Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Hujan rintik turun pelan, membasahi aspal jalanan yang berkilau terkena cahaya lampu. Celine melangkah cepat keluar dari rumahnya, membawa satu tas pakaian di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya hampa.
Tanpa menoleh ke belakang, ia menahan taksi yang melintas dan segera masuk ke dalam.
Dari seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir dalam senyap, nyaris tak terlihat di balik bayang-bayang pohon. Di dalamnya duduk Wallace Huang, diam dengan ekspresi tajam, serta Nico, asistennya, yang mengamati situasi dengan waspada.
"Tuan, apakah dia melarikan diri... atau sedang membantu Mike Lin?" tanya Nico, menatap bayangan Celine yang semakin menjauh di dalam taksi.
Wallace tidak langsung menjawab. Ia menyipitkan mata, mengamati gerak-gerik gadis itu dengan sorot penuh kecurigaan. Jemarinya mengetuk pelan sisi kursi, seperti sedang menghitung kemungkinan.
"Kalau dia membantu Mike..."
Suara Wallace dalam, dingin, dan mengandung ancaman yang tak terselubung.
"...maka dia harus diberi pelajaran yang setimpal dengan apa yang dialami Mark."
Ia membalikkan wajahnya ke Nico, tatapannya tajam bagaikan pisau.
"Ikuti dia. Aku ingin tahu... apakah dia benar-benar peduli pada Mark... atau hanya berpura-pura."
"Baik, Tuan!" Nico segera menyalakan mesin, dan perlahan mereka mengikuti taksi dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian – Depan Sebuah Klub Malam
Taksi berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu neon mencolok. Musik berdentum samar dari dalam. Celine turun perlahan, wajahnya tetap pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Langkah kakinya lemah, namun penuh tekad.
"Aku berharap... sebelum waktunya tiba, rencanaku berhasil."
Batin Celine bergejolak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Lalu, ia melangkah masuk ke dalam klub malam, menghilang di balik pintu bercahaya merah.
Dari kejauhan, Wallace memperhatikan dengan ekspresi tak terbaca.
"Beraninya dia masuk ke tempat seperti itu di malam hari..." gumamnya rendah.
Tanpa membuang waktu, Wallace membuka pintu mobil dan turun. Langkahnya mantap, tegas, membelah hujan tipis malam itu dengan aura dingin yang membuat orang enggan mendekat.
Nico segera turun dan mengikuti dari belakang, namun menjaga jarak.
Di lorong remang klub malam itu, lampu-lampu redup berkedip dan suara bass berdentum lembut dari balik pintu-pintu berlapis kedap suara. Celine melangkah pelan namun pasti, menyusuri lorong panjang menuju sebuah ruangan karaoke di ujung. Sepatunya bergema ringan, seolah menandai setiap langkah yang mengantarnya pada sesuatu yang tak ia inginkan, tapi harus ia hadapi.
Tanpa menyadari bahwa Wallace mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak terdeteksi, Celine berhenti di depan pintu dengan nomor buram yang menyala redup. Ia membuka pintunya—dan langsung disambut dengan pemandangan yang membuat hatinya semakin mual.
Mike Lin, kakaknya sendiri, sedang duduk santai di sofa merah dengan tangan merangkul dua wanita malam yang mengenakan pakaian minim. Meja di depannya penuh botol minuman keras, abu rokok, dan sisa-sisa kekacauan pesta murahan.
"Kau sudah datang. Lama sekali. Apa tidak bisa lebih cepat? Sungguh tidak berguna," cetus Mike dengan nada menghina. Matanya setengah mabuk, mulutnya menyeringai sinis.
Celine tidak menanggapi hinaan itu. Dengan wajah dingin dan suara tegas, ia memerintah.
"Kalian semua keluar!" ucapnya lantang, menatap dua wanita itu tajam.
Kedua wanita itu saling berpandangan, tak percaya seorang gadis kurus dan tampak lemah berani mengusir mereka.
Mike tertawa sinis, memutar matanya.
"Hei, kau ke sini hanya untuk mengantar baju, uang, dan tiket. Bukan untuk mengganggu kesenanganku!" katanya, masih malas beranjak dari posisi santainya.
Celine menahan amarah. Tangannya gemetar, tapi suaranya tetap kokoh.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Suruh mereka keluar. Uang dan tiket ada padaku," katanya dengan nada yang tak bisa ditawar.
Mike memutar bola matanya, wajahnya menunjukkan kejengkelan. Namun, ia juga tahu, tanpa Celine, ia tidak akan bisa kabur dari kota ini.
