Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Beberapa saat kemudian.
Dokter pribadi keluarga Huang sedang memeriksa kondisi Celine yang terbaring lemah di ranjang Wallace.
Sementara itu, Wallace berdiri di ujung ranjang, menatap gadis itu dengan sorot mata gelap yang sulit ditebak.
Setelah selesai memeriksa, dokter itu menutup kotak kecilnya dan menatap Celine dengan wajah serius. Perlahan, ia berdiri dan berjalan keluar kamar. Wallace mengikuti di belakangnya, dan mereka berhenti di ruang tamu kecil di depan kamar. Nico asisten dan juga pengawal pribadi Wallace setia mengikuti langkah bosnya.
“Tuan,” ucap dokter itu pelan sambil menatap Wallace dengan hati-hati. “Kondisi Nona Lin… sangat buruk. Dia melukai diri sendiri hingga hampir kehilangan kesadaran. Ini bukan hanya trauma biasa… ia sudah mencapai depresi yang terburuk.”
Wallace menatap dokter itu tajam, kedua tangannya melipat ke dada.
“Sepertinya… Nona Lin membutuhkan perawatan dan pengawasan yang lebih ketat…” lanjut dokter dengan nada ragu. “Agar dia tidak melukai dirinya lagi.”
Wallace menarik napas panjang, menahan emosinya sebelum bertanya dengan suara berat. “Tindakan apa untuk mencegah agar dia tidak melakukan hal yang sama?”
Dokter itu menatap Wallace dengan cemas sebelum akhirnya menjawab, “Satu-satunya cara… adalah rawat inap di rumah sakit jiwa, Tuan. Di sana ada perawatan khusus dan pengawasan ketat, agar Nona Lin tidak semakin parah.”
Untuk beberapa detik, suasana menjadi sangat sunyi. Wallace menatap dokter itu dengan sorot mata gelap dan dingin, seolah sedang menatap musuh yang harus dimusnahkan. f
“Aku bertanya,” suaranya terdengar pelan namun menakutkan, “apakah ada cara terbaik… bukan ingin mendengar saran bodohmu itu.”
Dokter itu menelan ludah, punggungnya terasa dingin mendengar nada suara Wallace yang tajam.
“Celine masih normal dan waras,” lanjut Wallace, matanya menatap lurus tanpa berkedip. “Dia hanya ketakutan karena masa lalunya… bukan sakit jiwa. Dia mengenal semua orang… dia bicara seperti orang normal. Dia hanya trauma… dan kau malah menyarankan dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa?”
“T-tapi, Tuan…” dokter itu berusaha menenangkan suaranya, meski terdengar goyah. “Untuk mengobati pasien yang mengalami depresi berat… ini adalah cara terbaik…”
Wallace menatap dokter itu dengan tatapan tajam yang menusuk.
“Seorang gadis yang trauma… harus tinggal bersama pasien sakit jiwa di tempat yang sama?!” suaranya tegas, penuh kemarahan yang ia tahan sejak tadi. “Apakah kau yakin itu akan menyembuhkan dia? Celine hanya trauma… bukan gila! Dia hanya ketakutan… dia masih ingat siapa dirinya… dia bahkan tahu apa yang terjadi.”
Dokter itu menunduk, menahan napas. Jantungnya berdegup kencang mendengar nada suara Wallace yang semakin gelap.
“Jika kau tidak bisa menyarankan cara lain…” lanjut Wallace, suaranya terdengar rendah dan bergetar menahan amarah. “Segera hilang dari hadapanku sekarang juga!”
“Ma… maaf, Tuan…” jawab dokter itu pelan, menunduk dalam sebelum berbalik dan berjalan cepat keluar ruangan, menahan napas berat menahan ketakutan atas tatapan Wallace yang seakan bisa menembus jantungnya.
“Tuan, bagaimana kalau kita konsultasi dengan ahli psikiater?” ucap Nico, “Dokter Juan… dia adalah dokter terkenal. Selain itu, lebih mudah untuk menghubunginya karena dia kenalan lama kita.”
Wallace menoleh pelan menatap Nico dengan mata tajamnya. Ia menarik napas pelan sebelum berkata, “Dokter Juan…? Baik, atur waktu untuk besok.”
“Baik, Tuan,” jawab Nico menunduk hormat sambil menatap punggung Wallace yang melangkah pelan menuju kamarnya.
Saat pria itu menghilang di balik pintu, Nico menghela napas panjang. Matanya menatap pintu kamar dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Baru pertama kali aku melihat Tuan begitu mencemaskan seorang wanita…" batinnya pelan. "Selama ini Tuan hanya peduli pada Kakek dan Tuan Muda Mark. Sepertinya… Tuan tidak menyadari kalau dia telah mulai jatuh cinta."
