NovelToon NovelToon
SANG JENDERAL

SANG JENDERAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Yuna seorang dokter muda jenius di pindah tugaskan ke area baku tembak.. Dan pertemuannya membawa nya pada Kenzi sosok dokter senior yang kaku dan dingin... Serta Jendral dari base musuh, menjadi cinta segitiga yang rumit..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ketegangan

Hujan baru saja reda di Namura, menyisakan bau tanah basah dan uap dingin yang merayap di udara. Langit gelap gulita, hanya sesekali disinari kilat yang jauh. Pos medis mulai lengang—lampu-lampu tenda berkelip samar, sebagian besar tenaga medis tertidur setelah seharian berjibaku. Namun, di sisi hutan belakang pos, Kenzi berdiri membisu.

Jaket gelapnya berkilau tipis terkena sisa embun, matanya menatap jalan setapak yang jarang dilewati. Nafasnya berat tapi stabil. Ia tidak lagi bisa menahan gejolak di dadanya.

Malam ini, ia tidak peduli pada prosedur, tidak peduli pada amarah Jenderal musuh yang pasti akan meledak bila tahu. Ia hanya ingin satu hal: berbicara dengan Yura… tanpa gangguan siapa pun.

Dan ketika ia melihat sosok Yura keluar dari tenda utama, berjalan perlahan untuk mencari udara segar… Kenzi bergerak.

“Yura,” suaranya pelan namun tegas, menghentikan langkah Yura di bawah cahaya remang lampu pos.

Yura menoleh, sedikit kaget. “Kenzi? Kau belum tidur?”

Kenzi mendekat, langkahnya tenang namun ada ketegangan dalam tubuhnya. “Aku butuh bicara. Bukan di sini. Ikut aku.”

Yura mengerutkan kening. “Kenzi, ini sudah larut malam. Kalau ada yang penting, kita bisa bicara besok, di—”

Kenzi memotong, jemarinya mencengkeram pergelangan tangan Yura—tidak kasar, tapi tegas sehingga ia tak bisa melepaskan diri

“Tidak. Besok semua orang akan ikut campur lagi. Malam ini… hanya kau dan aku. Lima belas menit saja. Aku butuh kau dengarkan aku.”

Yura menarik tangannya sedikit, napasnya tersendat. “Kenzi, ini bukan caranya. Orang akan salah paham kalau kita—”

“Biar saja,” bisik Kenzi dingin. “Aku tidak akan menyakitimu. Tapi aku tidak bisa terus menahan ini. Setidaknya… dengarkan aku dulu.”

Dan tanpa memberi kesempatan untuk protes lebih jauh, Kenzi menarik Yura ke jalan setapak yang menuju ke hutan utara. Langkahnya cepat, terukur, seperti seorang prajurit yang tahu ke mana harus membawa sandera tanpa ketahuan.

Tak jauh dari tenda medis, Fara melihat segalanya.

Ia baru saja kembali dari dapur membawa termos air panas, namun pemandangan Kenzi menarik Yura membuat darahnya berdesir. Wajahnya pucat, tahu situasi ini akan memicu badai besar.

Tanpa pikir panjang, ia berlari ke ruang komunikasi darurat, menyalakan radio frekuensi khusus.

“Jenderal Mark, ini Fara. Yura… dia dibawa Kenzi. Ke arah hutan utara, dekat jalur sungai lama. Sekitar tiga kilometer dari pos. Sekarang juga.”

Suara berat Mark terdengar dari radio, datar tapi berbahaya.

“Koordinat?”

“32° utara, jalur bekas patroli lama. Jalan sempit dekat sungai.”

“Aku mengerti. Jangan biarkan siapa pun ikut. Aku yang urus.”

Radio mati. Fara menghela napas panjang, setengah takut pada Kenzi… tapi lebih takut pada badai yang sebentar lagi datang bersama sosok Jenderal Mark.

Mark berdiri di tepi tenda komando, helmnya sudah di tangan. Lampu kecil menyinari wajahnya yang dingin. Tatapan hijau tajamnya menyala, berkilau dalam kegelapan malam.

Tanpa berkata apa-apa pada prajuritnya, ia menaiki motor militer. Mesin meraung, memecah sunyi. Angin malam menampar wajahnya, mantel panjangnya berkibar liar.

Dalam pikirannya hanya ada satu hal:

Temukan Yura. Hancurkan siapa pun yang berani menyentuhnya.

Air sungai mengalir pelan, memantulkan sedikit cahaya dari bulan yang tertutup awan. Yura berdiri di tepi, memeluk dirinya, udara dingin merayap ke kulitnya. Kenzi berdiri dua langkah darinya, punggung tegap, wajahnya setengah diterangi kilatan petir dari langit.

