NovelToon NovelToon
Antara Ada Dan Tiada

Antara Ada Dan Tiada

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:333
Nilai: 5
Nama Author: Sazzzy

"Apa yang kamu bicarakan Lin Yi? A-aku sudah kotor sejak kecil haha, dan kamu, dan kalian kenapa masih tertarik pada perempuan sepertiku? Sepertinya kalian kurang berbaur ya, diluar sana masih banyak loh gadis yang lebih dariku dari segi fisik dan mental, so, kerjasama kita bertiga harus profesional ya!" Sebenarnya Safma hanya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, walaupun Safma sendiri tidak terlalu paham dengan maksud dari kalimatnya secara mendalam. Tidak ada airmata dari wajah Safma, wajahnya benar-benar pintar menyembunyikan emosinya.

"Safma!" Sudah habis kesabaran Lin Yi, kemudian menarik tangan Safma pelan juga tiba-tiba namun dapat membuat gadis itu terhuyung karena tidak seimbang. "Jangan bicarakan hal itu lagi, hatiku sangat sakit mendengarnya. Kamu terlalu berharga untukku, Please biarkan aku terus mencintaimu!" Lirih Lin Yi dibarengi air mata yang mulai berjatuhan tanpa seijinnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sazzzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Safma dan River

Safma pun menggelar karpet diikuti River yang meletakkan makanan yang dibelinya tadi.

Setelah membeli makanan dan minuman yang dibelinya dari gerai tadi, Safma dan River kini duduk di taman dengan hamparan rumput hijau yang cocok untuk piknik.

Ya, Safma berfikir hari ini untuk mengadakan acara piknik dadakan yang sederhana. Begitulah sisi lain Safma, random, susah ditebak dan suka mendadak.

Kalau kata zodiak Safma, ya begitulah sosok karakter kelahiran February berzodiak Pisces.

Contohnya seperti dulu, saat masih duduk di bangku sekolah, Safma selalu mengerjakan PR saat hari h PR dikumpulkan padahal itu adalah tugas dua minggu lalu. 

Pernah juga dia diberi tugas membawa pupuk dari kotoran ternak, dan baru bilang sama orang tuanya saat pagi hari dan itu hari h tugas dikumpulkan. Orangtuanya pun kalang kabut dan tak habis pikir, sedangkan Safma cengar-cengir ngerasa bersalah. 

Mana pupuk dari kotoran ternak itu harus dikumpulkan hari itu juga, dan ga hanya sekilo, melainkan lima kilo.

Saat ibunya mengomeli sambil melotot, Safma mendekati ibunya dan berkata. 

"Mak, jangan marah ih." Sambil cengar-cengir.

Bukannya redup amarahnya, sepertinya kekesalan sang ibu bertambah dengar celetukan anak tengahnya itu.

"Owalah, tugas minggu lalu kok bilangnya baru sekarang? Senengnya dadakan kamu ini." Gemas sang ibu berkacak pinggang yang dibalas senyuman tidak berdosa Safma.

Tapi untungnya tetangganya memiliki ternak dan tentunya memiliki barang yang dibutuhkan Safma.

Jadi omelan sang ibu pun berhenti namun tidak dengan pelototannya, sampai Safma menghilang dari balik dinding gang.

Balik lagi dengan Safma dan River.

"Anggap aja ini sebagai acara perayaan em ... Kemenangan kamu terhadap keputusasaan kamu kemarin dan juga hari jadi pertemanan kita. So, cheers!" Senang Safma menjulurkan sekaleng minuman soda untuk cheers bersama.

Dengan senang hati River menyambutnya, mereka tertawa bersama. Ya, sama-sama menertawakan masalah mereka masing-masing lebih tepatnya.

Jangan kalian pikir Safma tidak punya masalah, tentu saja ada. Karena saat ini ia masih bingung sebenarnya dengan keadaannya yang tiba-tiba bisa berada disini dan menyelamatkan pemuda yang ah, memikirkan hal itu membuat Safma nyut-nyutan kepalanya. 

Pertanyaan yang masih setia dipertanyakan oleh Safma adalah, apakah ini mimpi atau nyata?

Lalu kenapa harus dia yang mengambil peran ini?

Apakah ada konspirasi dibalik ini semua?

Atau apakah ini social experiment?

Sungguh, orang dengan type pemikir seperti Safma sangat mudah membuat nyut-nyutan kepala.

Dan makan banyak adalah salah satu obat Safma, ya, memikirkan hal juga butuh energi bukan.

