‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08 : Mana buktinya?
Dahayu beranjak ke kamar mandi guna mencuci muka, dan dia berganti kaos yang potongan leher menyerupai huruf V. Memperlihatkan kalung mahar pemberian sang suami.
Nelli cukup melihat, rasa penasarannya ia simpan dalam hati, memilih tidak diutarakan. Pernikahan sahabatnya bukanlah berlandaskan cinta, tetapi pengorbanan penuh derita dan derai air mata. Tak pantas dibahas apalagi jadi ajang candaan.
“Ibuk main dulu dengan Mak Rita ya, Ayu hendak pergi beli permen. Ibuk mau yang bentuk apa?”
Sorot mata bu Warni berbinar, dia langsung menjawab cepat. “Kwek kwek.”
“Baik, tapi sabar menunggu ya. Jangan mengamuk apalagi membanting barang, bisa kan?” Ia berjongkok, tangannya membingkai wajah sang ibu, sangat lembut memberi pengertian. Setelah mendapatkan anggukan, diciumnya lembut kening wanita hebatnya. Kemudian dirinya menyambar jaket parasut, lalu mengenakannya.
.
.
“Dayu! Kau dengar baik-baik ya! Tak perlu banyak cakap, langsung saja jambak rambut Ijem kalau dia terus merepet memaki mu!” Nelli terus berkicau hingga air ludah berterbangan tersapu angin. Dia memang selalu paling semangat bila membahas dua wanita yang sering membuatnya naik pitam.
Dayu yang sedang mengendarai motor, cuma mengangguk – meskipun ada beberapa kalimat tidak terdengar jelas. Intinya dia paham, kalau sahabatnya sedang menyusun rencana mengajak tawuran.
Dari afdeling 5 ke afdeling 2 – hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit. Kini motor Dahayu sudah memasuki halaman rumah dinas ayahnya. Yang mana di teras terlihat Ijem dan Nafiya sedang duduk santai.
Dahayu menurunkan standar, motornya ia parkir dibawah pohon jambu air.
“Pasti ada maunya! Kalau nggak, mana mungkin kau sudi datang kemari. Dasar tak tahu diri – memanfaatkan ayah yang katanya sangat dibenci, tapi selalu merengek meminta bantuan.” Nafiya berdiri, berkacak pinggang, menatap sang adik tiri dengan tatapan merendahkan.
Ijem menimpali, kaki kanan bertumpu pada kaki kiri, gayanya sangat pongah. “Jelas lah! Bilangnya tak sudi memanggil Ayah, tapi tiap tanggal muda memalak kartu kesehatan. Cuih, memalukan sekali.”
Dahayu membungkuk, memungut batu sebesar kepalan tangannya. “Panggil Bandi keluar, atau ku lempar kaca jendela kalian!”
‘Bodohnya kau! Kenapa tak bilang – lempar kepala si Mentel atau si titisan Suzanna itu!’ batin Nelli meradang, dia menatap geli pada lingkar bawah mata berwarna hitam milik Ijem yang memakai celak (eyeliner) berlebihan.
“Jangan mau, Mak! Kita bukan jongosnya. Lagipula dia cuma menggertak _”
Pyar!
Akh!
“Gila kau Dayu!” Nafiya menjerit, kakinya terkena pecahan kaca jendela susun bewarna putih.
Tetangga rumah sebelah Ijem keluar, begitu juga seberang jalan. Mereka hanya menonton, tak berniat ikut campur.
Dahayu tetap tenang, melangkah diam mengikis habis jarak. Bila sebelumnya masih ada rasa kemanusiaan yang tertinggal, kini sirna meninggalkan bekas luka menganga.
Dia begitu membenci dua sosok wanita dihadapannya ini. Terlebih pada pria yang baru saja keluar dari dalam rumah.
“Bang!” Ijem memeluk erat lengan suaminya. “Putrimu hampir saja mencelakai Nafiya. Dia melempar jendela rumah kita!”
“Bapak Lihat kakiku ini!” Nafiya menjulurkan kakinya yang tergores tipis.
“Keterlaluan kau, Dahayu!” Bandi melepaskan lengan istrinya, lalu mengayunkan tangan hendak menampar.
“Jangan pernah kau menyentuhku lagi dengan tangan kotor mu, BANDI!” Tangannya menghempas kuat lengan ayah kandungnya.
Tubuh Bandi terperanjat, dia shock. Baru kali ini putrinya melakukan perlawanan berarti, sebelum-sebelumnya hanya membantah, lebih banyak diam.
