“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keluarga Nadia?
Malam itu udara cukup sejuk, angin berhembus pelan di depan gang rumah Rani. Lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke aspal basah sisa hujan sore. Dari ujung gang, suara mesin mobil terdengar mendekat.
Sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan Rani. Kaca mobil terbuka dan tampak wajah Nadia menyembul keluar sambil melambaikan tangan.
“Rani! Cepat masuk! Ayo kita pergi dari sini dulu,” katanya terburu-buru tapi dengan senyum lega.
Rani, yang masih membawa koper hitam berisi uang dua ratus juta, mengangguk cepat. Ia masuk ke dalam mobil, dan tak lama mobil itu melaju menjauh dari rumah penuh drama yang baru saja ia tinggalkan.
---
Beberapa puluh menit kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah besar berpagar putih tinggi, dengan halaman luas dan taman bunga yang rapi. Rumah Nadia… benar-benar jauh dari bayangan Rani.
Matanya membulat. “Nad… ini rumah kamu?”
Nadia terkekeh. “Iya, Ran. Aku emang nggak pernah cerita banyak soal keluargaku, tapi ya… beginilah.”
Rani hanya bisa terpaku. Selama ini ia mengira Nadia hanyalah gadis biasa seperti dirinya—sahabat yang sederhana. Tak pernah terpikir kalau ternyata Nadia adalah anak orang kaya.
Begitu mereka masuk, suasana hangat langsung menyambut. Ruang tamu berlampu keemasan dengan aroma wangi bunga segar. Seorang wanita paruh baya muncul dari dalam, mengenakan daster batik elegan. Senyumnya ramah.
“Rani ya?” tanyanya lembut.
“I-iya, Tante…” jawab Rani gugup.
Wanita itu tersenyum lebar dan langsung memeluk Rani hangat. “Aduh, kamu sering diceritain Nadia, lho. Akhirnya ketemu juga. Kamu anaknya kuat sekali, Tante suka.”
Tak lama kemudian, seorang pria berwibawa keluar dari ruang kerja—berjas santai tapi auranya sangat tegas. Papa Nadia, seorang hakim terkenal di kota itu. Tatapannya tajam tapi ramah.
“Ini Rani?” tanyanya.
“Iya, Pa,” jawab Nadia cepat. “Ini sahabat terbaik Nadia. Yang aku sering ceritain itu.”
Rani merasa gugup tapi juga nyaman. Tak ada penilaian, tak ada cibiran seperti yang sering ia dapatkan di rumahnya. Hanya tatapan tulus dan sambutan hangat.
---
Nadia menarik tangan Rani ke arah kamar pribadinya yang luas dan rapi. Di sudut ruangan ada brangkas kecil dengan layar PIN digital. Nadia menunduk dan menekan beberapa angka—klik!—brangkas terbuka.
Di dalamnya, sudah ada tumpukan uang rapi, sejumlah 80 juta tabungan Rani yang selama ini dititipkan pada Nadia.
“Masukkan uang itu ke sini, Ran,” kata Nadia lembut.
Rani menatap koper hitam di tangannya, lalu membuka dan memindahkan dua ratus juta rupiah ke dalam brangkas itu. Kini uangnya total menjadi dua ratus delapan puluh juta.
Saat brangkas ditutup dan Nadia mengunci dengan PIN, Rani menarik napas dalam.
“Selama ini… kamu udah bantu aku banyak banget, Nad,” ucapnya pelan. “Aku nggak tahu harus balas gimana.”
Nadia tersenyum hangat. “Kita sahabatan bukan buat hitung-hitungan, Ran. Aku bantu kamu karena aku percaya sama kamu. Dan aku benci ngelihat kamu disiksa sama keluargamu sendiri.”
Saat itulah papa dan mama Nadia masuk ke kamar, tampak serius tapi penuh empati. Papa Nadia duduk di kursi dekat tempat tidur.
“Rani,” katanya dengan suara berat tapi lembut, “uang ini jangan kamu simpan begitu saja. Kalau kamu setuju, Bapak bisa bantu simpan di bank atas namamu sendiri. Dengan begitu, tak ada satu pun orang—termasuk keluarga Andi—yang bisa menyentuhnya.”
Rani menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Beneran, Pak…?”
“Bapak hakim, Nak,” jawab Papa Nadia dengan senyum kecil. “Aku tahu caranya bikin semua aman secara hukum. Kamu harus punya kendali atas hidupmu, bukan mereka.”
Mama Nadia ikut menimpali, “Dan kamu jangan sungkan tinggal di sini sementara waktu. Kamu butuh tempat aman, kan?”
Rani terdiam sesaat. Dalam hidupnya, ia jarang—bahkan hampir tidak pernah—merasakan sambutan hangat seperti ini. Hatainya yang selama ini keras dan terluka, perlahan mulai mencair.
---
Saat suasana mulai tenang, Papa Nadia melanjutkan dengan nada serius.
“Dan satu lagi… soal suamimu,” ucapnya, merujuk pada Andi. “Kalau kamu benar-benar ingin bercerai, Bapak bisa bantu urus semua proses hukumnya. Cepat, bersih, dan kamu nggak akan kehilangan hakmu.”
Rani mengangkat wajahnya. Sorot matanya kini bukan lagi ketakutan, melainkan ketegasan.
“Pak… saya mau. Saya nggak mau hidup dalam neraka lagi.”
Papa Nadia mengangguk mantap. “Bagus. Besok kita mulai urus semua suratnya.”
Nadia langsung merangkul sahabatnya dari samping, tersenyum lega. “Akhirnya, Ran… kamu bisa bebas.”
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .