NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Lima tahun berlalu seperti mimpi indah yang tak ingin diakhiri. Rumah kecil yang dulu hanya berisi dua orang yang belajar saling mencinta, kini dipenuhi suara tawa, celoteh lucu, dan langkah kaki mungil yang tak pernah kehabisan energi.

Putri kecil mereka, Raihana, kini sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat aktif. Rambut ikalnya selalu diikat dua oleh Nayla setiap pagi, dan matanya yang bulat seperti milik Reyhan selalu memancarkan rasa ingin tahu yang besar.

“Papa… Mama, liat Hana bisa lompat!” serunya suatu pagi, berdiri di atas sofa dengan tangan terbuka, siap melompat ke pangkuan Reyhan.

“Hana! Jangan di situ dong, sayang,” Nayla terkesiap.

Tapi Reyhan sudah siap menangkapnya. “Ayo, Princess. Papa siap!”

Dengan tawa lepas, Hana melompat dan langsung mendarat dalam pelukan papanya. Reyhan tertawa, memeluk anaknya erat.

“Pintar banget anak Papa ini!” ucap Reyhan sambil mencium pipi Hana berkali-kali, membuat bocah itu terkikik geli.

Nayla hanya bisa menggeleng pelan sambil tersenyum.

Setelah semua badai berlalu, operasi, penyembuhan, dan malam-malam panjang penuh kekhawatiran, rumah tangga mereka akhirnya benar-benar dipenuhi kebahagiaan. Terlebih lagi, kondisi Nayla yang semakin membaik membuat Reyhan semakin bersyukur setiap hari.

Mama dan Papa Nayla juga sering datang ke rumah. Mereka sangat menyayangi cucu pertama mereka itu. Papa Adnan, meski masih dalam pantauan kesehatan, selalu tampak semangat saat menggendong Hana.

“Hana, sini ke Kakek, kita siram bunga, yuk,” ajaknya sambil membawa Hana ke taman kecil di halaman belakang.

“Boleh bawa semangka nggak, kek?” tanya Hana polos.

“Boleh… asal jangan disiram juga ya,” jawab Papa Adnan sambil tertawa.

Mama Hesti sibuk di dapur bersama Nayla, membuat kue kesukaan Hana. “Dia ini lincahnya seperti Nayla waktu kecil,” ujar Mama sambil tertawa, mengenang masa lalu.

Nayla hanya tersenyum. Dalam diamnya, ia bersyukur telah diberi kesempatan kedua. Bukan hanya untuk hidup, tapi juga untuk mencintai, seutuhnya.

Malam hari, setelah Hana tertidur pulas di pelukan kakeknya, Reyhan dan Nayla duduk berdua di teras, menikmati angin malam.

“Terima kasih,” ucap Nayla pelan.

“Untuk apa?”

“Untuk tidak pernah menyerah… pada aku.”

Reyhan menggenggam tangannya erat. “Karena kamu adalah hidupku. Dan sekarang… kamu memberiku dua nyawa untuk dijaga. Kamu dan Hana.”

Nayla tersenyum. “Kalau begitu, semangat ya… karena sebentar lagi kita akan punya satu lagi.”

Reyhan terdiam. Matanya membesar. “Nayla… kamu… hamil lagi?”

Nayla hanya mengangguk pelan.

Reyhan bangkit dari duduknya, menatap Nayla seperti melihat cahaya paling terang di langit malam.

“Alhamdulillah…” bisiknya, lalu memeluk istrinya erat-erat.

Di tengah malam yang tenang, di bawah langit yang penuh bintang, keluarga kecil mereka kembali diberi hadiah, sebuah harapan baru, kehidupan baru, dan cinta yang tak akan pernah habis.

***

Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Langit biru bersih menyambut hari pertama Hana masuk taman kanak-kanak. Nayla sibuk membenarkan kerah seragam putih kecil Hana yang sedikit miring, sementara Reyhan sibuk memotret setiap gerakan putrinya dengan ponsel.

“Hana, lihat sini… senyum manisnya dong,” ucap Reyhan sambil menjepret.

“Papa, Hana malu ah…” gadis kecil itu meringis, tapi tetap tersenyum manis ke arah kamera.

“Cantik banget anak Papa,” gumam Reyhan bangga sambil mencubit pipi tembam putrinya pelan.

“Udah, jangan lama-lama. Kita telat nanti,” ucap Nayla sambil merapikan tas kecil Hana dan menggandeng tangannya.

Di perjalanan menuju sekolah, Hana tampak ceria. Ia bercerita tentang teman-teman yang ingin ia temui, mainan di kelas, dan kue bekal yang dibuat Mama.

Namun semua keceriaan itu mulai memudar saat waktu pulang sekolah tiba.

Nayla menunggu di gerbang sekolah dengan senyum hangat, tapi saat Hana muncul, ekspresi gadis kecil itu cemberut. Bibirnya mengerucut, dan ada sedikit noda tanah di seragam putihnya.

“Hana? Kenapa baju kamu kotor?” tanya Nayla, menunduk dan memeriksa lutut Hana yang juga terlihat sedikit tergores.

