Gwen, seorang pembunuh bayaran kelas kakap, meregang nyawa di tangan sahabatnya sendiri. Takdir membawanya bertransmigrasi ke tubuh Melody, seorang istri yang dipandang rendah dan lemah oleh keluarga suaminya. Parahnya, Melody bukan meninggal biasa, melainkan korban pembunuhan di tangan salah satu anggota keluarga.
Bersemayam dalam tubuh barunya, Gwen bersumpah akan membalas semua derita Melody dan membuat suaminya tunduk padanya. Saat ia mulai menelusuri kebenaran di kediaman utama keluarga suaminya, satu per satu rahasia mengejutkan terbongkar. Dendam juga menyeret sahabat lamanya yang telah mengkhianati dirinya.
Ketika semua pembalasan tuntas, Gwen menemukan kebenaran yang mengguncang tentang suaminya. Marah, namun pada akhirnya ia harus mengakui, cinta telah mengalahkannya. Merasa suaminya tak mencintainya, Gwen memilih ingin menyerah, akankah dia benar-benar melepaskan segalanya? Apakah ia akan berakhir bahagia?
Penasaran?! Yuk baca👆👆
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Abimanyu
...Selamat Membaca...
.... ...
.... ...
Melody terpaku, sosok pria tua yang masih terlihat gagah. Tubuhnya masih tegap dan aura kepemimpinan begitu terpancar. Tampak begitu familiar, tidak–dia mengenalnya. "Anda ....?"
"Cepat sekali cucu menantu melupakan kakekmu ini heem? Padahal kita baru bertemu beberapa hari yang lalu, kau lupa?"
"Pria itu ....anda?" Melody menyoroti pria itu penuh tanda tanya.
"Benar." Kakek Abimanyu, pria tua yang kerap dipanggil kakek Abim. Pria tua yang tempo hari Melody lihat di pelelangan dan orang yang juga hampir membeli kalungnya dengan harga tinggi namun di gagalkan oleh Damian. "Kakek membawakan hadiah untumu cucu menantu."
Melody mengukir senyum tipis. Hampir saja ia mengira jika pria ini orang jahat. "Terima kasih sudah datang menjenguk ku kakek."
Kakek Abim mengangguk. Kemudian memberikan sebuah kotak kayu bewarna coklat yang terasa berat waktu Melody memegangnya. Ketika ingin membukanya, Kakek abim lebih dulu melarangnya. "Kenapa kakek?"
"Buka saat kau berada di rumah dah saat kau berdua dengan Damian," ucap kakek Abim. "Itu benda berharga, dan kakek tidak ingin ada orang asing yang mengetahuinya."
Melody mengangguk. Ia tentu mengerti maksud ucapan kakek Abim yang mengatakan 'orang asing', sudah pasti itu tertuju untuk Bella yang berdiri tak jauh dari kakek Abim. Smirk tipis muncul di wajah Melody. Ternyata masih ada orang yang berada di pihaknya selain mama Audrey. Kakek Abim adalah pemegang kekuasaan penuh di keluarga ini. Sebuah keberuntungan bila dia terus berpihak padaku, namun itu artinya posisi ku akan semakin dalam bahaya. Mereka pasti akan terus berusaha menyingkirkan aku demi harta. Daniella, Bella, dan .....mereka.
"Bagaimana bisa dia ada di sini?"
Pertanyaan yang membuat Bella mendongak menatap Kakek Abim. Melody melirik Damian untuk menjawab pertanyaan itu.
Damian melirik Melody juga dan mengangguk, "Dia yang datang sendiri. Untuk meminta maaf pada Melody," jawab Damian malas, "Aku sudah mengusirnya pulang, tapi Melody melarangnya karena kasihan melihatnya sudah datang jauh-jauh ke sini," tambah Damian.
"Wah ....tamu tak diundang? Memangnya kekacauan apalagi yang dilakukannya?" tanya Kakek Abim menyoroti Bella dengan tajam.
"Kakek, sudahlah. Tidak perlu di bahas. aku sudah memaafkannya. Biarkan saja dia di sini."
Kakek Abim melempar senyum pada Melody. mengusap pucuk kepala wanita yang sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri. "Meski amnesia, sifatmu yang selalu memaafkan orang lain tidak berubah. Kakek senang mendengarnya."
Melody tersenyum. Kakek abim harus terus berpihak padaku.
Bella terus menundukkan wajahnya. Kakek Abim adalah satu-satunya orang yang paling dia takuti di kediaman utama. Karena kekuasaan penuh berada di tangannya, tidak ada siapapun yang berani menentang perintahnya. Hanya Damian lah, satu-satunya dari keluarga mereka yang berani menentang atau bahkan menolak perintah kakek Abim. Hal itu berani Damian lakukan karena dia sudah membuktikan bahwa dirinya bisa melebihi kakeknya itu.
