NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:646
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20 PULANG

Hari kini telah berganti.

Tanah yang semalaman diguyur hujan perlahan mengering, menyerap hangat dari matahari pagi yang muncul malu-malu di balik kabut. Cahaya lembut menembus celah-celah pohon dan jendela rumah kayu itu, membawa aroma segar dari embun dan tanah basah.

Manuel membuka pintu perlahan. Sunyi menyambutnya—bukan hening yang dingin, melainkan keheningan yang utuh. Hanya ada deru napas pelan dari dua tubuh yang terbaring di dalam, dua orang yang telah bertahan melewati malam paling kelam dalam hidup mereka.

“Mereka masih perlu istirahat,” gumam Manuel, lebih kepada dirinya sendiri.

Ia tidak melangkah masuk. Sebaliknya, ia mundur pelan dan menutup pintu kembali, lalu berjalan menuju kursi panjang di bawah teras—tempat Jake berjaga semalaman. Setelah meyakinkan Jake untuk beristirahat, kini giliran Manuel yang mengisi waktu tunggu itu.

Ia merogoh saku celananya, mengecek ponsel yang kini mulai mendapat sinyal.

Tut...

“Halo?” serunya setengah berteriak ke perangkat. Suaranya sedikit parau, efek dari malam tanpa tidur.

Di ujung sana, suara itu datang—datar, tapi langsung menuntut.

“Kenapa baru menghubungiku? Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Tuan Viren sudah selamat, Tuan. Dia dan istrinya... baik-baik saja,” jawab Manuel dengan nada tenang.

“Aku tidak peduli istrinya,” potong suara itu cepat, ketus. “Aku perlu kabar Viren.”

Manuel menarik napas perlahan. “Tuan Viren baik-baik saja. Hanya kelelahan dan butuh istirahat lebih lama. Kami akan kembali ke Calligo setelah mereka pulih.”

Hening sebentar.

“Baiklah,” ujar suara itu akhirnya. “Aku tunggu di Calligo.”

Sambungan terputus.

Manuel menatap layar yang kembali gelap, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Pandangannya kosong, tapi pikirannya tidak.

Terkadang, ia berpikir: bagaimana bisa dua pria itu bersaudara?

Viren, dengan ketenangan yang nyaris membeku, dingin tapi tajam seperti logam.

Samuel, dengan keramahannya yang memikat, penuh senyum tapi menyimpan bara.

Mereka dua kutub yang tak pernah bertukar tempat—berjalan berdampingan dalam jalur yang berbeda, tapi entah kenapa, selalu bertemu di titik yang sama.

Dan ia, yang berdiri di tengah mereka, tahu satu hal pasti: perbedaan itu bukan jurang—melainkan keseimbangan.

Di dalam kamar itu, Zia mengerjap pelan. Tubuhnya terasa berat—seolah baru saja ditimpa bebatuan dan hujan sekaligus. Setiap otot seperti ditarik, setiap sendi nyeri. Ia menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri, meski udara hangat di ruangan terasa asing.

Dengan sedikit usaha, Zia menoleh ke sisi kirinya. Kosong.

Ia beralih ke kanan.

Di sanalah Viren—terbaring diam, nyaris tak bergerak kecuali dada yang naik turun dengan napasnya yang stabil. Tubuhnya terbungkus selimut hangat hingga ke dada. Wajahnya pucat, ditutupi perban di beberapa bagian. Tapi tetap, garis-garis itu masih utuh—hidungnya tinggi, alisnya tebal dan sedikit berantakan, dan bulu matanya yang... tidak lentik, tapi lebih panjang dari milik Zia sendiri.

Zia memperhatikan lebih dekat. Ada sesuatu yang baru ia sadari.

Tahi lalat kecil di kelopak mata pria itu.

Ia tak tahu kenapa detail sekecil itu bisa membuatnya terdiam.

Zia ingin bangkit, ingin mendekat, tapi rasa nyeri yang menyebar dari bahu ke punggung dan paha membuatnya terhenti. Napasnya tercekat. Ia menggigit bibir menahan perih. Luka itu—hasil dari kejatuhan kemarin—baru sekarang terasa menyeluruh.

Kalau begini sakitnya yang ia rasakan... bagaimana dengan Viren?

Perlahan, Zia memiringkan tubuhnya, berusaha mengabaikan nyeri yang menusuk. Kini wajahnya menghadap ke Viren sepenuhnya. Jarak mereka hanya seukuran bantal.

