Seraphina dan Selina adalah gadis kembar dengan penampilan fisik yang sangat berbeda. Selina sangat cantik sehingga siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta dengan kecantikan gadis itu. Namun berbanding terbalik dengan Seraphina Callenora—putri bungsu keluarga Callenora yang disembunyikan dari dunia karena terlahir buruk rupa. Sejak kecil ia hidup di balik bayang-bayang saudari kembarnya, si cantik yang di gadang-gadang akan menjadi pewaris Callenora Group.
Keluarga Callenora dan Altair menjalin kerja sama besar, sebuah perjanjian yang mengharuskan Orion—putra tunggal keluarga Altair menikahi salah satu putri Callenora. Semua orang mengira Selina yang akan menjadi istri Orion. Tapi di hari pertunangan, Orion mengejutkan semua orang—ia memilih Seraphina.
Keputusan itu membuat seluruh elite bisnis gempar. Mereka menganggap Orion gila karena memilih wanita buruk rupa. Apa yang menjadi penyebab Orion memilih Seraphina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secretwriter25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Rencana Baru
“Papa!” Selina menerobos masuk ke dalam ruang kerja ayahnya.
Damian mengangkat kepala dari buku besar yang sedang ia tulis, pena masih tergenggam di tangannya. “Ada apa, Sayang? Butuh uang?” tanyanya sambil menatap putrinya itu.
Selina menjatuhkan diri ke sofa beludru mewah, lalu menyilangkan kaki. “Apa rencana Papa selanjutnya?”
“Rencana apa maksudmu?” Damian balik bertanya.
Selina menghela napas kesal. “Tentu saja tentang Orion dan Sera, Papa! Aku ingin Orion!” suaranya meninggi.
“Berhentilah mengusik mereka, Selly. Kita harus menghindari konflik dengan keluarga Altair,” ucap Damian sambil meletakkan penanya. “Papa akan carikan suami yang lebih baik dari Orion.”
“PAPA!!” Selina menjerit, suaranya nyaring hingga seolah bisa memecahkan kaca. “Kenapa Papa selalu membuatku marah?”
“Cukup, Selina!” Damian menatap tajam. “Papa sudah memutuskan untuk melindungi keluarga kita. Papa tidak mau keluarga Altair menghancurkan nama baik kita.” Ia menarik napas panjang. “Tolong pahami, Selly. Kau tidak ingin keluarga kita jatuh miskin, kan?”
Selina menggeleng cepat, gerakan kecil namun tegas—hanya membayangkannya saja membuat perutnya mual.
“Bagus. Maka jadilah anak baik, Selly.” Sebuah senyum tipis muncul di bibir Damian. “Kau tahu Rafael Eldric?”
Selina menatapnya ragu. “Anak bungsu keluarga Eldric?” tanyanya, nada ingin tahunya perlahan menggantikan amarah.
“Benar! Papa akan atur pertunanganmu dengan dia. Keluarga Eldric sama terhormatnya dengan keluarga Altair,” jelas Damian, suaranya mengandung nada kemenangan.
Pikiran Selina berputar cepat. Rafael Eldric—lelaki tinggi dengan rambut hitam dan sorot mata teduhnya.
“Status keluarga Eldric masih di bawah status keluarga Altair, Pa! Aku ingin yang statusnya di atas Altair!” kesal Selina.
“Kau harusnya tau kalau tidak ada keluarga lain yang bisa menggantikan posisi keluarga Altair.” Damian menghisap rokoknya. “Bisa mendapatkan Rafael Eldric pun sudah hal yang sangat bagus, Selly. Di masa depan nanti kau dan Rafael bisa mengalahkan keluarga Altair.”
“Tapi ayah… aku tidak mau berurusan dengan saudara perempuan Rafael yang terkenal gila itu!” ujar Selina.
Bukan lagi rahasia umum tentang bagaimana gilanya 5 putri keluarga Eldric. Seluruh putri-putrinya selalu terlibat dalam masalah. Mereka bahkan selalu menyakiti setiap perempuan yang dekat dengan Rafael.
“Tenang saja, Selly. Putri-putri keluarga Eldric tidak suka dengan perempuan dari kalangan bawah. Sementara kau berbeda—mereka pasti akan menyukaimu,” jelas Damian.
“Aku ikuti kemauan Papa saja,” jawab Selina akhirnya.
Damian bersandar di kursinya, menghela napas lega. “Pilihan yang luar biasa, Selly. Bayangkan saja kehormatan dan kekuatan yang akan kita miliki.”
“Lalu Orion?” tatapan Selina menyipit, masih ada kilatan posesif di sana. “Dia benar-benar akan menjadi milik Seraphina?”
“Biarkan saja dia, Sayang. Pengaruh keluarga Altair pasti akan berkurang saat Orion menikahi Seraphina. Pasti banyak orang yang akan menggunjingkan mereka,” ujar Damian lembut, nada suaranya penuh keyakinan. “Kau akan punya kehidupanmu sendiri, pengaruhmu sendiri. Dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya menyesal.”
