dapat orderan make up tunangan malah berujung dapat tunangan.Diandra Putri Katrina ditarik secara paksa untuk menggantikan Cliennya yang pingsan satu jam sebelum acara dimulai untuk bertunangan dengan Fandi Gentala Dierja, lelaki tampan dengan kulit sawo matang, tinggi 180. Fandi dan Diandra juga punya kisah masa lalu yang cukup lucu namun juga menyakitkan loh? yakin nggak penasaran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gongju-nim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
003. Jebakan Jodoh
Sementara itu, sepasang mata tajam memandang kearah Diandra yang sedang saling tepuk lengan dengan sahabat, Fandi yang sedari tadi diam menonton adegan memilukan sekaligus memalukan di depannya tak berhenti menatap kearah Diandra sejak wanita itu berjalan memasuki halaman belakang.
Sementara Diandra sendiri tidak menyadari Fandi yang tengah menatapnya dalam. Diandra dan Githa masih sibuk saling colek dan menepuk pelan lengan masing masing-masing. Tatapan keduanya juga tak lepas dari Hilda yang tengah menangis meraung-raung membantah semua tuduhan yang ditujukan padanya.
Setelah mencari tau dengan bertanya kepada beberapa orang yang ada disana. Diandra dan Githa akhirnya tau penyebab Hilda menangis seperti itu. Tepat pukul 18.00 Hilda yang tadinya diantar ibu dan kakaknya menuju bangku yang telah di siapkan mendadak pingsan didepan pintu penghubung ke taman belakang. Sontak saja hal itu membuat seluruh tamu undangan yang hadir menjadi khawatir. Lalu setelah sadar, Hilda kembali muntah muntah setelah mencium beberapa aroma parfum yang menusuk ke dalam indra penciumannya.
Hal tersebut membuat salah satu Tantenya curiga, setelah tadi mendengar kabar jika saat sesi makeup Hilda juga muntah muntah tidak jelas. Tantenya yang terlihat julid itu semakin memojokkan Hilda, sehingga membuat ibunda Hilda meradang dan terlihatlah aksi adu mulut sampai salah seorang sepupu Hilda menemukan tes pack di tempat sampah kamar Hilda.
Ayah Hilda yang merasa malu, lalu ikut menanyakan kebenaran namun Hilda masih saja membantah tuduhan tersebut. Hingga sekarang puncaknya. Hilda mengaku hamil dan membuat semua orang yang berada disana tercengang.
"Siapa ayahnya?"
Bu Gina bertanya setelah tadi sempat hampir jatuh karena rasa terkejut. Beruntung disebelahnya ada Fandi yang sigap menahan sang ibu. Fandi mendudukan ibunya di bangku yang tadi dirinya duduki.
"Fandi, ini anak Fandi."
Hilda menunjuk perut, lalu menunjuk ke arah Fandi. Fandi yang mendengar hal itu tersenyum miring. Dirinya tidak pernah menyentuh Hilda, bagaimana mungkin anak itu adalah anaknya.
Semua orang yang berada di sana menatap Fandi dengan berbagai macam ekspresi. Fandi tidak perduli akan hal itu, namun sepasang mata teduh berwarna coklat terang yang menatap Fandi dengan sorot yang susah untuk dijelaskan itu mengusik Fandi. Diandra mematung disana, menatap Fandi beralih ke Hilda, lalu kembali ke Fandi lagi. Entah apa yang dirasakan oleh wanita itu, Fandi tidak tau yang jelas Fandi benci situasi ini.
Fandi yang tadinya tengah berjongkok sembari memegang tangan sang ibu yang terduduk di kursi segera bangkit berdiri. Ditatapnya calon tunangannya yang tengah terisak. Tatapan Fandi nyalang, namun Hilda tidak gentar. Terus menyebut bahwa janin yang dikandungnya adalah anak Fandi.
"Fandi? Nak?"
Bu Gina memegang jantungnya yang terasa nyeri. Kepalanya sangat sakit mendengar pengakuan Hilda. Tak lama semuanya menjadi gelap, Bu Gina pingsan. Fandi memerintahkan beberapa anak buahnya yang turut memeriahkan acara tersebut untuk membawa ibunya kerumah sakit terdekat.
Sementara Abidin, ayah Fandi yang tadinya hanya berdiri menyimak dengan baik apa yang terjadi pada calon menantunya berpegangan pada Lingga. Lingga yang tadinya hendak berlari kearah ibunya pun membantu ayahnya untuk duduk. Lingga panik melihat wajah ayahnya yang terlihat pucat.
"Papa baik-baik aja. Kamu ikut mama mu kerumah sakit bareng temen Fandi, ayah disini." Abidin menepuk pelan pundak anak bungsunya.
"Papa yakin?"
Lingga tak tega meninggalkan ayahnya saat ini, namun membiarkan ibunya pergi hanya ditemani anak buah Fandi juga tidaklah etis. Sedangkan Fandi, Lingga tidak perduli, lelaki itu pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri. Setelah mendapat anggukan Abidin yang terlihat yakin akan putusannya, Lingga berlari menyusul beberapa anak buah Fandi yang sudah lebih dulu membawa ibunya ke mobil.
Situasi menjadi kacau, kemarahan keluarga Hilda tidak dapat dielakkan. Sumpah serapah tertuju kepada Fandi yang dinilai tidak bisa menjaga Hilda. Padahal faktanya Fandi sangatlah menjaga Hilda. Fandi memang bukan lelaki baik, Naum Fandi juga tida brengsek. Fandi tau batasan mana yang boleh dan mana yang tidak. Dan untuk urusan yang satu itu, Fandi jelas tau bahwa itu salah. Fandi sangat menghormati ibunya, merusak anak perempuan ataupun bermain wanita bukanlah gaya Fandi. Fandi mempercayai hukum tabur tuai itu ada, sehingga Fandi tidak ingin apa yang dirinya lakukan sekarang akan dituai oleh anak cucunya dimasa depan. Oleh karena itu Fandi amat sangat menjaga Hilda, Fandi berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dirinya hanya akan melakukan itu ketika sudah menikah, dirinya akan melakukan itu hanya dengan istrinya saja.
"Benar begitu nak Fandi?" Ayah Hilda menatap tajam kearah Fandi yang terlihat santai.
"Jika berciuman bisa menyebabkan hamil, maka benar anak yang dikandung Hilda saat ini adalah anak saya. Tapi nyatanya, ciuman tidak bisa membuat seorang gadis hamil 'kan? Itu artinya anak ini bukan anak saya."
"Anjir, yakali ciuman bisa hamil. Kalau iya, udah bunting berapa kali gue?"
Githa mengikut pelan Diandra yang masih setia merangkul lengannya. Setelah menyaksikan kehebohan karena Bu Gina pingsan, kini keduanya kembali menyaksikan wajah pucat Hilda. Wajahnya benar benar pucat, seperti aliran darah mendadak berhenti.
Mendengar jawaban Fandi semuanya terdiam dan menatap Hilda. Cibiran kembali terdengar sayup sayup. Hilda yang panik kembali menuduh bahwa Fandi lah ayah dari janin yang tengah dikandungnya.
"Mana bukti kalo saya pernah tidur sama kamu. Kamu pernah tidur dengan mantan kamu dulu saya maafkan, karena itu terjadi sebelum kamu kenal sama saya. Sekarang saya tanya baik baik, siapa ayah anak itu Hilda?"
Fandi berdiri dengan pogah menatap Hilda yang masih terduduk dibawah. Semua orang pun kembali tercengang dengan fakta yang Fandi beberkan. Hilda yang dikenal sebagai anak baik, penurut, dan pendiam itu ternyata tidak sebaik itu. Cibiran kembali terdengar membuat tangis Hilda kembali meraung-raung. Hilda berteriak dan melempar apa saja yang ada di dekatnya.
"Anak kamu Fandi. Ini anak kamu. Kamu harus tanggung jawab."
"Saya tidak pernah menyentuh kamu, saya tidak pernah meniduri kamu. Dan kamu mau saya tanggung jawab?"