Ia menatapnya dalam diam.

Malam itu belum lama berlalu, tapi rasanya seperti dunia yang lain. Dunia di mana pria ini melindunginya tanpa bicara banyak, hanya dengan tubuhnya—dan sekarang, tubuh itulah yang diam, istirahat dalam luka.

Dan Zia tak bisa memalingkan wajahnya.

“Sudah puas menatapku?”

Suara itu dalam, serak, namun penuh kesadaran.

Zia terperanjat. Viren membuka matanya perlahan, menatap lurus ke arahnya.

“Ka-kau… sudah bangun?” tanyanya tergagap. Ia tak sempat menarik diri. Tubuhnya masih pada posisi miring, menatap pria itu dari dekat.

“Hm,” sahut Viren singkat, tak mengalihkan pandangan.

Zia menelan ludah, canggung. “Apa... apa tubuhmu sakit semua?”

“Hm,” jawabnya lagi, nada tak berubah.

Zia berniat bertanya lagi, namun baru saja membuka mulut, Viren memotongnya dengan suara pelan tapi tegas,

“Baru sadar sudah cerewet.”

Zia mendelik kecil lalu menatap ke arah lain, salah tingkah. Tangannya menggenggam selimut, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tak bisa ia redam. Karena ini... pertama kalinya mereka berbagi ranjang. Meskipun tak dalam arti romantis, tetap saja—kedekatan fisik ini membuatnya bingung harus bersikap bagaimana.

Beberapa detik sunyi lewat. Lalu, Zia menghela napas pelan.

“Oh, iya…” katanya lirih, menoleh kembali pada Viren. “Aku belum berterima kasih padamu.”

Ia memaksakan senyum, meski wajahnya masih tampak pucat. “Terima kasih karena telah menyelamatkanku.”

Viren tidak langsung membalas ucapan itu. Ia hanya menatap Zia beberapa saat, seolah sedang memastikan sesuatu. Entah apa. Mungkin kejujuran dalam matanya. Mungkin warna suara Zia saat mengucapkan “terima kasih.”

Atau mungkin... karena itu pertama kalinya perempuan itu bicara dengan lembut padanya tanpa sarkasme atau tatapan sinis.

Ia menghela napas pelan, lalu mencoba duduk.

Gerakan kecil itu langsung membuat tubuhnya tegang. Raut wajahnya menegang sejenak saat punggungnya bersentuhan dengan kasur. Napasnya tertahan—pendek dan dalam.

Zia refleks mendekat. “Kau… kenapa?”

Viren tidak menjawab. Ia hanya mengatupkan rahang dan menahan napasnya, lalu akhirnya bisa bersandar dengan pelan, menjaga agar tak terlalu menekan punggungnya.

Barulah saat itu Zia melihatnya dengan lebih jelas. Di balik selimut yang tersingkap sebagian, tampak perban tebal membalut sisi bahu dan punggungnya—ada yang sudah bernoda sedikit merah kecokelatan, bekas darah yang mulai kering.

Zia menelan ludah. Matanya menelusuri lengan pria itu, hingga ke betis kanan yang juga dibalut, lalu ke pelipis yang masih berplester.

Ia baru menyadari seberapa rusak tubuh pria ini.

Dan... semua itu karena ia melindunginya malam itu.

Zia terdiam, bibirnya sedikit bergetar. “Kau... terluka sebanyak ini?”

Viren meliriknya sekilas, seolah tak ingin membahasnya. “Tak separah kelihatannya,” gumamnya.

Zia menggeleng pelan. “Kalau kau tidak peluk aku waktu itu… mungkin wajahku juga berdarah sekarang. Atau lebih buruk.” Suaranya makin pelan. “Kau melindungiku sampai—”

“Jangan besar kepala,” potong Viren cepat. Nada suaranya tajam, datar, dingin seperti embun pagi yang belum tersentuh cahaya. “Aku melakukan ini karena tanggung jawab. Dan aku tidak mau disebut tidak bertanggung jawab oleh ayahmu.”

Hening sejenak.

Zia terdiam, lalu mengangkat mangkuk air hangat yang sempat diletakkannya di meja kecil. Uap tipis mengepul ke wajahnya. Tangannya menggenggam erat mangkuk itu, matanya menatap ke dalam air seperti menimbang sesuatu.

