NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:734
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Clara?

Punggung Aldo telah lenyap di balik pintu ruang makan yang menjulang tinggi, tetapi hawa dingin dari kehadirannya masih tertinggal, membekukan udara di sekitarku. Aku terduduk kaku, tatapanku terpaku pada dua benda di atas meja yang berkilauan, sebuah kotak ponsel yang terasa seperti borgol modern dan sebuah kunci kuningan yang berat, terasa seperti kunci menuju neraka pribadiku sendiri.

“Nyonya… sarapannya mau ditambah?” suara Bi Asih yang lembut menyentakku dari lamunan bekuku. Aku mendongak dan melihat tatapan iba di matanya, sebuah tatapan yang langsung ia sembunyikan di balik senyum profesionalnya.

“Nggak usah, Bi. Saya… saya sudah kenyang,” jawabku, suaraku serak. Aku mendorong piring berisi roti panggang yang baru kugigit sekali menjauh. Selera makanku telah musnah, digantikan oleh gumpalan asam di perutku.

“Baik, Nyonya. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?” tanyanya, seolah tahu ada beban tak kasat mata yang sedang menimpaku.

“Tolong… tunjukkan di mana perpustakaan pribadi itu, Bi,” pintaku pelan. Permintaan itu terdengar absurd bahkan di telingaku sendiri. Seharusnya aku bertanya di mana kamarku, atau di mana aku bisa menemukan segelas air. Tapi tidak, aku harus segera memulai permainan kejam yang dirancang oleh suamiku.

“Tentu, Nyonya. Mari saya antar.”

Aku meraih kunci dan kotak ponsel itu, menggenggamnya erat-erat seolah keduanya adalah satu-satunya pelampung di tengah lautan ketidakpastian ini. Bi Asih menuntunku menaiki tangga yang megah, melewati lorong panjang yang dihiasi lukisan-lukisan mahal yang tampak menatapku dengan mata kosong. Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah pintu kayu jati ganda yang tampak tua dan kokoh.

“Ini ruangannya, Nyonya. Kalau butuh sesuatu, panggil saya saja lewat interkom di dalam,” ujar Bi Asih sebelum mengundurkan diri dengan hormat, meninggalkanku sendirian di depan pintu yang mengintimidasi itu.

Aku menarik napas dalam-dalam. Tanganku gemetar saat memasukkan kunci kuningan itu ke dalam lubangnya. Terdengar bunyi ‘klik’ yang berat saat kunci itu kuputar, dan pintu itu terbuka dengan sedikit decitan, seolah enggan mengizinkan orang asing masuk. Udara di dalam ruangan terasa pengap, sarat dengan aroma kertas tua, debu, dan kenangan yang terlupakan.

Perpustakaan itu tidak seperti yang kubayangkan. Ini bukan ruang baca yang nyaman. Ini adalah sebuah arsip. Rak-rak buku yang menjulang hingga ke langit-langit tinggi memenuhi tiga sisi dinding, sementara satu sisi lainnya dipenuhi oleh lemari-lemari arsip dari baja. Di tengah ruangan, sebuah meja kerja besar berdebu dan di sudut terjauh, di sanalah benda itu berdiri. Sebuah brankas hitam besar dari besi tempa, tampak kuno namun sangat kokoh. Monster yang harus kutaklukkan hari ini.

Aku melangkah mendekati meja dan meletakkan ponsel baruku di atasnya. Tugas pertama, aktifkan ponsel ini. Setelah beberapa menit, layar menyala dan aku tertegun melihat isinya. Benar kata Aldo. Daftar kontaknya begitu sepi. Hanya ada lima nama: ‘Suamiku’, ‘Rumah’, ‘Mama mertua’, ‘Papa mertua’, dan ‘Ibu’. Tidak ada Lika. Tidak ada teman-temanku. Aku resmi terputus dari duniaku.

“Oke, Aerra. Fokus,” bisikku pada diri sendiri, mencoba mengusir rasa panik yang mulai merayap naik. “Kamu bisa lakukan ini. Ini cuma sebuah teka-teki.”

Aku mulai menyisir ruangan, mencari titik awal. Surat? Buku harian? Album foto? Mataku tertuju pada setumpuk album foto bersampul kulit tebal di salah satu rak rendah. Mungkin ini yang paling mudah. Gambar tidak bisa berbohong, kan?

Aku menarik album pertama. Halaman depannya bertuliskan ‘Keluarga Wiratama – 1960-1970’. Aku membukanya perlahan. Foto-foto hitam putih menampilkan seorang pria gagah yang mirip dengan versi tua Aldo, tersenyum di berbagai kesempatan. Itu pasti kakeknya. Di sebelahnya, hampir di setiap foto, ada seorang wanita Eropa yang sangat cantik dengan senyum yang mempesona. Di bawah salah satu foto, tertulis sebuah nama dengan tulisan tangan yang anggun, ‘Hendrawan & Clara’.

“Clara,” gumamku. “Pasti ini dia. Wanita yang paling dicintai.”

