Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
SELAMAT MEMBACA
Zevanya memandang lekat wajah Adrian, berusaha memahami maksud ucapan pria tersebut dari raut wajahnya.
Walaupun sudah melihat ada sesuatu terselubung di sana, gadis itu tetap bertanya untuk memastikan. “Maksud kamu apa, Kak?” tanya Zevanya, terlihat sekali alisnya yang menurun, menunjukkan kekecewaan. Sudah selama ini menjalin kasih, Adrian sama sekali tidak memahami dirinya.
“Jangan pura-pura, Sayang. Kamu tahu maksud aku,” senyum miring pada bibir Adrian tercetak jelas, bahkan ia menggunakan panggilan yang amat Zevanya tidak sukai.
Zevanya menghela napas miris, tetapi gadis itu tetap ingin bertanya akan perubahan dari sikap kekasihnya yang sudah dua tahun ini menemani.
“K-kamu... kenapa?” Adrian tertawa sumbang atas pertanyaan tersebut.
“Aku lelah seperti ini terus—“ desah Adrian terdengar jelas. “Kita ini, apaaa?” dan sekarang tawa beratnya terdengar. Terlihat mempermainkan emosi Zevanya.
“Sudahlah... kamu jangan terlalu jual mahal, Sayang.” Zevanya semakin tercekat. “Aku yang adalah kekasihmu tidak tega melihatmu seperti ini, wanita cantikku yang selalu bekerja di bawah terik matahari, lalu pulang larut malam karena menolak pemberian kekasihnya.”
“Itu karena aku tidak ingin merepotkan mu, selama pacaran kita lakukan sewajarnya saja dan seimbang.” Walaupun tak punya, Zevanya selalu melakukan timbal balik. Jika Adrian membayar makanan mereka hari ini, maka giliran Zevanya yang akan membayar makanan mereka di hari berikutnya. Ya, walaupun hanya makan di warteg.
Adrian tertawa menanggapi, “Sewajarnya saja?” tanyanya seolah tersinggung, padahal ia sudah menduga Zevanya mengetahui maksudnya.
“Kamu tahu aku mencintaimu, tapi cinta itu butuh pembuktian. Dan kamu tidak memberikan itu padaku, selalu saja menolak ku, bahkan hanya sekedar berciuman saja.” Selama berpacaran mereka memang tidak pernah melakukan hal-hal tersebut, dan tentu itu semua karena Zevanya yang tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Begitu gadis itu berdalih.
“Kalau kamu benar-benar ingin melakukan itu, berarti kamu sudah siap menikahi ku. Bukankah kita sudah sepakat sebelum pacaran,” Adrian memang menyetujui kesepakatan itu, dan berharap bisa mengubah prinsip gadis ini lambat laut seiring waktu. Tapi ternyata tidak, Zevanya begitu kokoh dengan pendiriannya.
“Tentu, tentu aku akan menikahi mu. Tapi kesampingkan dulu hal tersebut, karena aku membutuhkan pembuktian.” Kukuh Adrian. “Kamu tidak akan kesusahan seperti ini lagi, hidupmu akan terjamin bersamaku. Rumah, uang makan, uang belanja, atau barang-barang baru, barang-barang branded, semuanya akan aku penuhi, akan aku berikan, asalkan... kamu mau membuktikan cintamu.” Gemuruh hati Zevanya mendengarnya.
Ia merasakan semua kesulitan ini, itu karena dirinya yang tidak ingin mengikuti jejak sang ibu yang menjadi penghangat ranjang para pria brengsek demi kekayaan dan kesenangan. Jika dirinya memang menginginkan semua kemewahan itu, maka ia akan tetap di rumah. Ibunya akan memberikan dan memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya. Tidak perlu ia bekerja sesudah payah ini.
Dan sudah sejauh ini, usahanya malah digoyahkan oleh seorang yang ia kagumi dan cintai. Hati gadis itu tak terkira lagi, binar wajahnya pun semakin meredup.
