Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sakit
🌸
🌸
“Sudah, jangan menangis terus. Dokter ‘kan sedang menanganinya.” Alendra memiringkan wajahnya untuk bisa melihat Asyla lebih jelas karena wanita itu menunduk dengan isakkan yang belum berhenti.
“Tapi Tirta nggak apa-apa, kan? Dia baik-baik aja ‘kan, Pak?”
“Mudah-mudahan begitu, kan dokter sedang mengobatinya.”
Asyla menutup wajah dengan kedua tangannya, “ya Allah, kenapa saya nggak sadar kalau dia sakitnya parah? Coba kalau dari tadi sore, mungkin nggak akan begini!” Dia menyalahkan dirinya sendiri.
“Hey, jangan menyalahkan diri sendiri begitu. Namanya juga sakit ya nggak bisa diprediksi. Katamu kalau anak balita memang begitu, suka tiba-tiba sakit?”
“Tapi ini keterlaluan, Pak. Sebagai ibu saya merasa nggak berguna.” Asyla menepuk-nepuk kepalanya sendiri sehingga Alendra memegangi kedua tangannya untuk menghentikan.
“Kita ini manusia biasa, mana bisa menebak hal yang nggak terduga? Lagipula kamu nggak membiarkannya begitu saja, kan? Dari tadi Tirta kamu urus.”
“Tapi —” Namun percakapan itu terjeda saat dokter keluar dari ruang penanganan.
“Orang tua Tirta Sulanjana?” panggilnya saat ditemukan dua orang dewasa itu di kursi tunggu, dan Asyla juga Alendra bangkit bersamaan.
“Mari, anaknya sudah tenang.” Dokter mengajak mereka berdua masuk.
“Suhu tubuhnya tadi memang mencapai 40,2 derajat. Jadi itu yang menyebabkan ananda Tirta mengalami kejang-kejang.” Pria berjas putih itu mulai menjelaskan.
“Ya Allah, tinggi sekali, Dokter.”
“Iya, makanya. Beruntung sekali Anda berdua segera membawanya ke sini. Karena terlambat sedikit saja bisa berbahaya.”
Asyla terisak lagi sambil mengusap lengan putranya.
“Tapi alhamdulillah sekarang keadaannya sudah membaik. Panasnya sudah turun, tapi harus tetap diperhatikan, ya?”
Asyla menganggukkan kepala.
“Apa sebelumnya Ananda pernah mengalami step jika panas seperti ini?” Lalu dokter bertanya.
“Belum pernah, Dokter. Ini pertama kalinya.”
“Baik. Tapi jka anak sudah pernah mengalami kejang, maka di masa yang akan datang kemungkinan dia bisa mengalaminya lagi dalam keadaan panas yang sangat tinggi, dan itu yang harus diantisipasi. Usahakan agar anak Ibu tidak terlalu aktif dulu beberapa hari ke depan sampai semuanya stabil, dan hindari aktivitas yang berlebihan.”
Asyla kembali mengangguk.
“Diperhatikan juga asupan makanannya, ya? Berikan Ananda makanan bergizi. Tadi saya cek sepertinya dia kekurangan gizi. Berat badannya kurang menurut usia, padahal di umur seperti ini sedang naik-naiknya.”
Asyla menggigit bibirnya kuat-kuat.
“Ini saya resepkan obat untuk proses penyembuhan yang bisa ditebus besok pagi, ya? Untuk malam ini sampai beberapa jam ke depan biarkan Ananda dirawat dulu. Obat yang barusan saya berikan sedang bekerja.”
“Ba-baik, Dokter.”
“Dan satu lagi, ini sekedar antisipasi saja. Kalau nanti atau lain kali Ananda Tirta mengalami panas yang tinggi, bisa diredakan dengan metode skin to skin dengan ayahnya.”