"Safma?" Kejut River dengan memegang tangan Safma yang menggantung didepan mulutnya.

Alhasil makanannya Safma terlepas dan jatuh karena refleks dengan kejutan tiba-tiba dari River. Masih linglung, Safma menunduk melihat makanannya sendiri yang sudah tergeletak tak berdaya di karpetnya.

"Hey, Safma!" Lagi-lagi River berusaha menyadarkan Safma kembali dari lamunannya.

Mendongakkan kepalanya menatap wajah bingung River, lalu menundukkan kepalanya menatap nanar makanannya sendiri lalu mendongakkan kepalanya menatap wajah River lalu menundukkan kepalanya lagi menatap nanar makanannya. 

Safma melakukan hal berulang sampai saat ia sadar, langsung mengambil makanannya yang terjatuh tadi.

Dengan wajah cengar-cengir, Safma memakan makanannya tadi lalu menatap wajah River. "Sayang belum lima menit," dan akhirnya makanan yang terjatuh tadi habis dimakan Safma.

Sedangkan River sendiri memandang Safma dengan wajah tak bisa percaya bahwa didepannya ini jenis manusia macam apa kira-kira.

"Apa yang kamu pikirkan?" River menatap wajah Safma penasaran.

"Aku? Aku sedang memikirkan tentang konspirasi elite global." Nada bicara Safma memang sangat serius, tapi tidak dengan raut wajahnya.

"Sepertinya kamu yang lebih butuh psikiater," saran River bersungguh-sungguh.

"Benar." Tentu saja Safma setuju.

"Ya?" Tanya River mencoba menyakinkan pendengarannya.

"Sebenarnya tak hanya itu, aku butuh ahli gizi, ahli ilmu filsafat, ahli kesehatan, ahli publik speaking, ahli matematika, ahli hukum, ahli sejarah dan masih banyak lagi. Tapi, otakku tidak sampai untuk menampung itu semua, hah ... Apalah dayaku yang lagi mode freeze ini." Entah kenapa Safma merasa sangat lelah akan semuanya, mau menangis juga bingung mulainya dari mana.

Niatnya Safma ingin makan lagi, namun saat tangannya yang di sarungi plastik meraba tak menemukan makanan yang tersisa. Dan benar saja, saat menunduk untuk melihat, benar-benar sudah habis makanan untuk porsinya.

Sadar akan hal itu, Safma membuka sarung tangan plastiknya lalu membereskan bekasnya hingga rapi.

"Ceritakan masalahmu padaku, aku akan mendengarkan curhatan kamu seperti kamu mendengarkan curhatan ku." Tawar River terdengar tulus.

Mendongakkan kepalanya menatap wajah River untuk kesekian kalinya, Safma tersenyum lalu merebahkan tubuhnya yang entah kenapa benar-benar terasa sangat lelah.

Tangannya dilipat untuk dijadikan sebagai bantal, tiga kali Safma terlihat menghela nafas kemudian menatap langit yang bisa dibilang cerah untuk negara dengan empat musim.

Melihat hal itu, River ikut merebahkan tubuhnya di sebrang sana karena terhalang tempat makanan mereka.

"Sesungguhnya aku tidak pandai untuk publik speaking, aku tidak pandai untuk mengungkapkan apa yang ada dipikiran ku saat ini. Ucapanku suka belibet dan tak tertata rapi, apa yang aku ucapkan terkadang itu tidak sama dengan apa yang otakku pikirkan, orang sekarang bilangnya berkata random. Bahkan aku sendiri bingung dengan hal itu, jika kau sadar, ucapanku yang lalu-lalu itu terdengar aneh bukan? Aku akan bisa lancar berbicara tanpa belibet pada orang lain namun seperti berbicara pada diri sendiri seperti ini. Aku tidak tahu jelas awal mula aku mengalami hal ini, yang ku tahu dan sadari adalah saat ini aku memiliki hal itu." Mata Safma terpejam kala angin menerpa wajahnya.

"..." River diam mendengarkan dengan hati merasa tidak nyaman karena sepertinya akan membuka luka lama gadis di sampingnya.

"Aku adalah seorang korban bully selama duduk di bangku sekolah, dulu aku salah satu murid dengan otak encer, tapi semenjak aku kelas tiga sekolah dasar, aku sudah merasakan nikmatnya rasa dibully fisik dan verbal membuat pikiranku bercabang. Dan entah kenapa aku merasa pemikiran ku terlalu dewasa untuk usiaku, karena aku sadar bahwa aku dibully karena aku gadis miskin." Tersenyum pongah karena mengingat masa lalunya.