“Jangan terlalu banyak berpikir Vanya, dan jangan jual mahal. Toh, ibumu juga wanita yang sangat berpengalaman dibidang itu. Masa anaknya—“
“Berhenti, Adrian, kumohon berhenti!” air mata Zevanya mengalir tanpa permisi, ia tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seseorang yang menjadi tempatnya melabuhkan seluruh kepercayaan dan cintanya.
Sama sekali tidak ada dalam benak Zevanya, bahwa momen seperti akan terjadi. Dimana orang yang selama dua tahun ia percaya, orang yang menjadi tumpuan hatinya, dengan begitu mudahnya berkata merendahkan seperti itu.
Senyum miring Adrian tercipta, seolah wajah ramah dan penyayangnya selama ini hanyalah topeng belaka. Kini pria itu menampilkan wajah aslinya.
“Jangan terlalu naif Zevanya, kau membutuhkan uang untuk biaya hidupmu dan aku membutuhkan kehangatan.” Adrian memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana, matanya memindai Zevanya dari atas hingga ke bawah. Sungguh ciptaan Tuhan yang amat sempurna, membuat ia rela melakukan apa pun untuk dekat dan mendapatkannya. Bahkan rela melakukan hal membosankan selama 2 tahun ini untuk mendapatkan kepercayaan gadis yang terlihat sok suci.
“Aku bukan ibuku, Adrian,” suara Zevanya terdengar pelan, namun tegas. Dan aku tidak akan menjadi seperti dia. Lanjutnya dalam hati. “Jadi, kau mau menganggap hubungan ini sebagai transaksi?”
Adrian mendengus, tampak tidak peduli dengan kata-kata Zevanya. Namun, dalam hati ia membenarkan. Dan itu, transaksi yang sama-sama menguntungkan bukan?
“Iya, lalu apakah itu salah?” pria itu bertanya dengan raut tanpa dosa.
Zevanya benar-benar melihat wujud aslinya sekarang, ia mengusap air matanya. Sudah banyak hal yang ia alami selama ini, dan Zevanya bisa menghadapi semuanya tanpa air mata. Dan sekarang pun ia pasti bisa, tidak ingin menyia-nyiakan air matanya yang begitu berharga.
“Jangan keras kepala, hidup ini kejam. Dan aku menawarkan kemudahan sekaligus kesenangan,” kata Adrian yang mulai terdengar menjijikan di telinga Zevanya.
“Sekarang kau memperlihatkan wujud aslimu, dan bodohnya aku tertipu akan hal itu!” datar Zevanya membuat Adrian tertawa lebar, seolah apa yang dikatakan Zevanya barusan adalah sebuah lelucon.
“Oh ayolah, Sayang. Jangan terlalu serius menjalani kehidupan ini.” Jawab Adrian masih dengan kekehan yang berusaha pria itu hentikan.
Semua yang Zevanya perjuangkan, semua batasan yang ditetapkan untuk menjaga kehormatan dirinya, kini seolah tidak berarti apa-apa di hadapan pria ini.
“Aku tidak bisa, mari kita akhiri hubungan ini!” Zevanya mengambil langkah mundur, meyakinkan dirinya bahwa ini yang terbaik. Ia tidak ingin mengikuti jejak ibunya dan mengambil jalan lain, walaupun akan semakin menggali penderitaan.
Adrian menatap wajah Zevanya dengan serius, pria itu mendekat. Zevanya bersikap waspada, saat jari Adrian ingin menyentuh dagunya dengan cepat ditepisnya.
Kekehan mencemooh keluar dari bibir pria itu, merasa semakin tertantang untuk menaklukkan sosok di depannya. Apa pun caranya!
“Tolong jangan terlalu percaya diri, itu tidak baik.” Zevanya diam, tak membalas. “Kamu kira ada pria sepertiku yang menginginkan gadis miskin seperti dirimu, jika bukan karena....” Andrian kembali memandang Zevanya dari atas hingga ke bawah dengan tatapan melecehkan.
