Nayura, gadis SMA yang belum pernah mengenal cinta, tiba-tiba terikat janji pernikahan di usia yang penuh gejolak. Gavin juga remaja, sosok laki-laki dingin dan cuek di depan semua orang, namun menyimpan rasa yang tumbuh sejak pandangan pertama. Di balik senja yang merona, ada cinta yang tersembunyi sekaligus posesif—janji yang mengikat hati dan rasa yang sulit diungkapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadin Alina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : Cowok Baru!?
Mentari pagi menyapa dengan sinar hangatnya, sehangat pelukan ayah di kala rindu. Sinar itu mengusik kesunyian, membuat manusia bergegas dengan segala aktivitasnya.
Tapi tidak dengan Nayura. Gadis berambut panjang dan seragam putih abu-abu itu baru saja turun dari mobil Rio yang melaju pergi.
“Hati-hati, Pa!” teriak Nayura sambil melambaikan tangan penuh kasih. Matanya masih mengikuti mobil yang menjauh itu sebelum melangkah mantap menuju gerbang sekolah.
Sesekali ia tersenyum manis menyapa teman-teman yang lewat, seperti biasa.
“Nayura.”
Suara itu memanggil dari belakang, membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh perlahan, dahinya berkerut saat melihat sosok yang berjalan mendekat.
“Hai,” sapanya santai, berdiri tepat di depan Nayura.
Cowok itu—Raditya, atau biasa dipanggil Radit—tersenyum penuh percaya diri, sedikit menundukkan kepala karena ia memang lebih tinggi dari pada Nayura.
Nayura terdiam, menatap wajah tampan itu tanpa berkedip. Jantungnya berdegup kencang, tangan yang menggenggam tali tas tiba-tiba mengencang seolah menahan badai di dadanya.
“Kenalin, gue Radit,” katanya sambil menjulurkan tangan kekarnya.
Nayura menatap tangan itu sekilas, lalu dengan hati-hati menjabatnya. Detik itu, ada getaran aneh yang menyengat hingga ke ujung jari. Panas dingin.
“Nayura,” balasnya pelan, lalu buru-buru menarik tangan kembali.
“Udah tau,” sahut Radit dengan senyum penuh arti.
“Lah, pake senyum segala kan, gue jadi pengen meleyot, nih!” Nayura membatin
Lutut Nayura tiba-tiba lemas, seolah senyum Radit itu punya kekuatan magis yang bikin dia ingin meleyot—jatuh pingsan di tempat.
“Teng! Teng! Teng!”
Bel berbunyi keras, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Murid-murid berlarian menuju kelas masing-masing.
“Gue ke kelas dulu, ya!” Nayura pamit sambil berlari kecil ke kelas yang tak jauh dari sana.
Radit menatap punggung Nayura yang tertutupi oleh rambut panjangnya yang dibiarkan terurai, tertiup angin yang membuatnya bergoyang indah. Hati Radit bergetar.
“Gue harus dapetin dia,” gumam Radit dengan tekad yang membara, lalu melangkah ke kelasnya yang berseberangan.
“Silakan kumpulkan tugasnya di depan,” titah Bu Neni, guru sejarah, dengan suara tegas namun lembut.
Semua murid bergegas mengambil buku tugas lalu menyerahkannya ke meja guru.
Nayura juga melakukan hal yang sama, tapi ia tak perlu berdiri seperti yang lain. Ia cukup menitipkan bukunya pada Tessa, sahabat sekaligus teman sebangkunya.
Setelah itu, Nayura menyandarkan punggung pada tembok kelas. Tangannya menopang dagu, pikirannya melayang kembali pada Radit, cowok baru yang membuat hatinya berdebar pagi ini.
“Kemana aja gue selama ini? Baru tahu kalau ada cowok setampan Radit di Nusa Dua,” pikir Nayura sambil tersenyum sendiri. Sekolahnya memang bernama Nusa Dua, bukan pulau, ya! :D
Wajah Radit seolah menghantuinya. Ia dibuat senyum-senyum sendiri dan rasanya itu…aaa…gemash banget!
Ngerti nggak sih, kita ketemu cowok tampan trus di sela-sela aktivitas kebayang wajahnya. Rasanya, pengen ketemu lagi, terus-terusan. Kayak momogi, pengen makan lagi dan lagi.
“Lo kenapa?” tanya Tessa yang baru kembali dari mengumpulkan tugas.
Dahinya tertekuk tipis melihat Nayura tengah menutupi wajah dengan kepala yang di geleng-gelengkan.
Ia mendudukkan diri di kursinya, menyerongkan duduk sehingga ia bisa lebih leluasa untuk melihat Nayura.
Karena nggak di respon akhirnya, tangan Tessa terangkat. Menarik kedua tangan yang menutupi wajah Nayura.
Nayura kaget saat tangan Tessa menariknya keluar dari lamunannya. “Ngapain sih!” protes Nayura, kesal karena diganggu.
“Harusnya gue yang tanya gitu,” balas Tessa dengan nada tajam.