Fandi terkekeh, pria tampan itu memijit pangkal hidung nya. Fandi menguyar rambut hitamnya kebelakang membuat beberapa gadis di sana salah fokus akan ketampanannya, termasuk Diandra juga. Diandra yang sadar akan situasi segera menggelengkan kepalanya.
"Hilda, pertunangan kita batal. Saya tidak mau bertanggung jawab atas anak yang bukan darah daging saya, dan membiarkan pria yang seharusnya bertanggung jawab atas anak itu bebas berkeliaran diluar sana."
Fandi melangkah menuju ayahnya, dan segera mengandeng lelaki paruh baya itu untuk keluar dari kediaman Hilda. Melihat hal itu, Hilda kembali meradang dan mengejar Fandi. Hilda mencekal lengan Fandi, Fandi yang merasa jijik pun menghempaskan tangan Hilda dengan kasar sehingga Hilda tersungkur ke tanah.
"Papa duluan, nanti Fandi bareng anak buah Fandi."
Abidin mengangguk, lalu Fandi mengkode anak buahnya yang tadi hanya ikut mengantar ibu Fandiya pergi dari sana. Setelah ayahnya tak lagi terlihat, Fandi berbalik memandang Hilda yang memohon dibawah kakinya.
"Aku mohon sama kamu buat tanggung jawab, ini anak kamu. Kamu nggak bisa lepas tangan gitu aja."
Fandi memundurkan langkahnya dan mengelap celana hitamnya yang barusan dipegang oleh Hilda. Raut wajahnya seakan menunjukkan bahwa Hilda adalah makhluk paling menjijikan. Hal itu membuat ibu Hilda murka.
"Kamu! Kamu harus tanggung jawab Fandi! Jangan mau enaknya aja kamu! Setelah putri saya hamil, lalu kamu mau lepas tangan gitu aja! Jangan jadi pria brengsek kamu Fandi!"
Ibunda Hilda menunjuk Fandi dengan berteriak. Dirinya tidak terima anak tersayangnya diperlakukan seperti itu. Dirinya percaya pada Hilda, bahwa janin itu adalah anak Fandi. Fandi merusak anaknya, anak gadis kesayangannya.
"Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak akan bertanggung jawab. Karena janin ini memang bukan anak saya. Saya bukan lelaki brengsek Bu, saya juga bukan lelaki baik yang akan menerima dengan tulus janin ini dan membiarkan lelaki yang seharusnya bertanggung bebas berkeliaran di luaran sana. Saya tidak sebaik itu."
Ibunda Hilda yang masih tidak terima itu kembali berteriak menyuruh Fandi bertanggung jawab. Kesal dengan hal itu, Fandi berjalan kearah Diandra dan Githa yang masih setia menabok lengan satu sama lain. Dan jangan lupakan Diandra yang masih setia juga merangkul lengan Githa, jangan lupakan ekspresi julid Githa yang terlihat jelas itu.
Melihat Fandi yang sepertinya berjalan kearah dirinya, Diandra menjadi deg-degan. Dirinya bertanya tanya Fandi akan kemana, sangat tidak mungkin jika Fandi berjalan kearah dirinya 'kan. Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Diandra bahkan tak sadar kalau Fandi sudah berada dihadapan.
Fandi menarik lengan Diandra dan sebelah tangannya memegang tengkuk wanita itu. Fandi menciuminya didepan banyak orang. Sekali lagi, FANDI MENCIUMINYA DIDEPAN BANYAK ORANG. Diandra menahan napasnya, sebuah benda kenyal itu menempel tepat dibibir nya. Bukan hanya menempel, benda kenyal itu juga sedikit melumat bibirnya.
Setelah dirasa puas, Fandi melepaskan lumatannya pada bibir Diandra. Dilapnya bibir mungil itu dengan jempol, lalu menggandeng bahu Diandra dengan mesra. Diandra yang masih mencerna situasi itu pun pasrah saja. Sedangkan Githa yang berada disamping Diandra membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Matanya melotot kearah Diandra yang saat ini terlihat seperti orang bodoh.