Bella memilih duduk di sofa. Sekarang dia tidak berani melakukan apapun.
Melody diam diam menyunggingkan senyum. Dalam hati ia bersorak senang melihat Bella yang diam tak berkutik.
Kakek Abim mendudukkan dirinya di sofa, tepat di sebelah Bella. Menyilangkan kakinya dengan angkuh. "Bagaimana dengan kedua cicit ku?"
Brak
"Kami di sini kakek buyut!" pekik Kevin yang tiba-tiba masuk bersama Mama Audrey dan Kevan. Bocan laki-laki itu menghampiri Kakek Abim dan duduk di sebelahnya. "Kakek semakin tua saja."
Kakek Abim tergelak. Tertawa gemas melihat Kevin. Dikecupnya pipi Kevin dan memindahkan cucu buyutnya itu ke atas pangkuannya. "Kau semakin pintar berbicara heem? Tidak seperti kakakmu yang pendiam."
Kevin menyengir, "Tentu saja kakek, Kevan itu turunan papi. Dingin dan seperti batu. Hanya pada mami baru mereka akan berekspresi," ucapnya.
"Berhenti membicarakan kakakmu Kevin, atau dia akan memukulmu nanti," celetuk Mama Audrey bergeleng kepala. Ia beralih menatap sang ayah yang duduk di sebelah Bella. Sedikit terkejut sebenarnya, melihat Bella yang ada di sana. "Bagaimana kabar ayah?"
"Ayah baik-baik saja," jawab Kakek Abim. "Kevan memang seperti itu?," tanyanya pada Mama Audrey sambil melirik Kevan yang berdiri di sebelah ranjang Melody.
Mama Audrey mengangguk, "Dia memang seperti itu ayah. orang pertama yang akan ia hampiri saat masuk ke ruangan ini tentu adalah Melody."
"Jangan membicarakan ku terus."
Semua terkekeh, kecuali Bella. Wajah Kevan terlihat lucu saat merengut.
"Mami sudah makan?" tanya Kevan.
Melody tersenyum mengangguk, "Sudah sayang."
"Aku mau naik," pinta Kevan.
Damian membantu Kevan naik ke ranjang Melody. Bocah laki-laki itu langsung mengecup pipi Melody dan tersenyum. "Cepat sembuh mami."
"Aku juga mau!" seru Kevin. Bocah laki-laki itu segera turun dari pangkuan Kakek Abim, Kemudian meminta Damian untuk menaikkan ke ranjang. "Cepat sembuh mami~"
Melody tertawa kecil, "Terima kasih sayang~"
Interaksi keluarga kecil itu tentu menarik perhatian Mama Audrey yang tampak tersenyum bangga, begitu pun dengan kakek Abim yang terlihat tersenyum.
Hanya satu orang–Bella. Sejak tadi ia hanya diam menyaksikan pemandangan keluarga harmonis di depannya. Tak berani bersuara, apalagi tersenyum bahkan melakukan gerakan apapun. Rasanya begitu tegang ketika Kakek Abim duduk di dekatnya. Rasa takut perlahan mulai menjalar di hatinya. Aku seperti burung dalam sangkar. Tidak bisa melakukan apapun. Aaaagrh kenapa tua bangka ini tiba-tiba datang ke sini?! Apa Damian sengaja menghubunginya?!
.......
.......
Matthew dan Erick menatap pemandangan di hadapan mereka. Acara pernikahan yang mewah dan megah, pasangan pengantin yang terlihat begitu bahagia.
"Dia bahkan tidak mengundang kita atau bosnya sendiri," celetuk Erick. "Menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri," tambahnya.
Matthew terkekeh, "Aku sudah memotretnya, cukup sebagai bukti." Matthew menunjukkan hasil jepretannya.
"Kau ingin ke sana?" tanya Erick.
Matthew menggeleng. "Tidak sudi. Lebih baik kita segera kembali. Masih ada yang harus kita selesaikan di sini."
Kedua pria itu berjalan meninggalkan gedung pernikahan. Matthew mengambil pemantik korek api dan tersenyum miring melirik Erick. "Kau ingin melihat permainan."
Erick membalas smirk, "Kau ingin membuat keramaian?"
Matthew tertawa kecil. Membakar rokok di mulutnya dan kemudian melempar pemantik api ke belakang dan boom. Kobaran api meledak di sana. Si merah melahap habis gedung itu hampir tak tersisa.
"Kapan kau melakukannya?"
Matthew tersenyum, "Tidak ku ingat, mungkin beberapa jam yang lalu? Atau baru saja?"
.......
.......