“Maksud Dokter?” Asyla mengerutkan dahi, sementara Dokter di depannya beralih menatap Alendra yang sejak tadi menyimak semua ucapannya di samping ibu pasiennya itu.
“Metode skin to skin, untuk menurunkan panas dan meredakan demam. Dan itu bisa dilakukan dengan ayahnya.”
“Umm ….”
“Begini, ketika anak sedang demam, Bapak bisa buka baju terus peluk anak sampai kulit masing-masing saling bersentuhan. Coba beberapa menit sampai panasnya turun, dan itulah yang biasanya bisa meredakan demam anak, Bu.”
“A-ayahnya?” Asyla tergagap. Bagaimana bisa dia melakukan metode itu sedangkan suaminya yang adalah ayah dari putranya sudah tidak ada. “Ayahnya … suami saya ….”
“Iya, Bapak bisa melakukannya, kan? Ini sekedar untuk informasi saja agar nanti keadaan seperti ini tidak terlalu panik. Itu juga bisa menyelamatkan nyawa anak.” Dokter lagi-lagi menatap Alendra, dan kali ini lebih lama. Sepertinya ada yang salah paham di sini.
“Tapi, Dokter. Bapak ini adalah —”
“Administrasinya sudah diurus kan, Pak?” Lalu dia bertanya pada pria itu.
“Sudah, Dok. Semuanya lengkap.”
“Termasuk kamar untuk rawat inap malam ini?”
“Iya, Dokter.”
“Baik kalau begitu, apa ada lagi yang mau ditanyakan?”
Asyla hampir saja berbicara tetapi Tirta yang terbangun merebut perhatiannya. Sehingga dia buru-buru memeluknya.
“Umm … sepertinya tidak, Dokter.” Maka, Alendra yang menjawabkan.
“Baik, kalau begitu saya pamit? Semoga anak Anda cepat sembuh ya, Pak?” Dokter pun segera pergi.
***
Asyla membuka mata saat mendengar suara dering ponsel di atas nakas. Sudah pasti itu adalah milik Alendra yang sejak semalam menolak untuk meninggalkannya pulang ke rumah. Tetapi entah di mana pria itu saat ini karena benda pipihnya malah ditinggal. Sementara dirinya tertidur sejak semalam dalam posisi duduk di kursi sambil memeluk Tirta yang sempat kembali menangis.
Di layar tampak sebuah kontak dengan nama Mama terus memanggil dan Asyla hanya menatapnya sampai panggilan itu berhenti sendiri.
“Kamu bangun dari tadi?” Lalu suara bariton dari ambang pintu mengalihkan perhatiannya, dan tampaklah Alendra yang sepertinya baru saja dari luar.
“Maaf tidak memindahkanmu jadinya kamu tidur seperti itu di kursi. Selain saya tidak tega membangunkanmu, tapi juga takut kamu akan salah paham.” Pria itu berjalan masuk sambil menenteng sebuah kantong kresek berukuran sedang.
“Sebaiknya kamu bersih-bersih dulu, setelah itu sarapan. Saya sudah beli bubur ayam di depan tadi.” Lalu dia menunjukkannya kepada Asyla.
“Ayo, cepat. Tunggu apa lagi? Setelah ini kita mau pulang, kan?”
“Oh, obatnya?” Asyla perlahan bangkit sambil melepaskan rangkulan tangannya dari Tirta.
“Sekalian saya tebus barusan.” Lalu Alendra menunjukkan kresek lainnya yang berisi obat-obatan untuk Tirta.
“Terima kasih, Pak.” Kini mereka sudah berada di dalam mobil dan bersiap untuk pulang. “Saya nggak tau kalau nggak tinggal sama Bapak. Mungkin Tirta nggak akan selamat.”
“Jangan dipikirkan, mungkin sudah jalannya begitu. Sekarang harus kita usahakan kesembuhan Tirta. Apa panasnya sudah turun?” Alendra menyentuh kepala dan punggung anak itu yang meringkuk dalam pelukan ibunya. Suhu tubuhnya sudah lebih rendah dibanding semalam dan dia lebih tenang.
