Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kompensasi
Lima hari kemudian, Zhang Hao perlahan membuka matanya. Gua yang sebelumnya kusam kini tampak jauh lebih rapi—lebih seperti rumah yang layak huni. Namun, sebelum sempat menikmati pemandangan itu, ia menyadari sesuatu yang membuat wajahnya menegang: lautan spiritualnya tersegel.
Ia terdiam sejenak, mencoba menebak siapa pelakunya.
Di saat itu, sosok Mu Lanxing perlahan mendekat. Suaranya lembut dan hangat ketika berkata, “Apakah kamu sudah pulih? Mari makan.”
Zhang Hao hanya bisa mengikuti dengan pasrah, lalu mereka duduk saling berhadapan.
“Makanlah” ucap Mu Lanxing dengan senyum lembut diwajahnya.
Zhang Hao menatap makanan di depannya dengan curiga. “Tidak ada racun, kan?” tanyanya dengan hati-hati.
Mu Lanxing terkekeh kecil. “Jika aku ingin membunuhmu, kamu sudah mati. Untuk apa aku meracunimu?”
Zhang Hao memicingkan mata. “Jadi, kamu siapa? Kamu bukan Mu Lanxing.”
Senyum Mu Lanxing tak pudar sedikit pun. “Aku hanya seorang gadis malang yang diselamatkan oleh pria bodoh,” katanya ringan. “Apakah penjelasan itu cukup?”
Zhang Hao langsung merasa darahnya mendidih. Ia telah bersusah payah menyelamatkan gadis di hadapannya, namun sikapnya justru membuatnya kebingungan.
“Jangan menatapku seperti itu,” kata Lanxing santai. “Aku sudah membaca beberapa ingatanmu. Jadi, ikuti saja alurnya.”
Kemudian di tangannya yang halus, belasan bilah pedang kecil dari es berputar pelan, berkilauan dalam cahaya redup gua.
“Cepat habiskan,” katanya dengan nada lembut.
Zhang Hao menelan ludah. Dalam hatinya, ia merasa seperti domba yang digiring menuju altar sembelihan. Sikap Mu Lanxing saat ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika setiap senyum lembut gadis itu berujung pada penderitaan baginya. Namun, apakah ia punya pilihan lain?
Akhirnya, ia menghabiskan semua makanan tidak layak itu dengan patuh.
Senyum Mu Lanxing semakin lebar. Setelah itu, ia berdiri dan membereskan meja yang baru saja mereka gunakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, ia meredupkan pencahayaan gua, lalu membuka tirai batu di sisi dalam. Di baliknya, terlihat sebuah tempat tidur batu yang telah dipoles begitu halus hingga memantulkan cahaya lembut.
Zhang Hao langsung terpana. Ia tak menyangka gua ini telah berubah sedemikian rupa—bahkan sekarang memiliki konsep siang dan malam. Namun kebingungan masih jelas di matanya. Ia menoleh ke arah Mu Lanxing, ingin bertanya sesuatu, namun tak satu pun kata keluar dari mulutnya.
Mu Lanxing tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat. Ia perlahan melepaskan sebagian pakaiannya dan berbaring di atas tempat tidur batu. Tatapannya lembut saat berkata, “Kemarilah, kamu pasti kesepian selama ini.”
Zhang Hao mendekat dengan langkah ragu, lalu duduk di pinggir tempat tidur batu. “Ha-ha-ha… jadi kamu ingin aku jadi kakakmu,ya…” ujarnya dengan nada canggung.
Tiba-tiba, tangan halus Mu Lanxing menariknya, lalu memeluknya dengan lembut.
Zhang Hao membeku. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya mulai kacau karena kepanikan. Ia ingin berbicara, tetapi tidak sepatah kata pun mampu keluar.
“Jangan bicara lagi. Tidurlah,” ucap Mu Lanxing lirih sambil bersandar di dadanya.
Keheningan pun menyelimuti gua itu.
Bam!
Mu Lanxing tiba-tiba menepuk pelan dadanya. “Kenapa kamu begitu tegang? apakah aku menakutkan?”
Zhang Hao menghela napas panjang. Dalam hatinya ia mengeluh, merasa seperti bantalan hidup.
Ia tahu, sedikit saja membuat gadis itu tidak nyaman, mungkin dia akan mati. Ia menatap langit-langit gua, lalu bergumam lirih, “Senior Yue… kamu di mana? Tolong selamatkan aku…”
Keduanya mulai mengalami kehidupan seorang pria dan wanita di sebuah gua yang sepi. Mereka seperti orang biasa, dengan Zhang Hao memperluas gua meskipun dibawah ancaman dan Mu Lanxing melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak sebelum makan bersama.
Setelah malam tiba, Mu Lanxing memaksa Zhang Hao tidur bersamanya.
Sepuluh hari berikutnya, Zhang Hao tidak pernah merasa begitu damai.