Jantungku mulai berdebar lebih cepat, secercah harapan muncul. Aku membuka album demi album. Clara ada di mana-mana. Di acara keluarga, di liburan ke luar negeri, di pesta-pesta mewah. Mereka tampak seperti pasangan yang sempurna dan saling mencintai. Sekarang, aku hanya butuh tanggal lahirnya.

Aku beralih ke tumpukan surat yang diikat dengan pita rapuh. Aku membuka satu per satu, mataku memindai setiap baris dengan cepat, mencari nama ‘Clara’ atau petunjuk tentang hari ulang tahun. Tanganku mulai kotor oleh debu, dan mataku perih, tapi aku tidak peduli. Ini adalah perlombaan melawan waktu.

Setelah hampir dua jam yang terasa seperti selamanya, aku menemukannya. Sebuah surat kecil di dalam amplop yang sudah menguning. Isinya adalah undangan pesta. ‘Merayakan Hari Kelahiran Clara yang ke-21. Sabtu, 15 Agustus 1964’.

“15 Agustus!” seruku tertahan. Aku tidak tahu tahun kelahirannya, tapi untuk kombinasi brankas, biasanya hanya butuh tanggal dan bulan. Enam digit. 15-08-XX. Atau mungkin 15-08-43, jika tahun 1964 adalah ulang tahunnya yang ke-21. Aku punya beberapa kemungkinan.

Dengan semangat yang membara, aku bergegas menuju brankas itu. Tanganku yang berkeringat meraih putaran kombinasi yang dingin. Aku menarik napas, mencoba menenangkan debaran jantungku. Aku mencoba kombinasi pertama: 15-08-64. Aku memutar tuasnya. Terkunci.

“Oke, jangan panik,” bisikku. “Mungkin tahun lahirnya. 1964 dikurangi 21, berarti 1943.”

Aku mencoba lagi: 15-08-43. Aku memutar tuasnya. Masih terkunci. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Aku mencoba semua variasi yang bisa kupikirkan. 08-15-43, 15-43-08, bahkan tanggal pestanya 15-08-64. Tidak ada yang berhasil. Brankas itu tetap diam membisu, seolah mengejek usahaku.

Aku mundur selangkah, rasa lelah dan putus asa menghantamku seperti ombak. Harapanku yang tadi melambung tinggi kini hancur berkeping-keping. Clara bukanlah jawabannya. Semua usahaku sia-sia. Aldo pasti sudah tahu ini. Dia sengaja memberiku petunjuk palsu untuk mempermainkanku.

Air mata frustrasi mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku meninju pintu brankas yang dingin itu dengan kepalan tanganku. “Kenapa kamu melakukan ini padaku?” teriakku pada ruangan kosong itu. “Apa salahku?”

Tepat pada saat itu, ponsel di atas meja bergetar hebat, memecah keheningan. Layarnya menyala, menampilkan nama ‘Suamiku’. Jantungku mencelos. Dia menelepon. Dia akan menanyakan hasilnya. Dan aku… aku gagal total.

Dengan tangan gemetar, aku berjalan kembali ke meja dan mengangkat panggilan itu. Aku tidak mengaktifkan pengeras suara kali ini.

“Halo, Mas,” sapaku, berusaha keras agar suaraku tidak bergetar.

“Bagaimana tesnya, Aerra?” Suara Aldo terdengar tenang dan dingin dari seberang, seolah dia hanya menanyakan cuaca hari ini. “Sudah terbuka?”

Aku menelan ludah. “Be… belum, Mas. Aku sudah mencoba. Aku menemukan nama Clara, dan tanggal lahirnya, tapi kombinasinya tidak berhasil.”

Hening sejenak. Aku bisa mendengar suara napasnya yang teratur. “Clara, ya? Nenekku memang cantik. Kakek sangat sering memotretnya.”

“Jadi… bukan dia?” tanyaku putus asa.

Terdengar tawa kecil yang sinis dari seberang. Tawa yang membuat bulu kudukku berdiri. “Sudah kubilang, Aerra. Kamu harus menemukan wanita yang paling dicintai kakekku seumur hidupnya.”

“Tapi semua foto…”

“Foto bisa menipu,” potongnya tajam. “Orang cenderung memotret apa yang ingin mereka tunjukkan pada dunia, bukan apa yang mereka simpan di dalam hati. Aku memberimu petunjuk yang salah sejak awal dengan menyuruhmu melihat album foto. Itu tes pertama, untuk melihat apakah kamu akan berpikir di luar kotak.”

Napasaku tercekat. Ini bukan sekadar teka-teki.

“Lalu… apa petunjuknya, Mas? Aku harus mulai dari mana?” pintaku, membenci diriku sendiri karena terdengar begitu memelas.

Keheningan kembali menyelimuti, lebih lama dari sebelumnya. Saat Aldo akhirnya berbicara lagi, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh teka-teki dan mengerikan.

“Cari wanita yang tidak ada di dalam foto, Aerra. Dia ada di antara baris-baris tulisan tangan kakekku. Cari nama yang ia tulis saat ia pikir tidak ada seorang pun yang akan membacanya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!