Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kucing oren,hujan dan pengakuan yang tertunda lagi
Asillah terkejut melihat kucing oren yang sama berusaha masuk ke rumah Dokter Alfin. Ia teringat akan kejadian lucu sekaligus memalukan di ruangan Dokter Alfin beberapa waktu lalu. Ia tidak bisa menahan senyumnya.
"Ya ampun, kucing oren itu lagi? Kenapa dia selalu muncul di saat yang tidak tepat?" gumam Asillah dalam hati.
Ia melihat Dokter Alfin keluar dari dapur sambil membawa dua cangkir teh hangat. Dokter Alfin juga terkejut melihat kucing oren itu.
"Astaga! Kucing itu lagi? Bagaimana bisa dia ada di sini?" tanya Dokter Alfin dengan nada panik.
"Sepertinya, dia ingin bertamu ke rumah Dokter," jawab Asillah sambil tertawa.
"Saya tidak suka dengan kucing itu. Dia membuat saya merinding," kata Dokter Alfin sambil bergidik.
"Sudahlah, Dok. Jangan takut. Dia tidak akan menggigit," kata Asillah sambil mendekati pintu.
"Jangan mendekat! Biar saya saja yang mengusirnya," cegah Dokter Alfin.
"Tidak perlu, Dok. Biar saya saja. Dokter kan sedang sakit," kata Asillah.
Asillah membuka pintu dan menghampiri kucing oren itu. Kucing itu mengeong dengan keras dan menggesekkan tubuhnya ke kaki Asillah.
"Hai, kucing manis. Kamu mau apa di sini?" sapa Asillah sambil mengelus-elus kepala kucing itu.
Kucing itu tampak senang dielus oleh Asillah. Ia mengeong dengan lebih lembut dan menjilat tangan Asillah.
Dokter Alfin melihat Asillah berinteraksi dengan kucing itu dengan tatapan kagum. Ia tidak menyangka bahwa Asillah bisa begitu dekat dengan hewan yang ia takuti.
"Kamu berani sekali, Asillah. Saya salut padamu," kata Dokter Alfin.
"Dia tidak seburuk yang Dokter kira kok. Dia cuma butuh kasih sayang," jawab Asillah sambil tersenyum.
Asillah kemudian mengangkat kucing oren itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dokter Alfin terkejut melihat tindakan Asillah.
"Kamu mau apa, Asillah? Jangan bawa kucing itu masuk ke dalam rumah!" seru Dokter Alfin dengan nada panik.
"Tenang saja, Dok. Saya akan menaruhnya di luar lagi. Saya cuma ingin memberinya makan," jawab Asillah.
Asillah membawa kucing oren itu ke dapur dan memberinya makan sisa ikan yang ada di kulkas Dokter Alfin. Kucing itu makan dengan lahap.
Dokter Alfin mengikuti Asillah ke dapur dengan perasaan was-was. Ia terus memperhatikan kucing oren itu dengan tatapan curiga.
"Sebenarnya, saya kasihan dengan kucing ini. Dia selalu berkeliaran di sekitar rumah sakit mencari makan. Mungkin, dia tidak punya rumah," kata Asillah.
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak membawanya pulang saja? Kamu kan suka dengan kucing," usul Dokter Alfin.
Asillah terkejut mendengar usulan Dokter Alfin. Ia tidak menyangka bahwa Dokter Alfin akan menyuruhnya untuk memelihara kucing itu.
"Saya? Memelihara kucing? Saya kan tidak punya waktu untuk mengurus kucing," jawab Asillah.
"Kamu bisa kok. Kamu kan wanita yang hebat. Kamu bisa melakukan apa saja," kata Dokter Alfin sambil tersenyum.
Asillah merasa pipinya memanas mendengar pujian Dokter Alfin. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kalau Dokter tidak keberatan, saya akan coba memelihara kucing ini. Tapi, kalau saya tidak sanggup, Dokter harus mau membantunya ya," kata Asillah.
"Tentu saja. Saya akan selalu ada untukmu," jawab Dokter Alfin dengan nada yang tulus.
Asillah tersenyum mendengar jawaban Dokter Alfin. Ia merasa sangat bahagia dan bersemangat.
Setelah kucing oren itu selesai makan, Asillah membawanya keluar rumah dan meletakkannya di teras. Ia berjanji akan kembali lagi besok untuk memberinya makan.
Asillah kembali masuk ke dalam rumah dan menghampiri Dokter Alfin yang sedang duduk di sofa. Ia duduk di samping Dokter Alfin dan mengambil cangkir teh hangatnya.
"Terima kasih, Dok. Tehnya sangat enak," kata Asillah.
"Sama-sama. Kamu suka?" tanya Dokter Alfin.