Keesokan harinya.
Sinar matahari menembus sela tirai tebal di kamar Wallace, menimbulkan cahaya keemasan yang hangat. Celine perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa berat dan lemas. Matanya menatap langit-langit kamar yang asing baginya, membuat jantungnya langsung berdegup cepat.
Dengan cepat, ia bangkit duduk, matanya menatap sekeliling. Kamar luas itu berdesain minimalis dengan nuansa abu dan hitam. Aromanya pun berbeda—maskulin, kuat, dan mahal.
“Aku… di mana? Ini kamar siapa…? Kenapa aku ada di sini…?” gumam Celine dengan suara gemetar. Tangannya yang terbalut perban menarik perhatiannya. Matanya menatap perban putih itu dengan bingung.
“Sejak kapan… tanganku terluka…?” bisiknya, suaranya terdengar kosong.
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah kamar mandi. “Sudah bangun?”
Celine tersentak. Matanya menoleh cepat dan membelalak saat melihat Wallace berjalan keluar sambil mengenakan jubah tidur hitam. Rambutnya masih basah, dengan sisa tetesan air turun di pelipisnya, menelusuri leher hingga dadanya yang bidang dan kekar. Pemandangan itu membuat Celine menahan napas sejenak.
“T-tuan… kenapa Anda ada di sini…?” tanyanya gugup dengan suara pelan, matanya menatap pria itu penuh kecanggungan.
Wallace menatapnya sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Tatapannya tenang dan dingin seperti biasa. “Ini kamarku. seharusnya aku bertanya padamu. di sini begitu banyak kamar, kenapa kamarku menjadi incaranmu," ujarnya datar, seolah tidak ada yang terjadi semalam.
Celine menunduk, menahan detak jantungnya yang tak beraturan. Ia berusaha mengingat kejadian semalam, namun yang diingatnya hanya suara hujan dan petir sebelum semua menjadi gelap. “Apakah… aku berjalan sambil tidur?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Namun telinga Wallace yang tajam menangkap gumaman itu. Matanya menatap gadis itu dalam diam. "Kenapa dia tidak ingat kejadian semalam? Apakah… dia hilang ingatan? batinnya dengan dahi berkerut.
Celine segera turun dari ranjang dengan gerakan canggung. Ia menunduk dalam di hadapan Wallace. “Tuan… maaf… aku tidak sengaja… aku akan segera pergi…” ucapnya cepat, suaranya gemetar menahan malu dan bingung.
Namun sebelum langkahnya sempat menjauh, Wallace melangkah mendekat, menatapnya dengan tatapan tajam dan dalam.
“Kau ingin pergi begitu saja?” tanya Wallace pelan, nadanya terdengar rendah namun menuntut. Kakinya melangkah semakin dekat hingga Celine mundur pelan, tubuhnya menabrak tepi ranjang dan membuatnya terduduk di atas kasur dengan wajah pucat.
“A-aku… aku tidak tahu apa yang terjadi… mungkin aku berjalan sambil tidur…” jawab Celine terbata.
Wallace menatapnya lama, matanya menajam seolah menembus ke dalam jiwa gadis itu. Perlahan, ia menunduk, menempatkan kedua tangannya di atas kasur di sisi kanan dan kiri tubuh Celine. Tubuhnya menunduk, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak dua senti. Napas hangatnya menelusuri pipi Celine yang memerah.
“Tidur di kamarku semalaman… dan ingin pergi begitu saja?” bisik Wallace pelan di telinga gadis itu, suaranya rendah dan dalam, menimbulkan getaran aneh di perut Celine.
“A-aku…” ucap Celine gugup, suaranya tercekat saat merasakan napas hangat pria itu di leher dan telinganya.
Wallace menatap mata gadis itu dalam-dalam. Matanya menangkap bekas bengkak di sekitar mata Celine akibat tangisan semalam. Wajah itu terlihat begitu rapuh dan polos, menimbulkan perasaan yang sulit dijelaskan dalam dadanya.
“Seorang gadis tidur sambil memelukku hingga pagi… bukankah itu namanya sedang menggoda? Apakah kamu begitu suka tidur di dalam pelukanku?" tanya Wallace dengan tatapannya yang dalam dan mesra.
Wajah Celine langsung memerah hebat, matanya membulat menatap pria itu dengan kaget dan malu yang bercampur menjadi satu. “T-tuan… aku… aku tidak…”