Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nomor Hp? Mimpi Aja, Pak!
Nayla melangkah cepat menuju dapur sambil mendengus kesal, wajahnya sudah seperti orang yang ingin meledak. Kedua tangannya mencengkeram buku catatan pesanan dengan erat seolah itu adalah benda yang ia gunakan untuk meredam emosinya.
"Sumpah ya, kenapa orang itu harus nongol di sini juga?! Rasanya pengen gue usir aja tuh orang sekarang juga!" ocehnya pelan, lebih seperti gumaman penuh frustasi.
Sesampainya di area dapur, Nayla langsung menyerahkan catatan pesanan itu kepada Karya, salah satu karyawan bagian minuman. Namun karena terlalu sibuk menggerutu sendiri, ia bahkan tidak sadar kalau Karya memanggilnya.
"Nay! Nay!" panggil Karya sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah Nayla.
"Eh? Iya, kenapa?" Nayla tersentak, kaget sendiri karena pikirannya masih penuh dengan wajah menyebalkan Arga.
Karya menghela napas, sedikit gemas melihat Nayla yang melamun.
"Ini minumannya udah jadi, malah bengong aja. Awas tumpah lho!" ujarnya sambil menyerahkan nampan berisi dua cangkir yang masih mengepulkan asap hangat.
"Hehe... maaf, maaf." Nayla terkekeh canggung, lalu menerima nampan itu dengan kedua tangannya.
"Yaudah, gue anter sekarang."
Ia menghela napas panjang sebelum berbalik menuju area pelanggan. Dalam hati, Nayla terus memompa semangat dirinya sendiri.
"Oke, Nay. Tarik napas... hembuskan... ini cuma pelanggan. Jangan bikin keributan, jangan bikin masalah. Kalau sampai ada ribut-ribut, lo bisa dipecat. Ingat itu, Nayla!"
Dengan penuh kewaspadaan, Nayla berjalan menuju meja yang ditempati Arga dan Dion. Jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali langkahnya semakin mendekat. Sesampainya di meja, ia memaksa dirinya untuk tetap tersenyum tipis.
"Ini pesanannya, espresso satu dan kopi hitam satu," ucap Nayla sambil meletakkan kedua cangkir itu di meja dengan hati-hati.
"Makasih," ujar Arga dengan senyum yang... terlalu menawan sekaligus berbahaya. Sorot matanya tidak lepas dari wajah Nayla, membuat gadis itu merasa seperti tengah dipaku di tempat.
Dion hanya diam sambil mengamati interaksi aneh itu. Ia sebenarnya sudah menangkap sesuatu yang tidak biasa dari tatapan Arga.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Nayla sopan, suaranya sedikit ketus karena ia berusaha membatasi jarak.
Dion menggeleng pelan sambil tersenyum ramah.
"Enggak, cukup, makasih."
Namun belum sempat Nayla berbalik pergi, Arga yang sejak tadi hanya menatapnya tiba-tiba membuka mulut.
"Ada."
Nayla yang sudah setengah berputar langsung menghentikan langkahnya. Dengan napas yang ditahan, ia kembali menoleh dan menatap Arga penuh tanda tanya.
"Ya, mau apa lagi, Pak?" tanyanya, kali ini nada suaranya sedikit lebih tegas.
Arga masih menatapnya, lalu dengan santai tapi penuh keyakinan, ia berkata,
"Nomor kamu."
Nayla sontak melotot, hampir menjatuhkan nampan yang sudah ia pegang kosong di tangannya. Seluruh tubuhnya seperti membeku selama beberapa detik.
"Sumpah... dia barusan ngomong apa?! Nomor? NOMOR?!" batinnya menjerit keras.
Namun Nayla buru-buru menguasai dirinya lagi. Ia menghela napas panjang, lalu memaksakan senyum sopan meski jelas terlihat canggung.