“Oh… tanggung jawab, ya.” Ucapnya akhirnya. Suara itu pelan tapi tak bisa disalahartikan. Nada sinisnya muncul seperti garis halus di tengah senyum yang dingin.

Ia meniup pelan permukaan air panas itu, lalu menyambung dengan suara datar yang nyaris terdengar seperti ejekan, “Baguslah. Kau sudah sangat baik menjaga pengantin penggantimu ini.”

Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari perban di punggung Viren.

Ia tidak membalas. Tak sepatah pun. Hanya menatap langit-langit. Tapi otot di rahangnya mengencang.

Zia tak berharap jawaban. Ia hanya mengangkat mangkuk itu perlahan, menyesap sedikit air hangat, lalu bersandar kembali ke bantal.

Sakit di tubuhnya masih terasa, tapi sakit di hatinya... terasa lebih membumi. Ia baru sadar: diselamatkan tidak selalu berarti dihargai. Dan kadang, luka yang ditinggalkan oleh kalimat seseorang bisa lebih dalam dari batu tajam di dasar jurang.

Baru saja meminum seteguk air, tapi ia sudah merasa harus pergi ke toilet.

Zia menyibakkan selimut, menggeser tubuhnya. Kakinya kini menapaki lantai. Viren hanya menoleh dari ujung matanya. Tidak bertanya. Tidak bergerak.

"Ini hanya luka kecil," batin Zia.

Ia berdiri dengan meja sebagai tumpuan. Gerakannya kaku. Seperti robot. Lututnya yang masih memar tak mampu ia tekuk sempurna. Sesekali, matanya melirik ke arah Viren—yang seperti biasa, tetap tenang, tetap tanpa ekspresi, dengan mangkuk air hangat di tangannya.

Brak...

Zia terperanjat.

Mangkuk yang dipegang Viren jatuh. Entah kenapa atau karena apa. Kini air hangat itu menggenang di lantai kayu, mangkuknya menggelinding hingga ke kaki ranjang. Viren masih duduk, tapi tatapannya kosong, seperti baru saja disambar sesuatu yang tak kasat mata.

Sedetik kemudian, pintu terbuka cepat.

"Zia!" suara itu berat tapi menahan napas. Manuel masuk dengan wajah khawatir. Sorot matanya menyapu ruangan—Zia yang berdiri setengah membungkuk, Viren yang duduk bersandar, dan air yang kini menggenang di lantai.

"Nuel?" ucap Zia pelan, masih terkejut. "Kenapa kau di sini?"

Ia masih ingat betul bahwa hanya Jake yang ikut bersamanya malam itu. Tapi sekarang, Manuel ada di hadapannya—berdiri di dalam kamar yang seharusnya bukan miliknya.

Alis Viren terangkat perlahan. "Nuel?" gumamnya dalam hati. Nama itu terasa asing dan... menjijikkan. Bibirnya mengatup rapat, tapi batinnya sudah bergejolak.

Manuel yang juga baru mendengar nama itu disebut dengan santai hanya menatap ke sisi lain, menahan ekspresi. Tapi matanya akhirnya bertemu dengan sosok di ranjang—Viren. Ia menunduk sebentar, tapi tak bisa menyembunyikan raut kaku di wajahnya.

"Saya di sini untuk, nona," jawab Manuel akhirnya. "Maksudku, untuk menjaga kalian. Menggantikan Jake." ralatnya.

"Oh, begitu ya," gumam Zia, berdiri dengan tubuh kaku, seolah tak punya sendi.

"Nona mau ke mana?" tanya Manuel hati-hati.

Viren masih menatap dua orang yang tengah berdiri itu.

"Toilet." jawab Zia, singkat.

Manuel melirik ke arah Viren—hanya sekilas, tapi cukup untuk membuatnya tahu bahwa tak seharusnya ia sembarang bergerak.

"Mau saya antar?"

Zia mengangguk. "Kalau bisa, bantu aku pergi ke sana."

Alis Viren kembali naik. Kali ini, tak hanya sekadar gerakan refleks—tapi sorot matanya perlahan berubah, menghitam. Ia tetap duduk, tapi kini mematung dengan tatapan menusuk, seolah ada bara yang mulai menyala.

Manuel sudah merentangkan kedua tangan, bersiap mengangkat Zia.

Namun—sebuah deheman berat terdengar dari arah ranjang.

Zia menoleh. Manuel pun ikut berhenti. Tidak ada kata-kata dari Viren. Hanya tatapan tajam—gelap, dan dingin. Seperti pisau yang baru saja ditempa.