"..." River tetap diam, ingin mengeluarkan suara namun terasa kelu.

"Untuk fisik, kepalaku jadi sasaran empuk untuk digetok pakai cincin batu asli, juga kepalan tangan bocah laki-laki. Dan verbal, karena aku gadis miskin dengan nilai mata pelajaran tinggi diantara mereka jadi mungkin hal itu membuat mereka iri makanya mereka membully dengan kalimat yang tak pernah dibayangkan untuk diucapkan oleh anak sekolah dasar."

"Mereka juga tak segan menuduh hal yang aku sendiri tidak memahaminya kala itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku pipiku ditampar begitu pelan sampai tercetak telapak tangan berwarna merah dan agak terasa panas juga saat itu, haha aku masih sangat mengingat kejadian itu hingga saat ini. Aku hanya bisa menahan tangis entah karena merasa syok kali ya, karena itu hal pertama bagiku, apalagi saat kejadian akan ada acara upacara yang rutin dilakukan setiap hari senin."

"Tidak ada yang membelaku saat itu dari begitu banyak yang menonton dan kebetulan juga tidak ada guru disana. Setelah upacara selesai, aku izin ke kamar mandi untuk menangis disana namun ketika sampai disana untuk menangis, aku lupa untuk mulai darimana nada awalnya dan ternyata malah aku merasa akan buang air kecil, jadi acara menangis ku ganti dengan buang air kecil."

"Lalu ada salah seorang dari mereka bilang bahwa itu salah paham, tanpa ada rasa bersalah ataupun minta maaf dia biasa saja seakan tak pernah melakukan hal itu. Sebenarnya itu bukan apa-apa dari pembullyan yang mereka lakukan, tapi sungguh aku tidak tahu mereka mendapatkan kata dan kalimat mutiara dulu itu darimana." 

"Dulu juga hampir terjadi pelecehan padaku dan itu dilakukan oleh sebayaku masih sangat kecil, ya, mereka berdalih akan mengajak aku main asal aku mau melakukan hal menjijikan itu dengan sepupu jauhku sendiri dan aku tak tahu apapun saat itu karena aku saja belum sekolah, namun tetap saja aku ingat kejadiannya."

"Sejak kejadian itu, aku yang seorang korban selalu dihina-hina bahkan difitnah sudah tak virgin padahal aku masih virgin loh, aku sadar anak sekecil itu mana mungkin bisa terangsang bahkan menggagahi sebayanya, ditambah kurang dari semenit saat hal itu, keberuntungan datang padaku karena tiba-tiba saja ibuku datang dari pasar dan memanggil aku. Aku benar-benar selamat, tapi hal itu benar-benar menjadi bencana dalam hidupku hingga kini aku dicap wanita murahan." Terkekeh geli Safma menarik nafas dalam-dalam lalu keluar melalui mulutnya.

Beda dengan River yang langsung terduduk mendengar setiap kalimat yang begitu menyesakkan, bagaimana tidak. River tahu perempuan memiliki perasaan yang lebih dominan, dan yang dialami oleh gadis kecil itu membuat River kehilangan kata-kata. Walaupun Safma seakan menyelipkan candaan, tapi River tak menangkap ada kelucuan diasana.

"Dasarnya aku type pemikir ya, seperti yang aku katakan tadi, lama-lama peringkat kelas dari duduk di peringkat pertama jadi drop drastis paling bawah. Gak mau nyalahin siapa-siapa sebenernya, tapi karena efek tekanan itu."

"Jujur saja aku sudah berulang kali berfikir untuk mengakhiri hidupku bahkan beberapa kali berniat untuk itu dengan berbagai macam cara yang sudah ada didepan mata dan tinggal melakukannya, karena aku merasa tak sanggup melalui itu semua. Berada diposisi itu aku pernah merasakannya."

"Mata pelajaran yang dulunya dengan mudah otakku cepat menangkapnya, jadi lama tanggap karena saat itu benar-benar berada di fase tidak percaya diri dan aku juga memutuskan lebih fokus jualan biar jadi orang sukses."

