyelidiki siapa saja pengkhianat yang bekerja di balik layar. Ketiga... memastikan adikku tidak punya celah untuk menusuk dari belakang lagi" gumam Wei Lian dalam hati
Wei Lian bangkit dari tempat tidur.
Hari ini... ia tidak lagi menjadi Putri yang lembut dan polos.
Hari ini, Wei Lian memulai langkah menuju balas dendam dan menuju takdir baru yang tidak pernah ia duga.
Tak jauh dari sana, seorang pria berkuda masuk ke kota dengan pakaian rakyat biasa dan senyum tipis di wajahnya. Di belakangnya, pengawal setianya menguap sambil membawa karung berisi panci.
Pria itu menatap ke arah kediaman Jenderal Wei, lalu berbisik:
“Tempat ini... punya aroma menarik.”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Wulan Sari
ibu mampir baca juga semoga cerita ini menarik dan selalu buat inspirasi dan bembelajaran untuk kehidupan walau hanya sebuah cerita ....
salam sehat selalu Thor semangat untuk selalu berkarya 👍💪❤️🙂🙏
2025-06-17
0
Osie
masih awal..aku mampiiiirrr selalu ku suka cerita transmigrasi..moga kali ini MC nya tetap sosok tangguh..jago bela diri n gak gampang ditindas
2025-06-17
0
MommyRea
hadir kembali Thor di karya terbarumu... semangat 💪😘
2025-06-18
0