"Suka sekali. Dokter memang pandai membuat teh," jawab Asillah.
Suasana di antara mereka kembali tenang dan romantis. Hujan deras masih mengguyur kota Jakarta. Suara
Kucing Oren, Teh Hangat, dan Godaan yang Menggoda
Suara hujan yang deras menciptakan suasana yang semakin intim di antara Asillah dan Dokter Alfin. Mereka berdua duduk berdampingan di sofa, menikmati teh hangat dan kebersamaan.
Asillah merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Dokter Alfin. Ia merasa seperti sudah mengenal pria itu sejak lama. Ia merasa bahwa Dokter Alfin adalah orang yang tepat untuknya.
Namun, di sisi lain, Asillah juga merasa sedikit gugup. Ia takut merusak suasana yang sudah tercipta. Ia takut melakukan kesalahan yang akan membuat Dokter Alfin menjauh darinya.
Ia memutuskan untuk mencairkan suasana dengan sedikit bercanda. "Dokter, sebenarnya saya penasaran. Kenapa Dokter begitu takut dengan kucing? Apa Dokter punya trauma masa kecil dengan kucing?" tanya Asillah dengan nada menggoda.
Dokter Alfin terkejut mendengar pertanyaan Asillah. Ia merasa malu karena fobianya terbongkar.
"Itu... itu bukan urusanmu," jawab Dokter Alfin dengan nada gugup.
"Ayolah, Dok. Cerita saja. Saya janji tidak akan menertawakan Dokter," bujuk Asillah.
Dokter Alfin menghela napas panjang. "Baiklah, saya akan cerita. Tapi, kamu jangan tertawa ya," kata Dokter Alfin.
"Siap, Dok. Saya janji," jawab Asillah sambil menahan senyumnya.
Dokter Alfin mulai bercerita tentang masa kecilnya. Ia bercerita bahwa ia pernah dikejar dan dicakar oleh seekor kucing liar saat ia masih kecil. Kejadian itu membuatnya trauma dan takut dengan kucing hingga sekarang.
Asillah mendengarkan cerita Dokter Alfin dengan seksama. Ia merasa kasihan dengan pria itu.
"Kasihan sekali Dokter. Pasti sakit sekali ya saat dikejar dan dicakar kucing," kata Asillah dengan nada prihatin.
"Iya, sakit sekali. Sejak saat itu, saya jadi takut dengan kucing. Setiap kali melihat kucing, saya selalu merasa merinding," jawab Dokter Alfin.
"Tapi, Dokter tidak perlu takut lagi. Sekarang kan ada saya. Saya akan melindungi Dokter dari kucing-kucing jahat," kata Asillah sambil tersenyum jail.
"Benarkah? Kamu mau melindungiku?" tanya Dokter Alfin dengan nada menggoda.
"Tentu saja. Saya kan pacar yang baik," jawab Asillah sambil mengedipkan matanya.
Dokter Alfin terkejut mendengar ucapan Asillah. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.
"Pacar? Jadi, kamu mau jadi pacarku?" tanya Dokter Alfin dengan nada gugup.
"Tentu saja. Kalau Dokter mau," jawab Asillah sambil tersenyum manis.
"Saya mau sekali. Saya sudah lama menunggu momen ini," kata Dokter Alfin dengan nada yang tulus.
Asillah merasa sangat bahagia mendengar jawaban Dokter Alfin. Ia merasa bahwa semua penantiannya selama ini tidak sia-sia.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Dokter Alfin dan mencium pipi pria itu dengan lembut.
"Terima kasih, Dokter. Saya sayang sama Dokter," bisik Asillah di telinga Dokter Alfin.
Dokter Alfin memeluk Asillah dengan erat. "Saya juga sayang sama kamu, Asillah," balas Dokter Alfin.
Mereka berdua berpelukan dengan erat selama beberapa saat. Mereka merasa bahwa mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia saat itu.
Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi dengan keras. Asillah dan Dokter Alfin terkejut dan melepaskan pelukan mereka.
"Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya Dokter Alfin dengan nada heran.
"Saya tidak tahu. Biar saya lihat," jawab Asillah.
Asillah berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia terkejut melihat Rian berdiri di depan pintu dengan wajah yang cemas.
"Rian? Kamu ngapain di sini?" tanya Asillah dengan nada heran.
"Sil, gawat! Ada masalah besar!" seru Rian dengan nada panik.
"Masalah apa?" tanya Asillah dengan nada khawatir.
"Dokter Renata..." kata Rian dengan nada menggantung.
"Kenapa dengan Dokter Renata?" tanya Asillah dengan nada penasaran.
"Dia..." kata Rian.
Asillah merasa jantungnya berdebar kencang. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dokter Renata.
"Dia apa, Rian?