“Sudah, Pak.”
“Syukurlah. Obatnya sudah kamu simpan juga, kan?”
Asyla menganggukkan kepala.
“Baiklah, sekarang kita harus pulang, kan?”
“Iya, Pak.”
Alendra tersenyum. Lalu dia segera menghidupkan mesin mobil.
***
“Ada siapa ya?” Alendra mengerutkan dahi saat melihat sebuah mobil berwarna hitam di depan gerbang rumahnya. Sepertinya dia mengenali mobil itu?
“Ada apa pak Pardi sudah datang pagi-pagi begini?” katanya lagi ketika melihat sopir keluarganya turun.
Mobil yang dikendarainya mendekat dan Alendra segera menurunkan kaca.
“Pak?”
“Maaf, Mas. Ada mama.”
“Apa?”
“Mama dan papa, dan kami baru saja sampai setengah jam yang lalu.”
“Duh. Mama dan papa datang?” Alendra menatap mobil hitam milik orang tuanya.
“Iya, Mas. Ditelpon dari subuh nggak diangkat.”
“Saya belum lihat hape, Pak.” Pria itu menekan remot yang dibawanya sehingga pintu gerbang perlahan terbuka. Lalu pak Pardi kembali ke dalam mobilnya kemudian melajukannya masuk ke dalam pekarangan, diikuti oleh Alendra. Dia segera keluar begitu sampai dan segera menghampiri Alphard hitam itu ketika pintunya terbuka.
“Ma, Pa?” Lalu dia menyalami keduanya.
“Dari mana saja kamu, pagi-pagi baru sampai villa?” Bu Andin sedikit ketus karena merasa kesal telah dibuat menunggu oleh anak ketiganya tersebut.
“Maaf, Ma. Ale dari rumah sakit.”
“Rumah sakit? Siapa yang sakit?” Wanita paruh baya itu menyentuh wajah putranya.
“Bukan Ale, Mah. Tapi Tirta.”
“Tirta?”
Kedua orang tua dan anaknya itu menoleh bersamaan ke arah mobil Alendra di mana Asyla akhirnya memberanikan diri untuk turun.
“Siapa?"
“Ya, anaknya Asyla.”
“Asyla itu siapa?” Bu Andin menatap wanita muda yang menggendong anak balita di belakang mobilnya.
“Mbak yang kerja di sini, Mah.”
“Yang kerja?”
“Iya.”
Bu Andin terdiam.
“Asyla, ini mama dan papa saya.” Alendra mengenalkan kedua orang tuanya, dan Asyla meresponnya dengan senyum dan anggukkan yang cukup sopan. Lalu dia maju untuk menyalami keduanya sambil menunduk dengan begitu rengkuh, khas orang-orang Sunda pada umumnya.
“Selamat pagi, Bu. Saya Asyla. Mau dua bulan bekerja di sini.” Dirinya pun mengenalkan diri. “Ini anak saya, Tirta.”
“Oh ….”
“Ayo masuk, Mah, Pah. Di sini dingin.” Dan Alendra segera menggiring kedua orang tuanya yang masih menatap aneh Asyla ke dalam villa.
🌸
🌸
Ehm ...🤭
like komen gift sama vote nya ditunggu ya gess ya.
alopyu sekebon😘😘
Belum lagi besok pagi kamu juga yang harus membersihkan dan merapikan sisa2 pesta.
Sudah terlihat sikap Si Listy yang menyebalkan dan seenaknya sendiri. Besok2 klo di kantor mulai menjauh dari Si Listy, Le...
Ale harus lebih hati2 sama perempuan modelan Listy,,belum apa2 sudah sombong gitu
udah mah ngotot pingin di villa Ale,mo nyediain akomodasi segala taunya batal malah ngerepotin tuan rumah.
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️