"Berani sekali melawan!" desisnya, tapi akhirnya mengibaskan tangan.
"Kalian keluar, tunggu aku di luar," titah Mike dingin.
Kedua wanita itu mendengus kesal namun tetap keluar, menutup pintu dengan kasar di belakang mereka.
Kini, hanya Celine dan Mike yang tersisa di dalam ruangan. Cahaya lampu merah temaram menerangi wajah Celine yang pucat dan penuh luka batin, serta wajah Mike yang licik dan tak tahu malu.
Di luar sana, Wallace berdiri di balik tirai pintu kaca yang sedikit terbuka, mengamati dengan rahang mengeras.
Mike menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan kasar, memutar kepalanya penuh kesal.
"Mana uang dan tiketku?" bentaknya tajam. Matanya merah dan sedikit sayu akibat alkohol, tapi masih menyimpan sorot dingin penuh tuntutan.
Celine tidak langsung menjawab. Ia berdiri tegak di depan kakaknya, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang sudah terlalu lama ia pendam.
"Kenapa harus Mark?" suaranya nyaris bergetar, namun penuh luka.
"Apakah kau belum cukup menyiksaku selama ini sampai harus melibatkan temanku juga?"
Mike tertawa pendek, sinis, seolah tidak mengerti mengapa adiknya bisa merasa tersakiti.
"Kenapa kau harus keberatan, ha? Siapa dia, si Mark itu? Dia cuma orang asing. Dan kau, Celine..." katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berubah mengancam.
"...berani melawanku demi dia?"
Ia berdiri, melangkah pelan ke arah Celine sambil menudingkan jarinya.
"Jangan lupa. Aku ini kakak kandungmu. Satu-satunya harapan keluarga. Jadi kau harus ingat tanggung jawabmu!"
"Kau harus membantuku jadi pengacara. Rajin kerja. Dan rutin transfer uang padaku!" lanjutnya, nada suaranya menuntut, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Celine memejamkan mata sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi kali ini, ia tidak akan diam. Tidak lagi.
"Selama ini, semua gajiku—aku kirim ke rekeningmu," ucapnya pelan tapi jelas.
"Semua uang itu... kau habiskan untuk berjudi. Untuk minum. Untuk main perempuan."
Napasnya tercekat, tapi ia menatap Mike tepat di mata.
"Bahkan... diriku juga kau jual."
Hening.
"Apa lagi yang belum aku lakukan untukmu?" lanjut Celine, suaranya mulai bergetar.
"Aku kehilangan hidupku. Aku kehilangan masa depanku. Semua karena kamu. Tapi sekarang... kamu melukai satu-satunya orang yang peduli padaku tanpa alasan!"
Dan tanpa mereka sadari… Wallace, yang masih mengintip dari luar, mendengar semuanya.
Sorot matanya berubah. Wajahnya yang tadinya penuh kebencian terhadap Celine perlahan mulai retak. Ada sesuatu dalam kata-kata gadis itu yang menusuk hatinya—sesuatu yang mungkin tidak ingin ia akui, tapi tidak bisa ia abaikan.
"Tidak perlu basa-basi," desis Mike, nadanya dingin dan tajam seperti pisau.
"Kalau kau hanya ingin mengungkit bajingan itu—lebih baik kau diam. Serahkan uang dan tiketnya sekarang juga!"
"Tidak!" katanya tegas, dengan napas berat.
"Aku tidak ada uang lagi, Dan malam ini... tidak ada satu pun dari kita yang bisa tinggalkan ruangan ini."
Mike menghentak satu langkah ke depan, ekspresinya berubah gelap.
"Apa maksudmu?! Kau... mengancamku?"
Tangan Mike yang kasar terangkat cepat, mengarah ke leher Celine seperti kebiasaannya saat ingin mendominasi. Tapi malam ini berbeda.
Brak!
Sebuah suara keras memecah udara di ruangan itu.
Celine bergerak lebih cepat—dengan tangan gemetar dan mata penuh air, ia meraih botol kaca dari atas meja dan menghantamkannya ke kepala kakaknya dengan seluruh kekuatan yang ia punya.
Botol pecah. Darah mengalir. Mike terhuyung.
Ia terdiam sejenak, lalu berlutut dengan tangan memegang sisi kepalanya yang berdarah, mengerang kesakitan.
"Dasar jalang... kau berani...!" geram Mike, masih berusaha bangkit meski tubuhnya limbung.
Celine terengah-engah, jantungnya berdebar seakan akan meledak. Tangannya berlumuran darah—bukan darahnya, tapi darah orang yang selama ini menyiksanya.