Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Bab 11. Gudeg
Pagi itu, suasana kantor Leon Reynaldi seperti biasa, tegang dan penuh profesionalitas. Namun, satu hal yang membuat staf-staf di lantai eksekutif gelisah adalah ekspresi bos besar mereka yang jauh lebih kusut dari biasanya.
Leon duduk di balik meja, kemeja putihnya kusut. Padahal sudah distrika rapi, tapi entah bagaimana kini terlihat sangat kusut dengan dasi setengah terlepas, dan wajahnya yang muram.
Ia menatap kosong layar laptop, lalu memijit perutnya yang terasa aneh. Bukan sakit. Tapi ... lapar. Bukan lapar biasa. Lapar yang sangat spesifik.
"Gudeg," gumamnya tiba-tiba.
Ia memejamkan mata. Aroma manis gurih gudeg, krecek pedas yang menggoda, dan nasi hangat terbayang jelas di benaknya.
Ia langsung menekan tombol interkom. "Eric. Ke ruangan saya. Sekarang," titahnya tanpa basa-basi.
Eric muncul tiga menit kemudian dengan wajah waspada, membawa map laporan dan secangkir kopi hitam. “Pagi, Pak. Ini laporan untuk—” Eric pikir Leon meminta laporan, padahal ....
“Singkirkan,” potong Leon cepat. “Aku butuh kamu beliin sesuatu.”
Eric mengerutkan dahi. “Beli apa?”
“Gudeg.”
Eric membeku. “… gudeg, Pak?”
“Ya. Gudeg. Lengkap. Harus autentik. Bukan yang versi instan. Dan harus langsung dari Yogyakarta.”
Eric nyaris tersedak udara. “Dari Yogya?! Kamu becanda?"
Leon menatapnya tajam. “Aku nggak main-main. Pesan dari sana, kirim pakai pesawat, motor, teleportasi, terserah! Kalau perlu , pintu Doraemon. Pokoknya hari ini harus sampai. Paham?”
Eric membuka mulut, menutupnya lagi, lalu akhirnya berkata, “Kenapa tidak membeli di sini saja? Bukankah di Jakarta pun ada restoran khusus masakan ...."
"Tidak ada tawar menawar atau ... kau mau kupecat sekarang juga?" seru Leon dengan sorot mata tajam.
"Oke oke … Akan aku belikan sekarang! Aku akan coba kontak kenalanku di Yogya,” jawab Eric dengan wajah masam. "Dasar menyebalkan," sambungnya dalam hati.
Leon mengangguk pelan. “Dan jangan pakai banyak alasan. Perutku rasanya berontak kalau bukan gudeg Yogya asli.”
Saat Eric melangkah mundur perlahan keluar ruangan, ia menggumam pelan, “Bos gue ngidam. Serius. Bos besar, jutek, dingin, penguasa bisnis—ngidam gudeg dari Yogya. Harus dari Yogya langsung. Benar-benar gila. Sharon ... aku jadi semakin penasaran dengan wanita yang bisa membuat si kulkas 11 pintu itu uring-uringan.” Ia menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. Lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang yang ia tahu tinggal di Yogyakarta.
Sementara itu, Leon bersandar di kursinya, menatap langit-langit.
"Kenapa harus gudeg? Kenapa harus makanan dari tempat itu?" Ia mengerutkan dahi. Leon sendiri merasa heran. Padahal seumur-umur ia belum pernah menyantap makanan itu. Ia hanya sekadar tahu sebab pengasuhnya dulu merupakan orang Yogyakarta. Ia sering melihat pengasuhnya makan makanan yang berbahan dasar nangka muda itu.
"Apa aku benar-benar mengidam?" Lalu ia tertawa miris. “Ini konyol. Benar-benar konyol."
Mulut boleh ingin menyangkal, namun dalam hati, sebenarnya ia mulai menyadari keterikatan dirinya dengan benih di rahim Sharon. Dengan kata lain, ia perlahan meyakini anak yang Sharon kandung benar-benar anaknya. Namun, apakah mungkin ia masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan mereka lagi dan memperbaiki semuanya?