"Setelah melalui semua itu, aku benar-benar memfokuskan diri untuk jualan dan mengembangkan bakat apapun yang ada padaku. Namun tentu saja tidak semudah itu, ditambah aku juga salah satu korban broken home, orang tuaku tidak cerai namun selalu saja berdebat tentang hal yang sepele jadi begitu rumit dan itu setiap hari. Tapi ya ... Begitulah namanya hidup." Merasa sedikit lega telah mencurahkan isi hatinya walaupun tidak tentang hal aneh yang terjadi saat tiba-tiba ia bisa berada disini. 

Dengan senyuman manis Safma menoleh ke samping, tepatnya ke arah River merebahkan tubuhnya. Namun alangkah kagetnya ketika ia tidak mendapati River disana, Safma tahu jika River ikut merebahkan tubuhnya tapi ia tidak tahu kapan pemuda itu berubah posisi menjadi ... Eh, duduk dengan wajah yang tak terbaca?

"Kenapa dengan wajahmu?" Heran Safma dengan tampilan ekspresi wajah yang River tampilkan.

"Safma ..." Entah kenapa River hanya bisa mengeluarkan suara itu saja, entah kenapa River jadi ikut-ikutan berbicara seperti Safma.

"Hem?" sahut Safma santai bahkan sangat santai setelah menceritakan luka lamanya. "Tolong jangan pasang wajah iba itu padaku, kamu bisa membuatku menangis asal kamu tau. Ck, jangan buat aku meninju wajah mu ya!" Ancam Safma tak main-main dan terlihat kesal dengan raut wajah River.

"..." 

"Sudah waktunya pulang," Safma bangkit dari tempatnya dan pergi membawa perbekalan tadi. "Ayo!" Ajaknya santai, melenggang pergi ke parkiran mobilnya.

Dari mulai mobil berjalan sampai di sebuah apartemen milik Safma, mereka berdua hanya berdiam diri dan tak ada dari mereka yang membuka obrolan ataupun sekedar basa-basi.

Di ruang tamu tepatnya di sebuah sofa, Safma menatap heran dengan tingkah aneh River yang terus menatap dirinya dari tadi dengan ekspresi wajah yang tak terbaca oleh Safma. 

Mereka memang tidak mengeluarkan sepatah katapun sejak tadi, tapi River yang terus menatap dirinya di manapun saat bergerak kesana-kemari membuat gadis itu tentu risih dan kesal.

"Apa ada yang ingin kamu bicarakan?" To the points Safma dengan tatapan kesalnya, ya, Safma bukan type orang yang suka basa-basi.

Kehidupannya dulu benar-benar membuat dirinya memiliki aturan sendiri dan kadang merasa tidak percaya diri juga pada orang lain. Safma menyelamatkan pemuda itu juga atas dasar rasa kemanusiaan.

"Em ... Itu," River terlihat ragu sampai menggantung ucapannya selama hampir tiga puluh menit.

Hal yang membuat Safma terkekeh, "Aku rasa kamu ilfeel berteman dengan gadis sepertiku, ga papa kok santai aja."

"Bukan begitu Safma, aku pikir selama ini hidupku paling menyedihkan, ternyata aku salah." Ralat River.

"Aku juga pernah berfikir demikian, dan aku sadar bahwasanya aku tidak hidup sendiri di bumi ini. Terlebih lagi, jalan orang juga hambatannya berbeda-beda. Bisa saja ada yang lebih besar ujiannya daripada aku, ya, kurasa masalahku tidak sebesar itu, aku mungkin berada di level perkenalan akan dunia yang sesungguhnya." Kemudian meminum salah satu cokelat panas yang ada dimeja.

"Kita memang cocok jadi teman." River ikut meminum salah satu minuman coklat panas dimeja.

"Tentu saja," smirk Safma.

Tak lama River berdehem pelan, "Mau lebih juga--"

Safma tentu saja melirik River dengan tajam seraya memotong ucapan pemuda itu, "Kau baru patah hati, aku tidak mau jadi pelarian mu ya! Enak saja."

"Yang benar? Aku pikir, aku lumayan tampan loh, bahkan aku murid paling populer waktu sekolah." Goda pemuda itu sungguh menggelikan.

Lihatlah kerlingan matanya pemuda bernama River itu di imajinasimu, Safma saja muak walaupun yah ia akui River cukup tampan sih.

"Ew, menggelikan!" Sindir Safma tentu saja.

"Oh ayolah, akui saja!" Goda River makin jadi dengan menyenggol lengan Safma.

"Narsis!" Kesal Safma.

Dan dengan refleks mendorong kuat tubuh River sampai nyungsep dengan sempurna. Lalu pergi meninggalkan sofa sekaligus River tanpa berniat menolongnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!