Tatapan itu cukup untuk membuat Manuel menurunkan tangannya perlahan. Ia memperbaiki posisi tubuhnya, dan kini hanya berdiri di samping Zia.

Zia memandang Manuel, lalu pada Viren. Dan di sanalah ia melihatnya—sepasang mata yang membara, menyimpan murka tanpa suara, siap melahap siapa pun yang berani menyentuh barang yang telah ia klaim.

"Jangan hiraukan dia, Nuel," ucap Zia akhirnya.

Manuel menatapnya, ragu. Tapi Zia hanya mengangguk.

"Aku tidak tahan lagi." ujarnya, hampir berbisik. "Kalau kau tidak bantu aku, aku bisa pingsan di sini."

Manuel menghela napas. Ia kembali mendekat dan bersiap memapah Zia.

Sementara dari ranjang, Viren tetap diam.

Namun batinnya bergetar.

Dia memanggilnya Nuel. Sejak kapan ada kedekatan seperti itu? Apa yang terjadi selama ini?

Dan dia... dengan mudahnya meminta digendong oleh pria lain? Di hadapanku?

Kedua tangannya mengepal. Luka di tubuhnya terasa nyeri lagi. Tapi bukan karena cidera. Karena luka itu kini bernama: amarah.

Langit kembali gelap, namun tak segelap kemarin. Hanya malam biasa yang sunyi dan sepi—tanpa deru angin ataupun rentetan hujan yang menggila. Kabut menggantung rendah, tipis dan menggambarkan batas antara jalan dan jurang yang samar-samar.

Empat mobil hitam meluncur beriringan menuruni Bukit Hijau. Lampu-lampu depan mereka mengiris kegelapan seperti tombak cahaya.

Di salah satu mobil, tiga orang duduk dalam diam. Zia di sisi kiri bangku belakang, bersandar dengan posisi sedikit miring karena lututnya masih perih. Di belakang supir duduk Viren, kaku dan nyaris seperti patung marmer yang rusak.

Supir yang mereka pakai malam ini bukan Manuel, bukan pula Jake. Keduanya berada di mobil lain, bergantian memimpin konvoi dari depan dan belakang. Malam ini, hanya suara mesin yang mengisi jeda di antara mereka—tanpa obrolan, tanpa napas yang terlalu keras.

Zia sesekali menguap. Entah karena mengantuk atau karena lelah yang masih membekas di tubuhnya. Sakit di badannya masih terasa, meski tak separah yang dialami Viren. Tapi pria itu... tidak mengeluh sedikit pun.

Ia hanya diam. Dari awal perjalanan hingga sekarang.

Viren tak menanyakan luka di lutut Zia, tak menoleh, tak sekadar melirik. Ia juga tidak berbicara kepada Alex. Bahkan media pun berhasil ditekan sebelum sempat membocorkan kejadian malam itu. Jake sudah lebih dulu bergerak, memberi mereka tipu daya kecil—yaitu janji akan wawancara eksklusif bersama tim inti Kairotek minggu depan. Itu cukup untuk menutup mulut siapa pun yang haus berita.

Mendadak, sebuah decitan keras terdengar saat mobil mereka mengerem mendadak. Tubuh Zia terdorong ke depan, dan Viren—yang sejak tadi diam—menahan napas tajam saat punggungnya membentur jok.

“Maaf, Tuan,” kata sang supir cepat. “Mobil depan tiba-tiba berhenti.”

“Kau tidak apa-apa?” tanya Zia cepat.

“Aku... okey,” sahut Viren singkat, menarik napas pelan sambil meringis. Tapi jelas dari cara bahunya menegang, bahwa rasa sakitnya belum reda.

Zia menatapnya, wajahnya yang pucat menampakkan raut khawatir. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh lengan pria itu, untuk sekadar bertanya lebih jauh. Tapi ia sadar—tangan itu dibalut perban. Dan lebih dari itu... ada jarak yang kembali menganga di antara mereka sejak pagi.

Ia mengurungkan niatnya, lalu menoleh keluar jendela. Matanya menangkap bayangan samar pohon-pohon cemara yang berdiri tegak dalam gelap.

Mobil kembali melaju perlahan, menembus kabut pekat yang menyambut mereka menuju Caligo—rumah itu, tempat segalanya bisa tenang... atau justru semakin kacau.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!