---
Suasana sore di restoran tempat Sharon bekerja mulai lengang saat Dirga menerima panggilan telepon. Ekspresinya awalnya datar, tapi berubah menjadi bingung campur geli seiring percakapan berlangsung.
“Iya, iya. Serius? Gudeg?” tanya Dirga memastikan, mengerutkan kening sambil terkekeh pelan. “Oke, kirim alamat dan nama penerimanya. Nanti gue usahain.”
" ...."
"Nggak perlu? Lantas, bagaimana cara mengirimnya?"
" ...."
"Dijemput pake pesawat pribadi? Gila. Udah ngalahin orang ngidam aja bosmu itu." Dirga tertawa renyah membuat beberapa karyawan restoran termasuk Sharon terkesima. "Oke. Oke. Aku akan segera memesankannnya dari restoran terbaik di kota ini."
Setelah panggilan ditutup, Dirga menggeleng pelan dan berbalik ke arah Sharon yang sedang membereskan meja bar.
“Sha, aku butuh bantuanmu,” ucapnya.
Sharon menoleh. “Apa?”
“Ada temenku di Jakarta. Katanya bosnya pengin banget makan gudeg asli dari Yogya. Tapi bukan yang kaleng atau dikirim pakai ekspedisi. Harus segar dan langsung dari resto legendaris.”
Sharon menaikkan alis. “Hah? Ni orang hobi cari ribet, ya?”
“Kamu nggak tahu separah apa,” gumam Dirga. “Tapi ya, intinya aku butuh bantuan kamu buat beli gudeg itu dan antar ke bandara. Ada pesawat pribadi yang bakal jemput makanannya. Kamu bisa bantuin?”
Sharon mengangguk meski masih heran. “Boleh. Tapi kenapa aku?”
“Karena aku ada meeting virtual dadakan sama owner. Kamu aja yang lebih fleksibel sekarang. Lagian aku tahu kamu familiar sama resto Gudeg Wijilan yang paling top itu, kan?”
Sharon menghela napas. Ia memang tahu restoran itu sebab baru semalam ia ke sana untuk membeli makanan yang sama. Makanya Sharon jadi ikut terkejut setengah mati karena bisa sama-sama menginginkan makanan yang sama.
“Oke deh. Kasih aku detailnya. Ini juga sekalian bisa mampir beli wedang uwuh buat stok di kontrakan.”
---
Satu setengah jam kemudian, Sharon sudah berdiri di depan hanggar bandara Adisutjipto dengan tas termal berisi satu paket lengkap gudeg, krecek, telur, ayam opor, dan sambal goreng. Ia mengenakan hoodie, celana jeans, dan topi, tidak menyangka akan berada di tempat seperti ini hari itu.
Namun, begitu melihat lambang di badan pesawat jet yang baru saja parkir di landasan, Sharon sontak terpaku.
LXR Holdings.
Hatinya mencelos. Itu nama yang tak asing. Nama perusahaan yang tercetak tegas di kartu nama pria bernama Leonardo Xavier Reynaldi—laki-laki yang tak seharusnya masih ada dalam bayangannya, namun entah kenapa ... masih tertanam begitu dalam.
Seorang pria dari kru pesawat mendekat.
“Anda Sharon?” tanyanya ramah.
Sharon mengangguk perlahan, masih terpaku.
"Be-benar. Ini ... gudeg pesanan Tuan Reynaldi."
Kru itu pun menerima paket gudeg tersebut sambil tersenyum ramah.
“Terima kasih. Kami akan segera mengantarkan ini ke Jakarta.”
Saat pria itu pergi membawa gudeg ke dalam pesawat, Sharon masih berdiri di tempat, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Kenapa harus pesawat ini? Kenapa LXR?" gumamnya. “Jangan bilang kalau ....”
Tiba-tiba semua terasa tak kebetulan.
Dan entah kenapa, ada sesuatu dalam dadanya yang seketika menghangat—campuran antara kekhawatiran, harapan, dan rasa takut yang belum bernama.
Bersambung
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho