Tiffany, tiba-tiba dijemput oleh kedua orang tua kandungnya. Berharap ini awal kebahagiaan darinya, dimana gadis miskin yang ternyata anak dari keluarga kaya.
Namun tidak, inilah awal dari neraka baginya. Meira yang selama ini tinggal bersama keluarganya, melakukan segala cara untuk menghancurkan Tiffany.
Membuatnya dibenci oleh keluarga kandungnya, dikhianati kekasihnya. Hingga pada akhirnya, mengalami kematian, penuh kekecewaan.
"Jika dapat mengulangi waktu, aku tidak akan mengharapkan cinta kalian lagi."
***
Waktu benar-benar terulang kembali pada masa dimana dirinya baru dijemput keluarga kandungnya.
Kali ini, dirinya tidak akan mengharapkan cinta lagi.
"Kalau kamu menolakku, aku akan bunuh diri." Ucap seorang pemuda, hal yang tidak terjadi sebelum waktu terulang. Ada seseorang yang mencintainya dan mengharapkan cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Date
"Ibu...aku..." Kalimat Meira disela.
"Kita bicarakan di rumah." Ucap Safira tidak ingin banyak bicara. Dirinya dengan sengaja tidak datang ke hotel miliknya, karena ingin menghabiskan waktu dengan kedua putrinya. Tapi malah ini yang didapatkannya?
Tiffany tidak bicara apapun, tertidur nyenyak di dalam mobil. Mungkin terlalu lelah karena berkeliling mall.
Mobil pada akhirnya memasuki pekarangan rumah. Barulah Tiffany terbangun, menguap berkali-kali tanpa rasa bersalah.
"Akhirnya sampai." Ucapnya melakukan peregangan.
Mata Tiffany menelisik, tidak ada mobil Yahya dan Roy. Pertanda mereka belum pulang dari bekerja. Menghela napas kasar memasuki rumah bersama ibunya dan Meira.
"Ibu..." Meira tertunduk.
"Membuat malu saja! Mencuri syal, apa ibu pernah mengajarimu mencuri!?" Bentak Safira mengambil rotan, memukul Meira.
Sedangkan Tiffany meraih buah apel dari lemari es. Inilah ibunya, jika sudah sayang benar-benar sayang. Tapi saat melakukan pendidikan moral tidak tanggung-tanggung. Walaupun masih memiliki batasan. Sebelum waktu terulang, entah berapa luka yang didapatkannya hanya karena tuduhan Meira padanya.
"Tidak! Ibu...ibu yang membesarkanku, tidak mungkin aku mencuri. Kakak yang menjebakku." Ucap Meira.
Plak!
Satu pukulan dari rotan lagi didapatkan olehnya."Sudah ada bukti kuat belum mengaku juga. Malah menyalahkan kakakmu!?"
Tangan Safira gemetar, setelah tiga kali memukulnya. Kemudian menjatuhkan rotannya ke lantai."Meira, dengar! Ibu menyayangimu, Tiffany dan Roy sama besarnya. Sejak kecil apapun yang kalian inginkan ibu berusaha keras memenuhinya. Tapi mencuri...jangan pernah lagi melakukannya."
"I...iya...aku salah." Meira tertunduk, jemari tangannya mengepal masih menyimpan dendam pada Tiffany. Air matanya mengalir ingin mengundang perhatian dan rasa iba.
"Nyonya (Ibu), apa nyonya lupa masalah kontrasepsi pria?" Tanya Tiffany dengan mulut penuh, menipiskan bibir menahan senyumannya.
"Jelaskan!" Perintah Safira dingin pada Meira.
Perjalanan dari mall ke rumah, memberikan waktu bagi Meira untuk memikirkan alasan. Menatap ke arah ibunya, menjawab dengan pasti."Aku melakukan penelitian tentang sosiologi. Bagaimana pandangan masyarakat jika siswi SMU membeli alat kontrasepsi pria. Aku baru melakukan penelitian kemarin, rencananya aku akan menyusunnya sebagai makalah."
"Kamu tidak menggunakannya?" Tanya Safira, menghela napas.
"Kapan aku punya waktu? Pulang dari sekolah aku di rumah. Jika tidak, berangkat les, pulang les, paling menginap di rumah Ratna." Jelas Meira begitu lancar.
Sedangkan Tiffany hanya tersenyum, Meira memang cerdas. Sebuah alasan yang sempurna. Jika dirinya ingin menjatuhkan Meira, maka buat Meira menang terlebih dahulu. Karena terjatuh dari tempat yang tinggi, akan lebih menyakitkan.
"Nyonya, aku akan memasukkan catatan barang-barang ini sebagai hutang. Tenang saja, setelah bekerja aku bayar!" Ucap Tiffany melangkah meninggalkan ibunya, berjalan menuju lantai dua.
"Tunggu! Jangan pakai catatan itu untuk menyindir ibu. Tidak bisakah kamu berhenti memanggil nyonya? Panggil aku ibu seperti sebelumnya." Nada suara Safira bergetar menahan segalanya.
"Ibu, berikan waktu pada kakak untuk beradaptasi." Meira tersenyum, benar-benar tersenyum memendam kekesalannya. Ingin memperburuk hubungan ibu dan anak ini.
"Tiffany! Kamu putri kandungku..." Ucap Safira kali ini tidak mempedulikan kata-kata Meira.
"Ibu? Jika aku dianggap anak, beberapa bulan ini aku tidak akan diabaikan bukan? Aku sudah menyerah untuk menjadi anakmu, nyonya..." Jawab Tiffany masih dapat tersenyum. Dirinya mati rasa, kematian sebelum waktu terulang bagaikan pengingat untuknya.
