NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:446
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Sosok Itu?

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Hujan sudah reda sejak beberapa jam lalu, menyisakan udara lembap dan kabut tipis yang perlahan naik dari pepohonan. Dari celah pepohonan di sisi timur, sinar matahari mulai menembus kabut, membentuk cahaya keemasan yang menyapu lembah dan punggung gunung.

Para mahasiswa baru saja selesai menikmati secangkir teh hangat buatan Nando.

Raka baru saja berdiri ngomong

"Guys lihat disana deh" Raka menunjukkan ke arah timur terlihat ada matahari terbit dari laut.

Semua serentak menoleh ke arah yang ditunjuk Raka. Dari balik pepohonan, cahaya jingga keemasan mulai muncul perlahan, menembus sisa kabut tipis yang masih menggantung di udara.

“Wah… indah banget,” ujar Lala pelan, matanya berbinar kagum.

Sinar mentari pagi itu memantul di permukaan dedaunan yang masih basah oleh embun, menciptakan kilau lembut seperti butiran kaca. Suasana hutan yang semalam terasa menyeramkan, kini tampak tenang dan damai.

Novi menambahkan sambil tersenyum,

“Gila ya, dari atas sini kelihatan banget lautnya. Pantes gunung ini disebut Arga Dipa, katanya artinya ‘cahaya dari langit yang menyentuh laut’.”

Raka menepuk pundaknya sambil tertawa kecil,

“Nov, penjelasan lu udah kayak pemandu wisata aja.”

Mereka semua tertawa, termasuk Nando.

"Iya, gue pernah baca artikelnya dari pendaki sebelumnya," ucap Novi.

Nando segera mengeluarkan kameranya dari tas kecil yang selalu ia bawa. Ia tersenyum lebar, mencoba menghidupkan suasana setelah malam yang menegangkan.

> “Ayo sini-sini, kita foto bareng. Jarang banget kan bisa lihat sunrise sekeren ini di tengah gunung,” katanya sambil mengatur posisi kamera di atas batu besar.

Raka dan yang lain langsung berdiri berdekatan, beberapa masih membawa cangkir teh di tangan. Novi berpose dengan gaya peace, Lala tersenyum lembut, dan Dimas malah pura-pura menguap lebar.

“Satu… dua… tiga… cheese!” seru Nando.

Klik!

Cahaya dari kamera memotret momen itu dengan sempurna — setidaknya, begitu yang mereka kira.

Mereka tertawa, meninjau hasil fotonya di layar kamera.

"Nggak sia-sia juga ya ternyata kita jauh-jauh kesini," ujar Lala.

Di Desa Mekar Sari, embun masih menempel di dedaunan ketika ayam jantan mulai berkokok bersahutan. Langit perlahan berubah dari abu-abu muda menjadi jingga keemasan, pertanda pagi yang cerah tengah menyapa.

Pak Arman berdiri di depan rumahnya sambil menarik napas panjang, menikmati udara segar yang masih beraroma tanah basah sisa hujan semalam. Ia menatap langit dan tersenyum tipis.

“Seperti hari ini cukup cerah,” gumamnya pelan sambil menyalakan rokok kretek di tangannya.

Tak lama, dari arah jalan setapak samping rumahnya terdengar suara langkah kaki cepat. Pak Asep datang

“Pagi, Man! Wah, akhirnya cuaca bagus juga, ya. Tadi malam saya kira bakal hujan terus,” katanya sambil menepuk bahu Pak Arman.

“Iya, Sep. Tapi entah kenapa hati saya masih ndak tenang,” jawab Pak Arman pelan.

“Dari tadi subuh, saya dengar suara gamelan samar dari arah gunung Arga Dipa.”

Pak Asep menatapnya dengan wajah serius.

“Kamu yakin, Man? Jangan-jangan cuma suara radio dari rumah orang.”