“Kenzi… ini sudah cukup jauh. Katakan saja apa yang mau kau katakan, dan kita kembali. Aku tidak bisa lama meninggalkan pos.”

Kenzi menoleh perlahan, matanya tajam tapi suaranya sedikit bergetar.

“Yura… aku tahu hatimu sudah condong pada Mark. Semua orang bisa melihat itu. Tapi aku tidak bisa… hanya diam. Aku juga peduli padamu. Aku bukan dia—aku tidak membawa perang ke mana pun aku pergi. Aku bisa memberimu ketenangan. Hidup yang tidak selalu di ujung senjata. Jika kau mau….”

Yura menunduk, mencoba menata kata. “Kenzi… aku menghargai semua perhatianmu. Tapi… aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Mark… dia mungkin rumit, dan bukan pilihan yang aman. Tapi dia selalu ada ketika aku hampir kehilangan segalanya. Dan… perasaanku… bukan sesuatu yang bisa kuubah.”

Kenzi mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Jadi… kau memilihnya? Meski dia… musuh? Meski dia membawa maut setiap kali dia datang?”

Yura menatapnya, suaranya tenang tapi tegas. “Aku tidak memilih perang. Aku memilih… orang yang membuatku merasa hidup, bahkan di tengah kekacauan.”

Keheningan panjang. Hanya suara air mengalir.

Sampai akhirnya… suara mesin motor meraung dari kejauhan.

Lampu putih menembus kegelapan hutan. Motor berhenti mendadak di dekat tepi sungai, ban berdecit di tanah basah. Mark turun tanpa banyak bicara.

Mantelnya berkibar, matanya menyala seperti predator yang baru saja menemukan mangsa.

“Lepaskan dia.” Suara Mark berat, datar, namun setiap kata terasa seperti perintah yang tidak bisa ditolak.

Kenzi berdiri di depan Yura, tatapannya tak gentar meski ada sedikit ketegangan. “Dia tidak dalam bahaya. Aku hanya bicara. Tapi aku juga tidak akan membiarkan kau mengklaimnya seolah dia… milikmu.”

Mark melangkah mendekat, setiap langkahnya berat, menghentakkan tanah.

“Aku tidak peduli pada alasanmu. Kau menyentuhnya tanpa izinnya… itu sudah cukup alasan bagiku untuk menguburmu di sini.”

Tanpa peringatan, Mark menyerang lebih dulu. Tinju kanan meluncur seperti peluru, Kenzi nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terdorong ke belakang, tapi ia segera membalas dengan tendangan cepat ke sisi Mark.

Yura berteriak. “Berhenti! Ini tidak perlu!”

Tapi kedua pria itu tidak mendengar.

Mark bergerak seperti mesin perang—setiap serangannya berat, terlatih, dan mematikan. Kenzi mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, mencoba memanfaatkan celah. Beberapa pukulannya mendarat di rahang dan perut Mark, membuat sang Jenderal mundur setengah langkah.

“Dia bukan milikmu, Mark!” Kenzi berteriak di sela napas beratnya.

Mark menyeka darah di sudut bibirnya, menatap tajam. “Aku tidak peduli pada status atau aturan. Aku hanya tahu satu hal… aku tidak akan biarkan siapa pun… menyentuhnya kecuali aku.”

Pertarungan semakin sengit. Kenzi berusaha mengunci tangan Mark, tapi kekuatan sang Jenderal terlalu besar. Dalam satu gerakan cepat, Mark memutar pergelangan Kenzi dan menendang kakinya dari samping.

Suara ‘KRAK’ terdengar jelas.

Kenzi berteriak, tubuhnya jatuh ke tanah, lutut dan pergelangan kakinya kehilangan daya.

Yura berlari ke arahnya. “Mark! Hentikan! Dia butuh bantuan medis!”

Mark berdiri tegak, napasnya berat, matanya tetap tajam. Ia menatap Kenzi yang terkapar, kemudian berkata dingin.

“Sekali lagi kau menyentuhnya tanpa izin… aku tidak akan berhenti di sini. Kau mengerti?”

Kenzi hanya meringis, rahangnya terkunci menahan rasa sakit. Yura membantu menopangnya, sementara Mark berbalik menatapnya.

“Kau ikut denganku. Sekarang.”

Di perjalanan kembali ke pos medis, Yura duduk di boncengan motor Mark, kedua tangannya mencengkeram erat jaketnya.

Udara malam terasa semakin dingin, tapi bukan karena angin… melainkan karena Mark yang masih diliputi amarah.

“Mark… aku baik-baik saja. Kau tidak perlu—”

“Diam.” Suaranya pendek, datar. “Aku tidak ingin mendengar apa pun sekarang. Aku hanya ingin memastikan kau tidak disentuh lagi.”