18 tahun waktu yang dihabiskan Meira bersama keluarganya. 18 tahun pula Meira mengenal sifat ibu, ayah dan kakaknya. Kepercayaan yang tumbuh selama 18 tahun, tidak akan dengan mudah terhapus oleh hubungan darah. Salahkah bila dirinya menyerah dengan cinta dari orang tuanya?
"Saatnya video call dengan Martin tersayang! Dia pasti baru selesai mandi!" Teriak Tiffany, heboh sendiri menyembunyikan luka di hatinya. Bagaikan boneka porselin kecil dengan hati yang telah hancur.
"Tiffany!" Teriak sang ibu menghela napas.
"Ibu, mau aku buatkan teh hijau?" Ucap Meira, membujuk. Ini sudah biasa, kemarahan ibunya akan mereda hanya dengan kata-kata manis dan sedikit prilaku baik.
"Meira, kamu sudah sama-sama dewasa. Karena itu ibu harap kamu dapat menjaga hubungan baik dengan Tiffany. Bagaimana pun kalian berdua tetap putri ibu. Mengerti?" Peringatan dari Safira pelan, mengingat hari ini Meira telah menuduh Tiffany tanpa bukti.
"Mengerti..." Ucap Meira menunduk.
"Hari ini kamu tidur di gudang. Ibu tidak akan menceritakan pada ayahmu. Tapi mencuri itu tindakan buruk, mengerti? Jangan coba untuk mengulanginya lagi." Tegas Safira, benar-benar kecewa dengan priaku Meira hari ini.
"Aku mengerti! Aku sayang ibu!" Ucapnya memeluk Safira.
Siapa yang tidak akan mencintainya. Segalanya adalah miliknya dari awal, termasuk kalung yang diberikan Martin pada Tiffany.
Perlahan senyuman menyungging di bibirnya. Semuanya adalah miliknya yang telah menjadi anak baik selama bertahun-tahun, bukan milik Roy ataupun Tiffany.
***
Suara garpu dan pisau berbenturan dengan piring terdengar. Keluarga Wiratmaja merupakan salah satu keluarga kalangan atas. Walaupun status Martin lebih tinggi.
Seorang pelayan berdiri di dekat sudut ruangan, menunggu para anggota keluarga usai menikmati makanan utama. Segera setelahnya piring hidangan utama diambil. Diganti dengan piring berisikan dessert.
Suasana makan yang hening menjadi lebih santai.
"Ayah! Aku sudah memilih gaun untuk pesta pembukaan cabang HR Group." Ucap Meira memulai pembicaraan.
"Tiffany kamu---" Kalimat Yahya yang ingin membawa putri kandungnya ke pesta disela.
"Ayah, kakak masih belum beradaptasi. Sebaiknya setelah terbiasa, barulah membawa kakak ke pesta resmi." Meira tersenyum, melirik ke arah Tiffany yang bahkan salah mengambil sendok saat memakai desert.
Bagaikan malaikat yang memperlihatkan rasa pedulinya itulah Meira. Di mata mereka, tidak peduli jika Tiffany menyimpan rasa benci padanya.
"Lebih baik Tiffany ikut." Tegas Safira tiba-tiba, tidak ingin putrinya semakin menjauh.
"Yang dikatakan Meira ada benarnya. Sebaiknya Tiffany mempelajari etika meja makan terlebih dahulu." Roy menghela napas kasar. Tidak ingin Tiffany merasa malu dalam perjamuan.
"Benar, aku akan mencarikan guru etika untuk Tiffany." Yahya menghela napas kasar.
"Guru etika?" Tiffany tersenyum, memakan ice cream yang dilumuri dengan strawberry saus."Aku tidak perlu pergi ke pesta bersama ayah atau kakak, bawalah Meira yang cantik dan beretika."
"Tiffany?" Roy mengernyitkan keningnya.
"Karena aku akan datang sebagai pasangan Martin. Martin berkata akan mengiriskan daging steak untukku. Dia juga berkata aku tidak perlu takut tidak bisa menjaga etika. Karena tidak akan ada yang berani mengkritik pasangan seorang Martin." Ucap Tiffany, menikmati air putih di atas meja."Aku akan menginap di rumah Martin, mungkin tidak akan pulang sampai pagi. Punya pacar kaya memang menyenangkan."
"Jangan datang bersamanya! Kamu dapat datang sebagai pasangan kakak. Kakak akan menjagamu, tidak perlu menjaga etika. Karena tidak akan ada yang mengkritik adik seorang Roy!" Tegas Roy, tidak ingin saudari kandungnya terjebak cinta pria lumpuh.
"Munafik..." Cibir Tiffany mengangkat salah satu alisnya. Mengingat kalimat sebelumnya dari sang kakak yang ingin dirinya tinggal di rumah.
"Lebih baik kakak di rumah saja, jangan datang bersama Martin. Kakak masih terlalu muda, bagaimana jika terjadi sesuatu." Ucap Meira berusaha tersenyum.
"Kenapa? Takut aku terlihat lebih cantik darimu karena memakai kalung pemberian Martin. Tenang saja, aku datang sebagai pasangan Martin hanya untuk memastikan Martin memakai boxer pemberianku, sebagai pakaian dalamnya."
bener kata Tiara, Tiffany keren calon istri siapa dulu dong 😁
ternyata Meira blm kapok juga
si author memang psikopat, selalu buat cerita yg buat emosi Naik Turun..
aku suka Thor...
lope Lope lah pokok nya