Selina membayangkan—Rafael di sisinya, kekayaan mereka berpadu, kemegahan yang mampu menenggelamkan nama Altair. Wajah Orion muncul di benaknya, berlutut di kakinya karena penyesalan.
“Baiklah, Papa.” suaranya rendah, sarat tekad baru. “Atur pertemuanku dengan Rafel. Aku akan melihat apakah dia sanggup melewatkan pesonaku!”
Senyum Damian melebar—menatap putrinya yang kembali bersemangat. “Bagus sekali, Sayang. Papa tahu kau akan mengerti.”
Selina berdiri, merapikan gaunnya yang sebenarnya tak berkerut. Ini permainan baru—dan ia akan memanfaatkannya dengan baik. Rafael Eldric. Ia mengulang nama itu dalam hati.
“Pastikan cincin pertunanganku nanti lebih besar dari apa pun yang bisa dimiliki Sera Altair,” ucapnya. “Dan pestanya... akan jadi pembicaraan seluruh kota selama bertahun-tahun.”
—
Dokter akhirnya mengizinkan Sera untuk pulang ke rumahnya. Orion menjemput Sera bersama Alina—mereka membantu gadis itu untuk bersiap-siap.
Langit Jakarta sore itu berwarna jingga pucat, matahari merunduk malas di balik gedung-gedung tinggi. Dari jendela mobil hitam yang meluncur pelan di jalanan kota, Seraphina menatap keluar, matanya menangkap siluet langit yang perlahan berubah warna.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, tubuhnya sudah jauh lebih baik. Luka-luka kecil di tangannya nyaris tak terasa, hanya menyisakan memar samar yang tertutup perban tipis. Orion duduk di sebelahnya, satu tangan memegang kemudi, satu lagi menggenggam tangan Sera dengan lembut di atas pangkuannya.
“Apa kamu yakin sudah kuat?” tanya Orion pelan.
Sera menatapnya dan tersenyum kecil. “Dokter sudah bilang aku boleh pulang. Lagi pula, kamu terlalu khawatir, Rion. Aku sudah menghabiskan waktuku selama tiga hari di rumah sakit dan aku sangat bosan,” keluhnya.
Orion tersenyum sekilas, matanya tidak lepas dari jalan. “Bagaimana mungkin aku tidak khawatir, Sayang. Aku punya alasan untuk khawatir. Kamu terlalu sering membuat jantungku berhenti berdetak.”
Sera tertawa kecil, menatap ke luar jendela. “Kamu terlalu dramatis, Rion.”
Mobil berhenti di sebuah tempat yang tak asing tapi juga tak biasa bagi Sera. Jalanan berbatu, pepohonan tinggi berbaris rapi, dan di ujungnya berdiri sebuah bangunan kaca kecil di tepi danau. Cahaya sore memantul di permukaan air, menciptakan kilau keemasan yang lembut.
“Di mana ini?” tanya Sera penasaran.
Orion mematikan mesin mobil, lalu turun dan membuka pintu untuknya. “Katanya kamu bosan, kan?” Ia menatap Sera dan tersenyum tipis. “Kupikir kamu sesuatu yang menenangkan sebelum kembali ke mansion itu.”
Sera tersenyum lalu menatap danau luas yang memantulkan langit senja dengan sempurna. Angin sore berhembus pelan, mengibaskan rambutnya. Ia menghirup udara dalam-dalam merasakan ketenangan di tempat itu.
“Tempat ini indah,” ucap Sera akhirnya.
“Ya,” sahut Orion pelan, matanya menatap wajah Sera, bukan pemandangan. “Sangat indah.”
Sera menyadarinya, menunduk cepat sambil pura-pura memungut kerikil kecil lalu melemparkannya ke danau. “Kamu ini, selalu bicara hal-hal yang bikin aku nggak tahu harus jawab apa.”
“Kalau begitu, jangan jawab apa pun.” Orion menatapnya lembut. “Cukup di sini bersamaku.”
Sera terdiam. Angin kembali berhembus, membawa aroma air dan dedaunan basah. Saat itu, dunia terasa sederhana—hanya mereka berdua, di antara langit senja dan air danau yang memantulkan bayangan mereka.
Mereka duduk di bangku kayu tua menghadap air. “Aku tau kamu sangat menyukai senja, Sera. Karena itu aku membawamu ke tempat ini. Tempat di mana senja paling indah di kota ini muncul,” jelas Orion.
“Benarkah?” mata hijau Sera membulat tak percaya.
Orion mengangguk cepat.
Sera tersenyum lalu mengecup lembut pipi Orion. Wajah Orion memerah saat menerima perlakuan manis dari Seraphina. Mereka menikmati sore itu dalam diam yang nyaman. Burung-burung melintas di langit, dan matahari perlahan tenggelam, meninggalkan cahaya oranye terakhir sebelum malam mengambil alih.
🍁🍁🍁
Bersambung