"Maaf, Pak. Saya nggak bisa." ucapnya tegas, lalu tanpa memberi kesempatan Arga untuk bicara lagi, ia segera berbalik dan meninggalkan meja itu dengan langkah cepat.
Dion yang sejak tadi hanya jadi penonton langsung meledak tertawa.
"HAHAHA! Astaga, Arga! Sejak kapan seorang Arga yang selalu cool dan dingin tiba-tiba jadi... genit kayak gini?!" Dion tertawa sampai hampir jatuh dari kursi.
Arga yang baru menyadari apa yang ia lakukan tadi mendadak terdiam, wajahnya menunjukkan ekspresi tak percaya.
"Sial... apa yang barusan gue lakukan?" gumamnya sambil memegang pelipis.
Dion semakin terpingkal, bahkan sampai memukul meja.
"Sumpah ya, Ar! Biasanya lo tuh dingin banget sama cewek, bahkan sering dicap nggak punya perasaan. Tapi tadi? Gila, lo bener-bener bikin gue kaget." Dion menatap Arga sambil menggeleng tak percaya.
"Dan dia masih muda banget, Ar. Astaga, ini... ini benar-benar momen langka."
Arga mendengus kesal, mencoba menutupi rasa malunya.
"Diam lo, Dion."
Tapi Dion sama sekali tidak berhenti tertawa, malah semakin keras.
"Nggak bisa, Ar! Sumpah, gue nggak bisa berhenti ngetawain lo!" ujarnya sambil menahan perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Lo yang selalu jadi patung es sekarang malah kayak cowok-cowok bucin yang minta nomor cewek. Ini tuh... epic banget!"
Arga hanya bisa mendesah berat, menatap gelas espresso di depannya tanpa minat. Ia sendiri masih mencoba mencerna apa yang membuatnya tiba-tiba bertindak begitu impulsif.
"Gue bahkan nggak ngerti kenapa gue tadi ngomong itu. Kenapa gue minta nomornya? Ini nggak kayak gue banget."
Ia melirik sekilas ke arah dapur, tempat Nayla tadi menghilang. Entah kenapa, hanya bayangan gadis itu yang terus memenuhi pikirannya.
Dion yang melihat hal itu langsung bersiul nakal.
"Waduh, waduh... ternyata cewek ini punya efek luar biasa ya sampe bikin Arga yang cool berubah jadi... begini."
Arga hanya memutar bola matanya malas, lalu menyesap espresso dengan gaya setenang mungkin, mencoba mengembalikan citra dirinya yang dingin dan tak tersentuh.
Namun, dalam hati, ia tahu betul bahwa citra itu baru saja retak karena seorang gadis bernama Nayla.
"Ah, sialan tuh orang!" Nayla mendengus sambil mendorong pintu dapur dengan sedikit kasar. Tangannya mencengkram nampan kosong seolah itu adalah wajah seseorang yang ingin ia banting.
"Dia tuh nggak mikir apa ya kalau minta nomor orang sembarangan gitu?!" gumam Nayla dengan nada kesal. Wajahnya memerah, antara malu, kaget, dan jengkel campur jadi satu.
Ia berjalan cepat menuju area loker sambil terus bergumam, jelas sekali kalau hatinya sedang panas.
"Emang dia kira semua cewek di dunia ini ngantri buat dikasih nomor HP ke dia? Halah! Dan ya ampun... gimana coba perasaan istrinya kalau tahu suaminya genit sama cewek lain?!" Nayla meremas apron yang melilit pinggangnya, matanya melotot seperti kucing yang ekornya terinjak.
"Gue nggak ngerti lagi sama makhluk kayak gitu. Kayak nggak punya otak, nggak punya hati!"
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara lembut namun penuh rasa ingin tahu.
"Kenapa lo, Nay?"
Nayla hampir menjatuhkan nampan yang ia pegang. Ia langsung menoleh cepat dan mendapati Tari, rekan kerjanya, berdiri dengan wajah penuh tanda tanya sambil membawa baki berisi piring kotor.