Yura menggigit bibir, menahan kata-kata. Tapi di balik rasa takutnya, ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Mark mungkin terlalu dominan, bahkan menakutkan… tapi ia selalu datang. Selalu.

Dan malam itu, di bawah langit Namura yang kembali hening, Yura sadar:

tidak ada yang bisa menghentikan Mark… bahkan ketika dunia sekalipun menentangnya.

\=\=\=\=\=

Yura berjalan cepat di belakang Mark, matanya terus memperhatikan punggung lebar sang Jenderal. Tubuh pria itu masih tegang, napasnya berat meski wajahnya tampak dingin seperti biasa. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka kembali ke pos, bahkan ketika Yura mencoba bicara pelan sepanjang perjalanan.

Begitu sampai di lorong kecil tenda utama, Yura berhenti dan meraih tangan Mark, menghentikan langkahnya. “Masuk ke sini dulu,” katanya pelan, membuka pintu tenda pribadinya.

Mark menatapnya sebentar—tatapan hijau tajam yang masih dipenuhi sisa amarah—lalu tanpa suara, ia mengikuti langkah Yura masuk.

Tenda kecil itu hangat, diterangi lampu minyak di sudut. Suara hujan tipis di luar menjadi latar, menutupi keheningan yang terasa terlalu panjang. Yura menutup pintu, berbalik, dan berdiri di hadapan Mark.

“Mark… duduklah dulu,” ucap Yura pelan, menunjuk ke kursi lipat di dekat ranjang kecilnya. “Aku tahu kau marah, tapi… kau harus tenang dulu. Aku tidak mau melihatmu kehilangan kendali seperti tadi.”

Mark berdiri tegak, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya menatap lurus ke Yura.

“Aku tidak menyesal,” suaranya berat, dalam. “Siapa pun yang menyentuhmu tanpa izin… pantas menerima tulang yang patah.”

Yura menghela napas, mendekat, dan menyentuh pergelangan tangannya dengan lembut. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu… amarahmu itu bisa menghancurkanmu sendiri. Aku tidak mau itu terjadi.”

Mark terdiam sejenak, menatap tangan kecil Yura yang menyentuh kulitnya. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang meruntuhkan lapisan dingin yang biasanya ia pasang. Tanpa berkata apa-apa, ia membiarkan Yura menariknya duduk di kursi.

Yura jongkok di hadapannya, menatap mata hijau tajam itu dengan lembut. “Mark… kau tidak harus selalu jadi orang yang menakutkan. Aku di sini. Aku aman. Kau tidak perlu memikul semuanya sendirian.”

Mark menatapnya lama, napasnya perlahan melambat. Dan ketika Yura meraih kedua lengannya dan menarik tubuhnya sedikit, Mark membiarkan dirinya dipeluk.

Pelukan itu sederhana, hangat, dan membuat otot-otot tegang di bahunya mulai rileks. Untuk pertama kalinya malam itu, rahangnya mengendur.

Suara hujan menjadi satu-satunya latar ketika Mark akhirnya berbicara, suaranya pelan tapi dalam.

“Yura… aku tidak pernah peduli pada siapa pun sebelumnya. Tidak ada yang bisa menghentikanku melakukan apa pun yang kuinginkan. Sampai… kau datang.”

Yura mendengarkan, tangannya masih memeluk punggung Mark dengan lembut. “Mark…”

“Aku tahu kau meragukanku. Kau takut aku hanya akan… lewat dalam hidupmu. Atau meninggalkanmu saat perang ini selesai.” Mark menarik sedikit kepalanya, menatap Yura dengan mata hijau yang sekarang terlihat sedikit lebih lembut. “Jadi… bawa aku ke orang tuamu. Biarkan aku menatap mata mereka dan berkata… aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak peduli seberapa gila dunia ini.”

Yura terdiam, matanya sedikit melebar. “Kau… serius?”

Mark mengangguk, ekspresinya tak berubah. “Aku tidak membuat janji yang tidak bisa kutepati. Kalau aku bilang aku akan ada untukmu… maka seluruh dunia pun harus tunduk agar itu terjadi.”

Yura menggigit bibir, hatinya berdebar kencang. Meski kata-kata Mark terdengar kaku, bahkan agak berlebihan, ia tahu pria ini benar-benar serius.

Dan malam itu, di dalam tenda kecil itu, Yura hanya bisa memeluknya lebih erat—bukan karena takut, tapi karena hatinya mulai yakin.

“Baiklah,” bisiknya pelan. “Aku akan membawamu ke mereka.”

Mark mengangguk sekali, lalu perlahan menyandarkan dahinya ke pundak Yura, membiarkan kehangatan itu menenangkan sisa amarahnya.

1
Anonymous
Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!