“Semoga saja apa yang saya pikirkan Ndak benar Sep," ucap Pak Arman sambil mematikan rokoknya.

“Assalamualaikum, Abi…” suara lembut Aisyah terdengar dari arah jalan setapak sambil menenteng dua jeriken air. Nafasnya sedikit terengah karena menempuh jarak cukup jauh ke sumber mata air di pinggir desa.

Pak Arman menoleh pelan, senyum kecil sempat muncul di wajahnya—namun senyum itu seketika memudar. Tatapannya menegang, tubuhnya kaku seperti batu. Di belakang Aisyah, tepat di ujung jalan yang diselimuti kabut tipis pagi itu, terdapat sosok besar berbulu lebat, hitam pekat, dengan mata merah menyala. Bayangan itu berdiri diam, tapi jelas sekali bentuknya seperti genderuwo.

Saking terkejutnya, rokok yang tadi baru saja ia matikan jatuh dari jarinya.

“A-aisyah…” suaranya bergetar. “Kamu… kamu sendirian, Nak?”

Aisyah mengangguk polos, menatap ayahnya heran.

“Iya, Abi. Memangnya kenapa?”

Pak Asep yang melihat perubahan wajah temannya ikut menoleh ke arah jalan. Namun anehnya — di matanya, tak ada siapa pun di belakang Aisyah. Hanya jalan sepi.

“Kenapa, Man? Kok wajahmu pucat gitu?” tanya Pak Asep bingung.

Pak Arman menelan ludah, tak bisa langsung menjawab. Sosok hitam di belakang Aisyah perlahan mundur ke balik pohon besar, kemudian menghilang begitu saja.

Pak Arman akhirnya menarik napas panjang.

“Ndak apa-apa, Sep… mungkin mata saya yang salah lihat.”

Namun matanya masih terpaku ke arah pohon tempat sosok itu tadi berdiri — dan dari sana, samar-samar terdengar suara napas berat seperti hembusan dari dada besar yang menahan amarah.

Aisyah memiringkan kepala, wajahnya menunjukkan kebingungan. Ember air yang dibawanya masih menetes pelan, membasahi tanah di depan teras.

“Abi kenapa? Dari tadi liatin aku terus,” tanya Aisyah pelan.

Pak Arman hanya menggeleng cepat, tapi sorot matanya masih gelisah.

“Ndak, Ndak apa-apa, Nak… kamu istirahat aja dulu. Capek ‘kan bawa air sejauh itu?”

Aisyah menatap ayahnya lekat, lalu berpaling ke arah Pak Asep yang berdiri di samping.

“Pak Asep, Abi kenapa sih? Mukanya tegang banget.”

Pak Asep mengangkat alis, ikut bingung.

“Entah, Nduk… tadi juga pas kamu datang, Abi kamu tiba-tiba diam begitu saja. Saya rasa Abi kamu lihat sesuatu.”

Mendengar itu, Pak Arman cepat-cepat menimpali, suaranya agak meninggi seperti menutupi rasa takutnya sendiri.

“Sudah, sudah. Jangan dibahas. Cepetan masuk, Aisyah.

Setelah Aisyah pergi Pak Asep bertanya kepada Pak Arman

"Jadi bagaimana rencana kita naik ke gunung Arga Dipa malam ini Man? Malam inikan malam Jum'at Kliwon"

Pak Arman menarik napas panjang, pandangannya masih tertuju ke arah jalan tempat sosok menyeramkan tadi muncul. Ia mengusap wajahnya perlahan, berusaha menenangkan diri.

“Iya, Sep… malam ini malam Jum’at Kliwon. Tapi justru itu yang aku khawatirkan,” ucapnya pelan.

Pak Asep mendekat sedikit, suaranya diturunkan.

“Kita sudah janji sama Ki Waryo, Man. Kalau mau naik, waktunya cuma malam ini. Kalau ndak, nanti bisa terlambat. Dan bagaimana nasib anak-anak itu,”

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!