Tangan Zevanya terkepal, ia tahu maksud pria itu. Dan kini ia menyadari, hidup memang tidak seperti cerita dongeng. Dimana gadis miskin yang dijemput oleh pangeran berkuda putih.
Zevanya menghela napas, berusaha tenang dengan situasi ini. Tidak ingin meladeni pria yang telah resmi menjadi mantan yang patut untuk ia sesali seumur hidup. Jika bisa, gadis itu ingin mengulang waktu dimana hari pertemuan pertama mereka untuk mengambil rute lain dan tidak bertemu dengan pria ini.
“Memang aku miskin, dan karena itu gadis miskin ini akan menjaga satu-satunya hal yang berharga dalam dirinya.” Balas Zevanya dengan tegas. “Uangmu memang banyak, maka tolong membeli adab dan sopan santun!” Setelah mengatakan itu, Zevanya berbalik dan pergi. Seolah Adrian adalah orang asing yang tak memiliki kenangan dalam hidupnya.
Ekspresi wajah Adrian berubah menjadi dingin, kesal dan tentu saja marah. Baru saja gadis itu mempermainkannya, mempermainkan seorang Adria Osmand. Salah satu keluarga terpandang di kota ini karena ayahnya adalah CEO di perusahaan besar.
Tidak terima, Adrian mengejarnya dan langsung menyudutkannya ditembok trotoar.
Zevanya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bahaya seolah di depan mata. Dan benar, Adria dengan wajah memerah akibat amarah mencengkeram dagunya dengan kuat, seolah siap meremukkan.
“Kamu nggak waras, Adrian!” berontak Zevanya berusaha melepaskan diri. Tetapi tenaga pria ini sungguh kuat, tidak sebanding dengan dirinya yang perempuan.
“Aku akan melepaskan mu, setelah kita bersenang-senang.” Adrian berbicara di depan wajah Zevanya, nafasnya menerpa wajah gadis itu membuatnya semakin ketakutan. Namun, berusaha ia sembunyikan.
“Tidak, aku tidak mau!” Zevanya berontak sekuat tenaga, saat Adrian ingin mencium dengan paksa, kaki gadis itu dengan refleks menendang bagian inti pria itu.
Adrian memekik kesakitan sembari membekap miliknya, kesempatan tersebut Zevanya gunakan untuk kabur. Segera gadis itu membawa lari kedua tasnya menuju jalan raya.
“Berhenti, Vanya!” teriak Adrian murka. Namun, gadis itu tidak mendengarkan. “Kamu tidak akan bisa lari dariku,” ujarnya, terlihat sekali terobsesi pada Zevanya.
Kendaraan terlihat sepi, jarang yang lewat. Nampaknya ini memang sengaja dilakukan oleh Adrian untuk menjebaknya dengan dalih kos di lingkungan ini murah.
Setelah kesakitan yang luar biasa, Adrian bangkit mengejar. Zevanya kembali panik, ia berusaha menghentikan pengendara mobil yang sesekali lewat. Namun, tidak ada yang mempedulikannya.
Dengan ketakutan dan kecemasan, gadis itu menghadang seorang pengendara motor yang kebetulan lewat.
“Mbak, kalau mau bunuh diri jangan di sini. Masih ada cara lainnya yang tidak melibatkan ora—“ orang itu sedikit membentak setalah berhasil menghentikan motornya tepat beberapa centimeter di depan Zevanya.
“Maaf, Mas. Tolong... tolong saya,” potong Zevanya, nadanya bergetar. Sesekali menoleh ke belakang, melihat Adrian yang semakin mendekatinya.
Orang itu menoleh ke belakang, mengerti situasi, ia pun mempersilahkan Zevanya naik. Motor dengan body yang tak utuh itu segera melaju dan masuk lorong yang hanya muat kendaraan beroda dua. Membuat Adrian semakin marah dan hanya bisa memandangi mereka yang semakin menjauh.
“Aku tetap akan mendapatkan mu!” desis Adrian.