Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Dua hari setelah pertemuan di rumah Nayla, Raisa menerima pesan tak terduga.
“Datang ke rumah. Kita perlu bicara. Sendirian. – Nayla.”
Raisa menatap layar ponsel lama sekali. Sendirian? Jantungnya berdegup kencang. Tapi ia tahu, ia tak bisa menghindar selamanya.
Sore itu, Raisa berdiri di depan rumah besar itu lagi. Suasananya sepi, hanya terdengar suara burung dari pepohonan sekitar.
Nayla membuka pintu, mengenakan kaus santai dan celana pendek, tapi ekspresinya dingin seperti pertama kali mereka bertemu.
“Masuk,” ucapnya singkat.
Raisa duduk di sofa ruang tamu. Nayla berdiri tak jauh darinya, bersedekap, menatap seperti menilai setiap gerak-geriknya.
“Aku nggak akan muter-muter. Aku mau tahu satu hal.” Nayla mulai bicara.
Raisa menelan ludah. “Apa?”
“Kenapa harus Papaku?”
Kata-kata itu menampar Raisa.
Nayla melangkah mendekat, tatapannya menusuk. “Kamu nggak punya pilihan lain? Kayak nggak ada pria lain aja? Papaku bahkan sudah tua. Nggak cocok sama kamu.”
Raisa menggenggam ujung rok yang ia pakai. Ia tahu Nayla marah, tapi mendengarnya langsung… sakit sekali.
“Aku… nggak pernah rencanain ini,” Raisa menjawab lirih. “Aku nggak tahu ini akan sejauh ini. Tapi…”
“Tapi apa?” Nayla memotong cepat. “Kamu jatuh cinta sama dia? Please, itu klise banget. Apa kamu sadar orang-orang ngomongin kamu di luar sana? Kamu jadi bahan gosip nasional. Dan Papaku? Dia kelihatan… kayak pria setengah baya yang nggak tahu diri.”
Raisa mengangkat wajahnya. Ada air mata di sudut matanya, tapi ia menahan agar tak jatuh. “Aku tahu. Aku tahu orang-orang ngomongin kami. Tapi aku nggak di sini buat uangnya. Aku di sini… karena aku sayang sama Papa kamu.”
Nayla tertawa pendek, sinis. “Sayang? Kamu bahkan seumuran aku. Kamu tahu gimana rasanya lihat cewek seumuran tiba-tiba masuk ke hidup Papa kamu? Jadi… apa? Jadi ibuku?”
Raisa terdiam. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ia kira.
“Denger, Raisa.” Nada Nayla melunak sedikit, tapi tetap tajam. “Papa orang baik. Tapi dia terlalu baik. Dan aku nggak mau lihat dia dimanfaatin. Jadi kalau kamu cuma main-main, mending pergi sekarang sebelum dia makin jatuh.”
Raisa menunduk. Jari-jarinya menggenggam erat. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tercekat.
Saat itu, suara langkah kaki terdengar. Ardan berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja kerja yang lengan panjangnya dilipat.
“Nayla.” Suaranya datar, tapi penuh peringatan.
Nayla menoleh. “Papa, aku cuma ngomong apa yang semua orang pikir.”
“Cukup.”
Nayla menghela napas keras, lalu melangkah pergi ke lantai atas tanpa berkata apa-apa.
Hening.
Raisa masih duduk, menatap lantai. Ardan berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya.
“Dia masih marah,” kata Ardan, lembut. “Tapi itu bukan salahmu.”
Raisa akhirnya bersuara, pelan. “Om… mungkin Nayla benar. Aku… nggak cocok buat Om.”
Ardan menatapnya tajam. “Kamu pikir aku peduli apa kata orang? Atau bahkan anakku? Ini hidupku, Raisa. Keputusanku.”
Raisa menggigit bibirnya. “Tapi Om, aku nggak mau jadi alasan Nayla benci Om.”
Ardan menghela napas, lalu mengambil tangan Raisa, menggenggamnya erat. “Kalau Nayla butuh waktu, aku akan kasih dia waktu. Tapi aku nggak akan melepaskanmu.”