“Kau sangat tak sopan dengan ayahmu sendiri, Dahayu! Mau jadi anak durhaka _”
“Diamlah kau Pant*k!” Nelli memekik, menuding saingannya diatas panggung. “Harusnya kau malu selalu ikut campur urusan ayah dan anak. Sementara dirimu cuma anak tiri!”
Dayu tidak menghiraukan sahabatnya, biasanya dia akan menegur bila Nelli mengeluarkan kata-kata mutiaranya.
“Apa kau sudah memasukkan berkas perceraian ke pengadilan?!” tanyanya dengan nada rendah, tatapan mata menghunus netra sang ayah.
“Aku ini ayahmu! Mau bagaimanapun keadaannya, kau harus menghormati ku, Dahayu!” Bandi berkacak pinggang.
Ijem bergeser menjauh, dia memeluk lengan putrinya yang terdiam setelah kalah berdebat dengan Nelli.
“Ayah … ha ha ha,” Dayu mendengus, menatap jijik.
“Bagian mana yang cocok dipanggil ayah itu, Bandi? Kau cuma pria pengecut! Mungkin kalau bukan ibuku yang menerima pinangan pria terbelenggu cinta buta, pengangguran – aku yakin tidak ada wanita sudi menikah denganmu.”
"Kau!” Jari telunjuknya bergetar menunjuk sang putri.
“DIAM! Kali ini giliranku yang berbicara. Kau cukup mendengarkan!” gigi Dahayu bergemeletuk. Tatapannya masih sama, bengis.
“Dulu kau nyaris gila karena ditinggalkan Lonte itu! Enggan bekerja, hobi menenggak tuak, sampai meresahkan warga kampung kalian. Maka dari itu almarhum ibumu gencar mendekati nenekku, agar bersedia menerima calon menantu tak berguna nya.” Kepalan tangannya semakin erat.
“Ibuku yang malang, lugu, menerima dengan lapang dada, berusaha keras menjadi istri sempurna. Semenjak kalian menikah, dunianya cuma dirimu. Dia tak malu memiliki suami layaknya gelandangan. Malah membantu perekonomian keluarga – bekerja mengutip getah, sampai tiba waktunya kau diangkat menjadi karyawan tetap,” sambungnya datar.
“Tahun pun berganti, aku lahir dan berada ditengah-tengah kalian. Semua terasa hangat, hingga tak lama kemudian kau diangkat menjadi centeng, membuat perekonomian keluarga jauh lebih baik lagi. Sampai dimana jabatanmu dinaikan lagi menjadi mandor buah. Setahun setelahnya, kau berulah dikarenakan cinta pertama kembali dengan membawa anak – pernikahannya gagal,” Dayu menarik napas panjang.
“Dia!” Tunjukkan pada Ijem. “Silau mata dikarenakan harta dan jabatanmu, sehingga menjadi buta. Seharusnya sesama wanita saling mendukung bukan menikung. Namun, Lonte satu ini! Menggebu-gebu mendekati, memasuki cela sampai masuk pula kedalam celana segitiga mu, Bandi.” Dayu menoleh menatap lekat sang ibu tiri.
“Kau selalu membanggakan diri menjadi istri mandor. Kalau orang waras, pasti dia malu – karena hasil dari merampas suami wanita lain, tapi sayangnya kau tak punya urat malu. Cuih!” Ia meludah tepat disamping kakinya.
“Sekarang kutanya untuk terakhir kalinya. Apa kau sudah mengajukan cerai di pengadilan agama, Bandi?” ia sudah malas berbicara panjang kali lebar, sebab percuma.
Bandi melirik kanan kiri rumah tetangga yang mana di teras nya terdapat para orang penasaran berpangkat sama seperti dia. Meskipun tak seluruhnya perdebatan sengit ini terdengar, tetapi gesture putri kandungnya mudah terbaca kalau dia sedang meluapkan emosi.
“Sudah,” jawabnya dengan nada tidak meyakinkan.
“Mana buktinya, tunjukkan padaku!”
“Eh bodoh! Ya mana ada buktinya. Kau tunggu saja surat pemanggilan dari kantor pengadilan agama _”
“Diam kau! Atau mau ku tunjang?!” Dahayu menekankan setiap kata.
Ada getar samar pada tubuh Nafiya. Adik tirinya terlihat berbeda, sangat dingin seperti seseorang tidak memiliki rasa empati.
“Besok Ayah berikan,” ia mencoba berkelit.
“SEKARANG!”
Tiba-tiba sebuah mobil kijang terparkir di tepi jalan bersisian dengan parit. Turunlah dua sosok pria, melangkah lebar memasuki halaman rumah Bandi.
"Tuan ...."
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