Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buku Kenangan
Keesokan harinya, siang terik menelusup lewat sela tirai jendela kamar. Cahaya matahari jatuh tepat ke ujung kasur, seolah ingin membangunkan penghuninya dari mimpi buruk yang tak berkesudahan.
Anin duduk bersandar di tempat tidur, melipat kedua kaki. Pandangannya kosong menembus sudut kamar yang terasa dingin. Tak hanya itu, rambut Anin pun berantakan, matanya sembap, dan wajahnya tampak muram.
Ceklek.
Pintu terbuka. Giandra masuk dengan baju koko dan sarung, ia baru pulang dari mengantar almarhum ayah mertuanya ke peristirahatan terakhir.
Giandra melangkah mendekat, lalu duduk di samping Anin. “Kamu udah makan?” tanyanya lembut.
Tak ada jawaban, bahkan Anin tidak meliriknya sedikit pun. Giandra menghela napas berat.
“Aku tahu kamu terpukul, tapi kurung diri di kamar tanpa makan apa pun juga bukan solusi yang baik. Kamu cuma bikin sakit tubuhmu,” ujar Giandra.
Tangannya merangkul bahu Anin, kemudian menarik pelan kepala Anin untuk bersandar di pundaknya.
Anin mendongak perlahan. “Tapi ... Ayah meninggal gara-gara aku. Kalau ayah nggak datang ke rumah kita pasti dia masih hidup sekarang.”
Giandra menggeleng kecil. “Kamu salah kalau dia nggak datang pasti dia sangat terpukul karena kehilangan kamu. Bukan cuma ayahmu, tapi aku pun jauh lebih terpukul. Kalau dia nggak datang, pasti para pembunuh itu akan bunuh kamu, Lavanya, dan anak kita.” Ia menghela napas panjang. “Pak Darsono datang tepat waktu. Meskipun tewas tapi dia berhasil menyelamatkan tiga nyawa sekaligus dan mengadili pembunuh bayaran yang selama ini lolos dari hukum,” tambahnya.
Usapan hangat Giandra di kepala Anin membuat wanita itu merasa sedikit tenang dan tenggelam dalam pelukan.
“Gimana kalau ucapan Bu Siti bener? Aku emang pembawa sial,” ucap Anin dengan suara melirih.
“Nggak semua manusia pembawa sial, sayang. Semua ini takdir Allah. Kalau kamu nyalahin diri sendiri, sama aja kamu nyalahin Allah,” jawab Giandra.
Anin mengangkat wajahnya, menatap lekat wajah Giandra. “Kamu harus selalu sama kamu ya? Janji!” Dia mengulurkan kelingking mungilnya.
“Iya janji,” jawab Giandra sembari menautkan kelingking mereka.
“Sekarang kita makan, yuk. Aku masak makanan kesukaan kamu.” Giandra berdiri, mengangkat tubuh Anin dari kasur dan menggendongnya keluar kamar. Ia menaruh Anin di kursi makan, lalu duduk di sampingnya.
Anin menatap hidangan di meja, lalu melirik Giandra. “Kamu yang masak semua ini?” tanyanya tak percaya.
“Nggak sih. Dibantu sama Bu Siti, hehehe,” jawab Giandra jujur.
“Ibu tiriku ke sini?” Anin mengernyit.
“Kenapa? Saya nggak boleh datang ke rumah ini?” Suara ketus terdengar di belakang. Anin menoleh, mendapati Siti dan Delima berdiri tak jauh darinya.
“Maaf, Bu. Anin cuma kaget. Biasanya Ibu nggak pernah peduli sama Anin,” ungkap Anin jujur.
“Saya nggak peduli. Saya ke sini cuma mau kasih peninggalan ibumu,” sahut Siti dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Peninggalan apa, Bu?” tanya Anin.
“Agus! Cepat bawa ke sini!” titah Siti.
“Baik, Bu.”
Agus datang sembari menggendong sebuah peti berukuran sedang. Giandra langsung duduk di lantai, membantu membuka gembok peti itu.
Setelah gembok terlepas, Giandra membuka peti. Perlahan tampak sebuah buku dan tumpukan baju rajutan yang tersusun rapi dalam peti tersebut.
“Semasa hidup, ibumu suka menulis di buku itu. Dan waktu hamil, dia sering merajut pakaian bayi untuk kamu pakai.” Siti menghela napas. “Buka buku itu. Kamu akan mengetahui penyebab kematian ibumu,” tambahnya.
Giandra mengambil buku itu, kemudian menyerahkan pada Anin. Dengan tangan gemetar, Anin membuka halaman pertama yang hanya bertuliskan satu kata—Aisha.
“Siapa Aisha?” tanya Giandra.
“Nama ibu kandung Anin,” jawab Siti.
Anin mematung meratapi satu nama itu. Air matanya mendesak keluar, dan perlahan menetes membasahi halaman.
“Kamu kenapa nangis?” tanya Giandra.
“Aku baru tahu nama ibu kandungku. Selama ini aku nggak tahu apa pun tentangnya. Dari wajah, nama, bahkan tempatnya dimakamkan pun aku baru tahu saat mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhir,” jawab Anin dengan suara gemetar hebat.
Anin menunduk, dan terisak. Giandra tertegun, tak menyangka penderitaan istrinya jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Giandra menggeser kursi ke dekat Anin, kemudian menarik Anin ke dalam pelukannya.
“Kamu jangan nangis dong. Kan masih ada halaman berikutnya yang harus kita baca,” ujar Giandra.