Raisa menatap tangan mereka. “Kenapa Om selalu yakin?”
Ardan menatapnya, senyumnya tipis. “Karena satu-satunya cara melawan dunia adalah yakin pada pilihanmu.”
Malam itu, di perjalanan pulang, Raisa menatap jendela mobil dengan pikiran kacau. Kata-kata Nayla terus terngiang: “Kayak nggak ada pria lain aja? Papaku bahkan sudah tua. Nggak cocok sama kamu.”
Tapi genggaman tangan Ardan di atas kemudinya juga tetap terasa. Hangat. Mengikat.
Untuk pertama kalinya, Raisa sadar—ia bukan hanya berjuang untuk cintanya pada Ardan. Tapi juga untuk haknya atas pilihannya sendiri.
*
Malam sudah larut ketika Raisa tiba di apartemen Ardan. Ia tak langsung masuk, hanya berdiri di depan pintu, menunduk, menimbang apakah sebaiknya ia pulang saja.
Percakapan dengan Nayla terus terngiang. “Kamu nggak punya pilihan lain? Papaku bahkan sudah tua. Nggak cocok sama kamu.”
Setiap kata itu seperti duri.
Pintu tiba-tiba terbuka. Ardan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja abu-abu yang beberapa kancingnya dibiarkan terbuka, membuatnya terlihat lelah tapi tetap… menyebalkan tampan.
“Kamu di sini,” ucapnya pelan.
Raisa hanya mengangguk. “Om… aku nggak tahu harus ke mana. Jadi aku…”
Ardan tak menunggu. Ia menarik Raisa masuk, menutup pintu, lalu berdiri di depannya. “Kamu nggak perlu tahu harus ke mana. Kalau kamu butuh tempat, kamu selalu punya tempat di sini.”
Kata-kata itu membuat pertahanan Raisa runtuh. Air mata yang ia tahan sejak pertemuan tadi akhirnya jatuh.
“Om… aku capek.”
Ardan mendekat, mengelus pipinya, menyapu air mata itu dengan ibu jarinya. “Aku tahu.”
Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Hanya saja, tiba-tiba Raisa sudah berada dalam pelukan Ardan—erat, hangat, seolah semua luka bisa sembuh di sana.
“Om…” suaranya bergetar. “Jangan lepasin aku.”
Ardan menunduk, membisikkan di telinganya, “Nggak akan.”
Raisa mendongak, dan di sanalah tatapan mereka bertemu. Napas mereka beradu. Wajah Ardan begitu dekat, hingga Raisa bisa merasakan detak jantungnya.
Tanpa berpikir, Raisa mendekat. Dan kali ini, tidak ada keraguan.
Bibir mereka bertemu, lebih cepat, lebih mendesak daripada ciuman di pantai. Tidak ada rasa ragu, hanya kebutuhan untuk merasa… hidup.
Ardan merespons, menarik pinggang Raisa lebih dekat, memperdalam ciuman itu. Jari-jarinya menyelip di rambut belakang kepalanya, menahannya agar tidak berpaling.
Raisa memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan itu. Semua kegelisahan, semua luka, semua kata-kata menyakitkan Nayla… hilang.
Ketika mereka akhirnya melepaskan diri, napas keduanya berat.
Ardan menatapnya, matanya dalam, suaranya rendah tapi tegas. “Raisa… sekali lagi kamu bilang nggak yakin soal kita, aku akan cium kamu sampai kamu nggak bisa ngomong.”
Raisa terkekeh kecil di sela air matanya. “Om ini… gila.”
Ardan menyentuh keningnya pada kening Raisa. “Gila untuk kamu.”
Malam itu, mereka tak banyak bicara lagi. Raisa duduk di pangkuannya di sofa, kepalanya bersandar di dada Ardan, mendengarkan detak jantung pria itu.
Untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan dimulai, ia merasa aman.
Dan di dalam hati kecilnya, Raisa tahu: ia tak ingin ke mana pun lagi.