Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Se Hangat sambutan , Setegas batasan
Dua hari setelah izin tidak masuk kerja, Bunga akhirnya kembali ke kantor.
Langkahnya mantap saat memasuki lobi utama. Wajahnya terlihat elegan, seolah menyembunyikan kelelahan yang belum sepenuhnya reda. Rambutnya diikat sederhana, dan blazer abu lembut yang ia kenakan membuatnya tampak tenang sekaligus profesional.
Di depan ruang direktur, ia berhenti sejenak, menarik napas pelan. Pintu terbuka sebelum sempat ia mengetuk. Rendi berdiri di ambang, menyambutnya dengan senyum hangat.
“Selamat datang kembali, Bunga,” sapanya lembut. “Senang bisa melihatmu lagi di sini.”
Bunga membalas dengan senyum kecil. “Terima kasih, Pak Rendi.”
“Ayahmu… bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Rendi, nadanya penuh perhatian.
“Sudah membaik, alhamdulillah. Sekarang beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kata dokter, kondisinya mulai stabil,” jawab Bunga dengan mata berbinar sedikit lega.
Rendi mengangguk. “Syukurlah… aku turut bahagia mendengarnya. Jangan sungkan kalau butuh waktu untuk menemaninya. Pekerjaan bisa menyusul, kesehatan keluarga yang utama.”
Bunga tersenyum lebih tulus. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar menghargai pengertiannya.”
...****************...
Waktu istirahat siang pun tiba. Beberapa staf sudah mulai keluar ruangan, sebagian menuju kantin, sebagian lagi duduk santai di ruang makan kecil kantor. Rendi baru saja merapikan berkas di mejanya ketika seseorang dari resepsionis mengabari bahwa ada tamu yang menunggunya di lobi.
Begitu keluar dari lift, langkah Rendi otomatis melambat. Sosok yang berdiri di dekat sofa putih lobi itu membuat hatinya hangat seketika.
Alisya—istrinya—tampak menawan dalam balutan busana muslimah berwarna lembut. Kerudung segi empat yang ia kenakan diikat sederhana ke leher, berwarna putih bersih, mencerminkan keteduhan wajahnya. Tatapan mata Alisya yang lembut langsung bertemu dengan mata Rendi.
Rendi tersenyum lebar. “Lho, kamu ke sini?” tanyanya, sedikit terkejut namun jelas senang.
“Aku bawain makan siang,” jawab Alisya sambil mengangkat kantong kain kecil yang ia bawa. “Kupikir kamu pasti belum sempat makan.”
Tepat saat itu, Bunga dan beberapa staf lain keluar dari lift. Mereka tertegun melihat kedekatan Rendi dengan wanita cantik yang tak lain adalah istrinya. Bunga sempat menahan langkahnya sejenak, namun akhirnya menghampiri dengan senyum sopan.
“Permisi, Pak. Ini istrinya, ya?” tanya salah satu staf dengan nada riang.
Rendi mengangguk. “Iya, ini istri saya, Alisya.”
Bunga ikut tersenyum dan menyapa dengan ramah. “Salam kenal, Bu Alisya. Saya Bunga.”
Mata Alisya memerhatikan Bunga sejenak. Ada kehangatan sekaligus rasa ingin tahu yang terpancar dari sorot matanya. Ia menoleh ke Rendi dengan tatapan bertanya yang samar—mengangkat alisnya sedikit sambil berbisik, “Itu… Bunga yang kamu cerita itu?”
Rendi mengangguk pelan, mengerti arah pertanyaannya.
Alisya pun membalas senyum Bunga. “Senang akhirnya bisa bertemu. Terima kasih ya, sudah banyak bantuin suami saya di kantor.”
Bunga tersipu. “Sama-sama, Bu. Saya cuma menjalankan tugas.”
“Eh, kami duluan ya ke kantin, Pak,” kata salah satu staf. Mereka pun pamit dan meninggalkan Rendi dan Alisya yang tampak tengah larut dalam momen kebersamaan.
Rendi mengajak Alisya naik ke lantai atas, ke ruang makan kecil khusus manajemen yang jarang digunakan. Di sana hanya ada satu meja panjang dan beberapa kursi, tapi Alisya memilih duduk di ujung dekat jendela, di kursi berdua yang terpisah dari yang lain.
Mereka membuka bekal yang Alisya bawa bersama—nasi hangat, ayam bakar madu, sayur bening, dan sambal tomat buatan sendiri. Aromanya langsung memenuhi ruangan.
Rendi mencicipi satu suap, kemudian menatap istrinya dengan senyum tak bisa ditahan. “Kamu selalu tahu kapan aku butuh ini.”