Dia tidak akan pernah menyangka hal itu mungkin terjadi. Bagaimana mungkin seorang seperti dirinya; yang mengutamakan bertahan hidup serta penuh perhitungan, bisa menjalani hari-hari tanpa kekhawatiran, tanpa rasa waspada, seolah hidup dalam mimpi.
Sinar kuning yang hangat tumpah ke dalam dan menyinari wajahnya yang damai.
Kelopak matanya bergetar dan secara tidak sadar ia tersenyum, menatap gadis muda yang ada di pelukannya.
Meskipun tidak ada hal yang melampaui batas di antara mereka, keduanya tetap saling bersandar, saling memberi ketenangan yang sulit dijelaskan.
Zhang Hao menatap wajah cantik itu dengan linglung. Kecantikan yang begitu indah hingga seolah mampu membuat bintang-bintang di langit meredup.
Ia tersenyum kecil, perlahan merapikan helaian rambut Mu Lanxing yang berantakan di dahinya.
“Kamu sudah bangun?” tanya Zhang Hao pelan ketika gadis di pelukannya membuka mata.
Mu Lanxing mengangguk tanpa berkata, lalu bangkit menuju cermin dari es yang memantulkan bayangan samar wajahnya. Ia melirik dan berkata dengan lembut, “Bantu aku memakainya.”
Zhang Hao ikut bangun, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang gadis itu. Tatapannya terpaku pada punggung ramping yang terlihat lembut namun menyimpan hawa dingin seperti es.
“Cepat bantu, jangan memikirkan hal lain,” ujar Mu Lanxing dengan nada lembut.
Zhang Hao mendengus. “Cih, aku sudah melihat semuanya,” ucapnya santai. Sekejap, puluhan pisau kecil dari es muncul mengelilinginya. Udara di dalam gua mendadak turun drastis.
“Ada kata-kata terakhir?” tanya Mu Lanxing dengan suara dingin.
Zhang Hao tertegun. Baru kemarin gadis itu bersikap lembut dan penuh perhatian. Namun kini, aura membunuh yang terpancar darinya seolah ingin mencabik tubuhnya hingga menjadi jutaan keping.
Ia menatap mata dingin gadis itu, lalu secara perlahan mengangkat tangannya, merapikan helaian rambut yang jatuh di bahu Mu Lanxing. Suaranya lembut ketika berkata, “Terima kasih… pasti sulit menahannya. Mari kembali, mereka pasti sedang kesulitan.”
Pisau-pisau es yang tadi siap menembus tubuh Zhang Hao mulai bergetar. Suara tajamnya mereda, satu per satu menghilang di udara, dan Mu Lanxing perlahan membalikkan tubuhnya tanpa mengatakan apapun.
Melihat kesempatan itu, Zhang Hao segera melangkah mundur, mencoba menjaga jarak. Namun belum sempat ia bernapas lega, hawa dingin kembali menggumpal di udara. Sebilah pedang es berukuran dua meter terbentuk, ujungnya langsung mengarah padanya.
“Dari mana kamu belajar itu?” tanya Mu Lanxing tajam.
“Belajar? Itu terjadi secara tidak sadar! Aku tidak bohong!” seru Zhang Hao dengan panik.
Tatapan dingin Mu Lanxing perlahan memudar. Suasana mencekam di gua itu sedikit demi sedikit mencair. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang samar.
“Sepertinya kamu sudah banyak belajar,” ucapnya lembut, nada suaranya kembali seperti sebelumnya. “Ingat, kejadian di sini hanya kita yang tahu. Anggap saja itu kompensasi dariku.”
Zhang Hao ingin membalas, tapi sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Mu Lanxing sudah menatapnya tajam, kemudian berkata, “Jangan perhitungan. Aku akan membayar sisanya lain kali.”
Zhang Hao hanya bisa menghela napas, tidak tahu apakah harus merasa lega atau semakin bingung menghadapinya.
-----
Setelah semuanya kembali seperti sedia kala, mereka berdua keluar dari gua dalam kondisi canggung.
Segera, Mu Lanxing mengeluarkan sebuah kapal sederhana dan menaikinya.
Keheningan menyelimuti mereka.
"Kenapa kamu hanya diam. cepat naik dan kemudikan" kata Mu Lanxing dengan dingin.
Zhang Hao hanya bisa pasrah, naik, lalu mulai mencoba mengendalikan kapal tersebut. Meskipun agak sulit tapi dengan sedikit dorongan dia akhirnya mulai terbiasa.
"Ayo berangkat, aku sudah mulai terbiasa" ujar Zhang Hao lalu menatap Mu Lanxing yang berdiri dihaluan kapal.
Mereka saling pandang dan menatap gua dibawah sejenak, menunduk, lalu berbalik tanpa menambahkan sepatah kata pun.