Anin mengangguk kecil, kembali mengangkat wajahnya, dan menatap buku. Perlahan jemarinya membalikkan kertas ke halaman berikutnya yang berisi curahan ibunya semasa kecil hingga kenangan pahitnya yang harus melihat jasad tanpa kepala sahabatnya yang merupakan keturunan Belanda akibat perbuatan Jepang yang kala itu ingin merampas kekuasaan Belanda.
Dan halaman tengah menceritakan tentang pertemuan awalnya dengan seorang anak Bupati bernama Sudarsono Sudibyo kala dirinya menjadi tenaga pendidik di Hollandsch-Inlandsche School.
“Jadi mereka ketemu saat ayah anter adik bungsunya ke sekolah,” ucap Anin.
Senyum sumringah terukir di bibir Anin. Perlahan, dia membalikkan halamannya—membaca setiap tulisan indah yang menceritakan tentang hubungan ibu dan ayahnya. Tiba-tiba matanya terpaku menatap sebuah halaman bertuliskan.
Setelah menanti kehamilan selama tiga tahun akhirnya, aku hamil. Sebuah anugerah yang ku'syukuri karena Tuhan masih memberikan amanah untuk menjaga ciptaannya.
Anin menghela napas, senyum tipis terukir di bibirnya. Lalu, tatapannya teralih ke halaman sebelahnya.
Kenapa aku divonis kanker payudara stadium tiga di saat aku tengah mengandung buah hatiku? Aku tidak ingin menggugurkan janin ini.
Aku dan Mas Darso sudah menantinya selama bertahun-tahun ... Aku tidak rela melepas buah hatiku begitu saja.
Anin tertegun, dadanya mendadak sesak setelah membaca tulisan itu. Giandra menatap Anin, menyadari kesedihan istrinya. Dia pun ikut membalikkan halaman dan membaca tulisan selanjutnya.
Untuk calon buah hati ibu,
kamu jangan takut.
Ibu akan tetap mempertahankan
kamu meski ayah menyuruh ibu menggugurkanmu ... Ibu tidak akan melakukannya karena kamu berhak
lahir dan menghirup udara dunia
yang sangat segar dan sejuk ini.
Giandra melirik Anin yang semakin terpaku. Giandra menghela napas, lalu membaca halaman sebelahnya.
Kian hari tubuhku kian melemah karena aku enggan melakukan terapi atau operasi karena takut membahayakan calon buah hatiku.
Di saat seperti ini, rumah tanggaku justru merenggang karena tidak mematuhi perintah suamiku.
Setiap malam, aku selalu sendiri. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan kesehatanku, bahkan suamiku lebih memilih mengambil proyek di luar kota dan tinggal di sana daripada menemaniku yang tengah hamil tua.
Aku mengisi kekosonganku dengan merajut pakaian untuk anakku nanti meski aku tidak tahu ... Apakah aku masih hidup atau tidak? Namun, jika hal buruk terjadi padaku, setidaknya anakku selamat dan lahir dalam kondisi sehat.
Giandra terpaku, matanya berlinang air matanya—hatinya teriris membacanya karena ikut membayangkan betapa kesepiannya ibu mertuanya itu.
Sementara Anin mengigit jari-jemarinya ketika membaca halaman berikutnya.
Hari ini, aku akan melahirkan. Namun, aku tidak tahu, apa aku tetap hidup atau tiada setelah melahirkan anakku?
Teruntuk anakku, jika nanti kamu membaca buku ini. Artinya ibu sudah tidak ada dan ibu menitipkan buku ini kepada adik ibu, Siti Sarasvati.
Hanya satu pesan ibu untukmu, Nak.
Tumbuhlah menjadi anak baik dan patuh pada ayahmu karena dia satu-satunya orangtua yang kamu punya.
Anin menghela napas panjang, berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya. Setelah merasa tenang, dia kembali membalikkan halaman. Namun, tulisannya berbeda dengan di halaman-halaman sebelumnya. Ya tulisan itu milik ayahnya.
Maaf.
Aku gagal jadi suami yang baik dan mengabaikan kamu selama ini.
Aku tidak pernah mendua, aku hanya kesal karena kamu tidak mematuhi perintahku. Akan tetapi, kekesalanku justru membuatku tidak bisa menemani kamu di detik-detik terakhir.
Aku berjanji akan berusaha menjaga putri kita, seperti kamu menjaganya selama dalam kandungan.
Salam rindu, Darsono.
Tiba-tiba Giandra terisak, membuat Anin menatapnya. “Kamu kenapa?”
“Aku bisa rasain penyesalan Pak Darsono yang begitu mendalam. Dia pasti nulis ini sambil gemeteran karena tulisannya berantakan,” jawab Giandra.
Anin mengusap punggung Giandra. “Kamu jangan seperti ayah ya? Jadilah suami yang lebih baik,” ujarnya.
Giandra mengangguk pelan, isak tangisnya semakin kencang.
“Saya pergi. Oh iya, kamu jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya lagi. Mulai detik ini, saya bukan ibumu lagi! Daripada kita ribut mending kita akhiri hubungan keluarga sampai di sini,” tutur Siti.
Anin mengangguk kecil, meratapi kepergian Siti dan Delima hingga menghilang dari balik tembok.
“Non ...” panggil Agus.
“Iya, Pak?” tanya Anin.
“Ini hadiah dari Pak Darsono untuk non dan anak,” jawab Agus.
Agus memberikan tas besar, Anin pun menerimanya. Dia membelalak melihat sebuah kotak musik yang telah dirinya inginkan sejak lama.
'Hadiah untuk putriku karena telah menjadi seorang ibu' Itulah isi kertas yang tertempel di atas kotak musik itu.
“Ayah ... Kau benar-benar memanfaatkan sisa waktumu dengan sebaik mungkin,” tutur Anin.
Air matanya kembali mengalir mengenai halaman buku itu.