"Ya ampun, kak! Jangan tiba-tiba muncul gitu dong, kaget gue!" Nayla menepuk dada dramatis.
"Eh, iya, iya. Gue cuma nanya, lo kenapa? Dari tadi ngomel-ngomel sendiri. Gue pikir ada pelanggan yang bikin masalah," ucap Tari sambil meletakkan piring-piring itu di meja cuci.
Nayla langsung manyun, bibirnya maju seperti bebek.
"Bukan pelanggan... eh, ya pelanggan sih, tapi lebih ke... makhluk aneh!" jawabnya sambil memutar bola mata penuh kejengkelan.
Tari mengangkat alis, jelas semakin penasaran.
"Makhluk aneh? Maksud lo?"
Nayla langsung mendengus keras, kedua tangannya melambai-lambai ke udara dramatis seperti aktris sinetron.
"Halah, udahlah, kak. Jangan dibahas. Kalo gue cerita, nanti lo juga bakal ikut-ikutan emosi. Udah cukup gue aja yang menderita!" katanya sambil memegang dadanya sendiri, seperti orang yang habis mengalami tragedi besar.
Tari menahan tawa, melihat gaya Nayla yang super lebay itu.
"Yeee... lebay amat. Paling cuma cowok-cowok kampus yang sok ganteng, terus ngegodain lo kan?" tebaknya.
Mendengar itu, Nayla langsung memutar badan dengan cepat, menatap Tari dengan ekspresi horor campur sebal.
"No, no, no! kak, ini levelnya beda! Ini bukan cowok kampus biasa! Ini tuh... makhluk paling ngeselin sedunia!" Nayla menggertakkan giginya, lalu menepuk-nepuk pelan pipinya sendiri.
"Oke Nayla, tarik napas, hembuskan... jangan sampe kepancing."
Tari makin terheran-heran.
"Gue makin penasaran nih, Nay. Emang siapa sih yang bikin lo segitunya?"
Nayla hanya mengibaskan tangannya.
"Udah, pokoknya lupain aja, kak. Kalau gue inget-inget lagi, yang ada gue makin jengkel. Sumpah, tadi tuh rasanya pengen gue siram tuh orang pake kopi panas sekalian!" katanya sambil mengepalkan tangan, seolah siap perang.
Tari ngakak tak tahan.
"Ya ampun, Nay, lo beneran drama banget. Tapi gue yakin, kalau sampe lo ngomel-ngomel gini, tuh orang pasti rese parah, ya?"
Nayla langsung menunjuk Tari dengan ekspresi serius.
"EXACTLY! Rese banget, kak! Kayak... argh! Pokoknya next level lah!"
Tari tertawa lagi sambil menggelengkan kepala.
"Yaudah deh, daripada lo kebakaran jenggot sendiri, mending kita kerja aja. Banyak pelanggan nungguin. Ntar kalau lo ngomel mulu, malah tambah capek, lho."
Nayla mendengus, tapi akhirnya mengangguk.
"Iya, iya, gue kerja. Tapi Tar, kalo tuh makhluk balik lagi ke sini... sumpah ya, lo harus siap nahan gue biar nggak lempar nih nampan ke mukanya."
Tari tertawa sampai perutnya sakit.
"Deal! Tapi kalo lo beneran lempar tuh nampan, jangan lupa, gue bakal jadi saksi mata yang pertama ngomong ke bos."
"Hah! Jahat lo kak!" Nayla langsung pura-pura manyun, lalu berjalan ke arah meja pelanggan sambil menggumam.
"Hhh... sabar Nayla, sabar. Jangan sampe lo bikin masalah. Tapi sumpah ya, tuh orang emang paling bikin emosi seumur hidup gue!"
Meski bibirnya terus menggerutu, Nayla tetap berusaha tersenyum saat mendekati pelanggan. Itulah Nayla: cewek cegil, cerewet, dan sedikit drama, tapi selalu profesional... meskipun dalam hatinya lagi berapi-api