Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Perbatasan Selatan Kekaisaran Hanbei – Musim Semi, awal bulan kedua
Kabut pagi masih menggantung tipis di atas hutan bambu saat sebuah pasukan kecil bergerak dalam senyap, bendera negara Xi berkibar lemah di ujung tombak.
Di tengah barisan itu, berdiri seorang wanita muda dengan jubah perang berwarna biru malam. Putri Rong Yue, dikenal sebagai angin selatan, ahli strategi dan pemanah ulung dari Negara Xi.
Namun ada satu hal yang membedakan misi ini dari sekadar ekspedisi militer biasa.
Tujuan pribadi Rong Yue: membalas dendam pada keluarga Wei.
—
Dua puluh tahun lalu, ayah Rong Yue yang merupakan jenderal Xi tewas dalam pertempuran di perbatasan saat menghadapi pasukan Jenderal Wei. Sejak kecil Rong Yue dijejali cerita bahwa kehormatan keluarga mereka dihancurkan oleh kelicikan keluarga Wei.
Kini, begitu mendengar bahwa putri Jenderal Wei bukan hanya hidup kembali dari fitnah, tapi juga telah menjadi Permaisuri Hanbei, Rong Yue tak bisa menahan amarahnya.
“Biarkan istana mereka tahu…” katanya pada penasihatnya, “kalau tak semua luka bisa disembuhkan dengan mahkota.”
—
Istana Hanbei
Kabar mengenai pergerakan pasukan Negara Xi langsung sampai ke tangan Wei Lian.
Di ruang kerjanya, ia memandangi peta wilayah selatan sambil membaca laporan-laporan pengintaian.
Mo Yichen masuk sambil membawa surat dari utusan perbatasan. “Rong Yue memimpin sendiri pasukan. Tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk invasi. Ini bukan perang.”
Wei Lian mengangguk pelan. “Ini ujian. Bukan untuk kerajaan… tapi untukku. Dia ingin memancing emosiku. Menarikku keluar.”
Yan’er yang berdiri tak jauh angkat bicara, “Jika dia tahu tentang masa lalu keluarga Wei, bisa jadi dia juga tahu tentang… masa lalu lainmu.”
Wei Lian menoleh tajam. “Tidak. Tidak akan ada yang tahu tentang kehidupan masa laluku. Itu rahasia yang terkubur bersamaku di liang pertama.”
Zhao Jin, yang duduk di sisi jendela, menambahkan, “Kita bisa kirim utusan damai. Tawarkan pertemuan di wilayah netral. Lihat niatnya.”
Mo Yichen menatap Wei Lian. “Kau yang memutuskan. Ini urusan keluargamu… dan harga dirimu.”
Wei Lian menatap api lentera yang bergetar pelan.
“Baik. Kita akan undang Rong Yue bertemu di Lembah Fei Yun. Hutan bambu di sana cukup jauh dari istana, tapi cukup terbuka untuk menunjukkan bahwa kita tidak sembunyi.”
Ia berdiri.
“Dan jika dia datang membawa dendam… maka aku akan tunjukkan padanya bahwa keadilan tak perlu dibayar dengan darah lagi.”
—
Tiga hari kemudian – Lembah Fei Yun
Pertemuan diatur tanpa senjata.
Wei Lian datang dengan pakaian dinas berwarna perak keabuan, hanya ditemani Yan’er dan Zhao Jin. Di sisi seberang, Rong Yue turun dari kudanya, anggun namun tajam seperti panah.
Mereka berdiri saling berhadapan di bawah pohon bambu yang menjulang.
“Putri Wei Lian,” ujar Rong Yue tanpa membungkuk. “Atau sebaiknya kusebut Permaisuri, wanita yang bertahan dari dua kehidupan?”
Wei Lian mengangkat alis. “Kau tahu terlalu banyak.”
“Negeri ini penuh dengan bisikan,” balas Rong Yue. “Dan bisikan tentangmu… menarik. Kau selamat dari fitnah, dari kematian, dan bahkan dinikahi Kaisar. Tapi kau tak bisa selamat dari masa lalu keluargamu.”
Wei Lian menatapnya lurus. “Apa yang kau inginkan, Rong Yue?”
“Jawaban,” jawab Rong Yue dingin. “Mengapa ayahku harus mati. Apakah benar dia dikhianati oleh pasukan Wei saat gencatan senjata sedang berlaku?”
Wei Lian menghela napas. “Ayahmu tewas dalam serangan yang tak pernah diperintahkan oleh ayahku. Itu adalah jebakan yang dibuat oleh faksi bangsawan Luoyang sendiri untuk memancing perang agar bisa menjatuhkan keluarga Wei dan menguasai wilayah perbatasan. Aku tahu ini karena aku sendiri… menyelidikinya.”
Rong Yue tampak goyah sesaat.
“Aku punya bukti. Surat perintah palsu, catatan strategi yang disabotase.”
Zhao Jin menyodorkan kotak kayu kecil. Rong Yue membukanya perlahan. Matanya membesar saat membaca isi surat di dalamnya.
Air mukanya berubah. “Ini… tidak mungkin…”
Wei Lian berkata lembut namun tegas, “Kau telah dibesarkan dalam kebencian. Seperti aku dulu. Tapi jika kita terus mewarisi kebencian, sampai kapan perang akan berhenti?”
Sunyi.
Hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan bambu.
Lalu, perlahan, Rong Yue meraih kotak itu dan menutupnya. Ia memandang Wei Lian dalam-dalam.
“Kau… berbeda dari yang kukira.”
Ia mundur selangkah. “Untuk saat ini, aku akan menahan pasukanku. Tapi jika satu hari nanti aku menemukan bahwa ini bohong…”
“Kau boleh mencabut pedangmu,” jawab Wei Lian mantap. “Tapi saat itu tiba, pastikan kau benar-benar siap menanggung akibatnya.”
Rong Yue tersenyum kecil. Bukan senyum licik… tapi senyum hormat.
“Kita akan lihat, Permaisuri Hanbei.”
—
Malam itu, kembali di istana
Wei Lian duduk di balkon atas, memandang bulan yang separuh tertutup awan.
Mo Yichen datang dan duduk di sampingnya. “Hari ini kau bukan hanya permaisuri… tapi penjaga perdamaian.”
Wei Lian menyandarkan kepala ke pundaknya. “Kadang yang paling sulit bukan perang dengan pedang… tapi perang melawan dendam dalam hati sendiri.”
Mo Yichen mengecup ubun-ubunnya. “Dan kau menang.”
bersambung