Hana mendengus pelan. “Bima dorong Hana pas main di halaman.”

“Bima?” Nayla mengernyit. “Siapa itu, sayang?”

“Anak cowok nakal! Dia suka gangguin Hana terus!” jawab Hana kesal, tangan mungilnya terkepal. “Dia ambil boneka yang Hana bawa dari rumah, terus sembunyiin. Pas Hana ambil, dia dorong…”

Nayla terdiam, mencoba menenangkan diri sambil memeluk Hana lembut. “Kamu nggak apa-apa, kan?”

Hana mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Tapi Hana sebel banget. Kalau Bima gangguin lagi, Hana mau gigit!”

“Hana…” suara Reyhan terdengar dari belakang. Ia baru datang menjemput setelah parkir mobil. “Kamu nggak boleh gigit siapa-siapa, dong.”

“Tapi Papa… dia jahat sama Hana!” jawab Hana sambil mendongak ke arah ayahnya, nyaris menangis karena kesal.

Reyhan menghela napas dan jongkok di hadapan putrinya. Ia menyeka tanah di seragam Hana dengan tisu sambil menatap mata anaknya.

“Denger ya, sayang. Kalau ada teman yang jahat, kamu harus bilang ke Bu Guru. Jangan balas dengan kekerasan. Nanti kamu bisa disangka jahat juga,” jelas Reyhan lembut.

“Tapi Hana nggak suka diganggu…”

“Papa ngerti,” balas Reyhan sambil mengecup kening putrinya. “Besok Papa yang antar, dan kita omongin baik-baik sama Bu Guru, ya?”

Hana hanya mengangguk, masih dengan wajah cemberut. “Tapi kalau Bima gangguin lagi… boleh Hana cubit dikit aja?”

“Hana…” Nayla dan Reyhan bersamaan memanggilnya, membuat anak itu langsung mengatupkan mulut dan tersenyum malu-malu.

---

Malam itu, di rumah, Hana kembali menceritakan soal Bima dengan ekspresi penuh emosi.

“Terus, dia bilang Hana cerewet kayak nenek-nenek. Padahal Hana cuma bilang jangan ganggu orang!”

Reyhan tak bisa menahan senyum geli, meskipun ia tahu Hana sedang benar-benar kesal.

“Papa juga sering dibilang cerewet sama Mama, tapi tetap Papa sabar, kan?” seloroh Reyhan.

“Karena Papa emang cerewet,” timpal Nayla dari dapur.

“Lho?” Reyhan memasang ekspresi kaget palsu. “Mama jahat.”

Hana langsung tertawa. Suasana rumah yang hangat kembali menghapus kesedihannya hari itu.

Namun satu hal yang Reyhan tahu pasti, anaknya mulai tumbuh. Dan seperti semua anak yang tumbuh, akan selalu ada tantangan kecil dalam proses belajar menghadapi dunia. Tapi Hana tidak sendiri. Ia punya Mama dan Papa yang akan selalu berdiri paling depan untuk menjaganya.

***

Keesokan paginya, udara masih sejuk ketika Reyhan memarkirkan mobil di depan gerbang sekolah Hana. Ia turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu belakang untuk Hana. Nayla menyusul, mengenakan gamis longgar berwarna pastel dan hijab senada. Perutnya yang mulai membuncit kini terlihat jelas, menandakan usia kehamilannya yang memasuki bulan kelima.

“Papa, Mama… Hana nggak mau duduk dekat Bima hari ini,” keluh Hana sambil menyampirkan ransel kecilnya ke bahu.

Reyhan terkekeh pelan. “Tenang saja, sayang. Hari ini Papa dan Mama mau bicara sama Bu Guru soal itu.”

“Beneran, Ma?” tanya Hana, matanya berbinar.

Nayla tersenyum, lalu berjongkok agar sejajar dengan Hana. “Iya, sayang. Tapi ingat, kamu juga harus belajar memaafkan. Bima mungkin belum tahu cara berteman yang baik.”

Hana mengangguk ragu, lalu menatap perut Nayla dengan wajah penasaran. Ia menyentuhnya pelan, lalu mengusap penuh kelembutan.

“Adik masih tidur, ya, Ma?” bisiknya.

“Iya. Tapi mungkin dia dengar suara kakaknya yang cerewet sejak tadi pagi,” goda Reyhan sambil mencubit pipi Hana.

“Papa…” Hana mencibir, lalu tertawa kecil.

Nayla mengusap kepala putrinya. “Ayo, waktunya masuk. Jangan lupa peluk Mama sebelum pergi.”

Hana segera memeluk Nayla, lalu beralih memeluk Reyhan erat. “Papa harus janji ya, jangan pulang dulu sebelum Hana selesai.”

Reyhan tersenyum dan mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji. Papa dan Mama akan nunggu sampai Hana selesai main dan belajar.”

Setelah itu, Hana melangkah masuk ke halaman sekolah dengan riang, melambai ke arah orang tuanya. Nayla dan Reyhan memperhatikan putri kecil mereka yang mulai mandiri, meskipun sesekali masih menoleh untuk memastikan Mama dan Papa tetap di tempat.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!