Nayura hanya berkedip cepat, bingung dengan sikap Tessa.
“Emang gue ngapain, sih?” tanyanya balik.
Tessa memijat pelipisnya, kesal. “Serah, gue capek,” katanya sambil kembali duduk menghadap depan.Malas banget, mau adu bacot sama Nayura pagi-pagi begini.
Nayura makin bingung, sebenarnya apa sih yang mau ditanyain Tessa? Kan jelas-jelas dia duduk di kelas, artinya ya lagi mau belajar.
Seharusnya, Tessa gak perlu repot-repot nanya begitu—bukankah semua orang ke sekolah memang buat belajar? Lah, Tessa ini gimana sih, kok malah bikin Nayura tambah kesal aja!
Nayura makin kesal dan bersedekap. “Ck, freak lo!” ejeknya.
Tessa langsung menoleh, mata tajam menantang, “Lo tuh yang freak!”
“Bebas, deh!” balas Nayura santai, menyandarkan punggung ke tembok.
Ketegangan di antara mereka hampir memuncak saat Tessa mengangkat tangan ingin menjambak rambut Nayura. Tapi Nayura sigap menahan, “Nggak perlu jambak-jambak. Gue tahu rambut gue cantik.”
Tessa menarik tangannya, dada naik turun menahan amarah. Nayura tersenyum devil, makin membuat Tessa kesal.
“Argh!” erang Tessa, masih sadar ada guru.
Keributan itu menarik perhatian Stevi, sahabat mereka yang duduk di depan. Mata Stevi membelalak, memperingatkan, “Kalian ngapain, sih?”
Stevi sudah paham benar dua sahabat ini memang susah akur, tapi kalau dipisahkan malah kangen.
“Jangan gelud, lagi belajar, tau!” peringat Stevi dengan mata melotot.
Nayura dan Tessa saling lempar tatapan benci, lalu sama-sama membuang muka. Pelajaran pun kembali berlangsung.
Tiga jam berlalu tanpa terasa. Bu Neni mengakhiri pelajaran, “Kita cukupkan sampai di sini, sampai ketemu minggu depan.”
Setelah Bu Neni keluar, Stevi menatap Nayura dan Tessa, “Lo berdua ada masalah apa lagi, sih?”
Tessa menyela, “Gue cuma nanya dia kenapa, eh dia malah sewot.”
Nayura cepat membalas, “Gue nggak kenapa-kenapa, dia aja yang freak!”
Tessa melotot tajam, tapi Nayura santai saja, menyandarkan punggung ke tembok.
“Udah-udah,” potong Stevi, berusaha meredakan.
Tessa bangkit dan pergi meninggalkan kelas dengan kesal.
Stevi memandang Nayura yang masih tenang tanpa tanda penyesalan. “Nay, gu—”
“Assalamualaikum,” suara Pak Wawan menginterupsi.
Ucapan salam itu membuat kalimat Stevi jadi terpotong, cepat ia menolehkan kepala ke depan dan mendapati pak Wawan yang berjalan menuju meja guru. Stevi memutar duduknya menjadi menghadap ke depan. Menjeda sebentar permasalahan Tessa dengan Nayura.
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar, ada yang menuju kantin, ada yang sekadar duduk bercanda.bareng teman-teman. Tapi, ada juga yang memilih tetap di kelas karena bawa bekal dari rumah.
“Kuy, kantin!” ajak Nayura yang telah berdiri di sisi luar meja Stevi.
Stevi ikut bangkit, mengikuti langkah Nayura.
“Tessa kemana, ya?” gumam Stevi penuh tanda tanya.
Dari pergantian jam tadi hingga bel istirahat berbunyi Tessa belum kembali ke kelas. Dan tentunya, Stevi jadi khawatir jika terjadi sesuatu sama Tessa. Apalagi, tadi keluarnya karena nahan emosi ke Nayura.
Nayura mengangkat bahu santai, “Palingan molor di UKS, kayak biasa kalau lagi kesel.”
Ia sudah sangat hafal bagaimana Tessa, kalau ada masalah bukannya di pikirin di cari solusinya tapi malah di bawa ngebo sampai sore dan bangunnya udah lupa tuh, ama masalahnya.
Stevi mengangguk, lega.
"Rame bener, yak!” celetuk Stevi. Suasana kantin ramai dengan antrian panjang di berbagai stan makanan.
“Biasa lah, istirahat jam ke dua,” celetuk Nayura sambil melangkah ke stan ketoprak.
Tiba-tiba, sebuah suara familiar memanggil,
“Hai, ketemu lagi!” sapa seseorang, membuat Nayura dan Stevi menolehkan kepala ke belakang.
Deg!
_________________________________________________
always always bagus!!
hebat!!! Udah cocok itu open comision
kondangan kita! Semur daging ada gak?
Setiap komentar dan dukungan kalian, sangat berharga bagiku. Membakar semangat untuk terus menulis🔥
Happy reading 🤗