Alisya tertawa kecil. “Intuisiku sebagai istri kuat banget.”
Mereka makan sambil berbagi cerita ringan, sesekali tertawa. Beberapa staf yang lewat tak sengaja melihat ke arah mereka dan saling berbisik. Bukan karena rasa ingin tahu semata, tapi karena melihat sisi Rendi yang berbeda—lebih hangat, lebih manusiawi, lebih… mencintai.
...****************...
Selesai makan, Alisya membereskan bekal lalu berdiri. “Aku balik dulu, ya. Mau mampir ke toko sebentar.”
Rendi mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
Saat berjalan ke arah pintu, Alisya melihat Bunga yang sedang berbicara dengan staf di sudut ruangan. Ia menghampiri dengan langkah ringan lalu meraih tangan Bunga perlahan.
“Bunga,” katanya sambil menatap lembut, “kapan-kapan mampir ke rumah, ya?”
Bunga sempat terkejut. “Ke rumah, Bu?”
“Iya. Anggap aja ini ucapan terima kasih karena kamu sudah bantuin suami saya kerja. Aku suka kalau bisa kenal lebih dekat sama orang-orang baik yang ada di sekelilingnya.”
Bunga terdiam sejenak, lalu tersenyum pelan. “Insya Allah, Bu. Terima kasih banyak ajakannya.”
Mereka berpelukan sebentar. Alisya kemudian pamit dan pergi, meninggalkan aroma lembut dari parfum bunganya dan perasaan hangat yang tersisa.
Bunga berdiri di tempatnya, masih tertegun. Tak bisa dipungkiri, ada rasa canggung, ada rasa hangat. Ia tak tahu persis apa yang ia rasakan. Yang ia tahu, pagi ini ia kembali ke kantor membawa beban, dan kini—tanpa ia sangka—ia membawa pulang sesuatu yang lain. Mungkin itu rasa diterima. Mungkin itu bentuk kecil dari kedamaian.
Dan Rendi, dari kejauhan, melihat interaksi mereka dengan tenang. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya bicara banyak: tentang syukur, tentang keluarga, tentang bagaimana sebuah hubungan bisa saling menguatkan—di dalam dan di luar ruang kerja.
...****************...
Bunga kembali duduk di kursinya, namun pikirannya masih tertinggal di momen tadi. Jemari tangannya bermain di atas meja, tak sadar menggulung ujung kertas memo yang tak sengaja terbawa.
Ia menghela napas pelan, lalu bergumam dalam hati.
"Orangnya… jauh lebih hangat dari yang aku bayangkan."
Tatapannya menerawang ke luar jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang mulai beranjak mendung. Sesuai dengan apa yang ia rasakan. Tenang, tapi ada awan yang belum sepenuhnya pergi dari dadanya.
"Istrinya… secantik itu. Tapi bukan cuma cantik. Lembut. Wibawa. Dan... nggak ada sedikit pun nada curiga atau cemburu tadi. Justru malah ngajak aku ke rumahnya."
Ia menatap ke telapak tangannya, seolah masih merasakan sentuhan Alisya beberapa menit lalu.
"Apa dia tahu aku sempat... merasa dekat dengan Pak Rendi? Atau aku aja yang terlalu merasa?"
Bunga menggeleng pelan, mencoba menertawakan dirinya sendiri.
"Lucu, ya. Kadang kita terlalu cepat menafsirkan perhatian sebagai sesuatu yang lebih. Padahal mungkin... itu cuma kebaikan hati orang lain."
Ia menatap ke arah ruang direktur. Pintu tertutup rapat. Tak ada siapa-siapa, hanya bayangan dirinya sendiri di pantulan kaca jendela.
"Tapi aku juga nggak salah, kan? Aku cuma kagum. Cuma... merasa nyaman. Itu manusiawi, bukan?"
Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang campur aduk antara lega dan getir.
"Tapi sekarang aku tahu tempatku. Dan aku bersyukur semesta cepat memperjelas batasnya."
Ia merapikan berkas di mejanya, berdiri, lalu mengambil botol minum dari sudut meja.
Sebelum melangkah ke pantry, ia sempat berbisik pelan, hampir tak terdengar.
"Bu Alisya... baik sekali kamu. Dan mungkin dari kamu aku belajar satu hal paling penting hari ini—menjaga yang kita cintai bukan dengan mencurigai, tapi dengan cara merangkul."
Bunga berjalan pelan, meninggalkan ruangan yang perlahan kembali dipenuhi suara tuts keyboard dan gumam obrolan ringan. Tapi di dalam dadanya, sebuah suara baru mulai tumbuh—lebih dewasa, lebih sadar, dan lebih siap untuk menata hati.