“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 17
Larasmi menatap jasad Atun tanpa berkedip. Satu musuh akhirnya tumbang. Tubuhnya tak bergerak, hanya genangan darahnya yang terus mengalir—bak merayap di lantai kayu.
Perlahan, Larasmi—melalui raga Arum—berbalik badan. Tatapannya jatuh pada sosok pria yang sejak tadi hanya berdiri diam di sudut ruangan, kepalanya tertunduk, bahunya bergetar pelan. Larasmi tau, Junaidi tengah menangis.
“Kemarilah, Jun ...,” panggil Larasmi lirih. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan angin, tapi cukup jelas untuk memanggil jiwa yang telah lama dihantui rasa bersalah.
Junaidi mengangkat wajahnya. Mata yang memerah menatap sosok di depannya, tampak bergetar. Napasnya tercekat, dadanya berat menahan luka lama yang selama ini ia kubur dalam diam. Tanpa ragu, ia perlahan mendekat.
“Buanglah rasa bersalah mu, Jun,” ujar Larasmi lembut. “Kematian Mbak, bukan kesalahanmu. Bahkan jika malam itu kau menjerit sekuat-kuatnya, tak akan ada yang berubah. Yang ada, kau akan mati menyusul ku—tanpa sempat menuntaskan semua dendam ini.”
Junaidi tak kuasa menahan air matanya. Ia meremas tangan Larasmi, lalu menghambur ke dalam pelukan sosok kakaknya.
“Mbak ... maafkan aku ... maaf karena aku tak bisa menyelamatkanmu saat itu ... maaf karena aku hanya bisa bersembunyi dan melihat—” Junaidi tak sanggup melanjutkan kalimatnya, isaknya semakin kencang.
Larasmi membelai pelan rambut sang adik. Meski raga ini bukan miliknya, namun—kasih yang mengalir di dalamnya tetap sama.
“Sudahlah, Mbak sangat bersyukur ... kau dapat menjalani kehidupan ini dengan baik—tanpaku. Dan, itu sudah lebih dari cukup. Saat ini, Mbak hanya ingin menyelesaikan apa yang belum terselesaikan. Dan begitu semuanya usai ... tolong antarkan jiwa ini dengan layak ...,” kata Larasmi lirih.
Junaidi menunduk, dadanya sesak. “Aku akan melakukannya, Mbak. Dengan tanganku sendiri,” bisiknya pelan.
Larasmi menatap adiknya dengan mata yang lembut—berbeda dari sorot tajam saat membalaskan dendam. Dalam sekejap, Arum terlihat seperti gadis biasa lagi. Tapi bayangan Larasmi masih terasa kuat di udara, menyatu dalam sorot mata dan senyum penuh luka.
“Terima kasih, Jun,” Suara Larasmi menggema di udara, nyaris seperti hembusan angin. “Aku tak butuh kuburan megah, hanya tempat yang tenang dan doa dari orang yang mencintaiku dengan tulus. Itu sudah cukup.”
Junaidi kembali menunduk, kali ini bukan karena sedih—melainkan hormat. Ia tau, yang berdiri di hadapannya bukan sekadar kakaknya yang telah mati dibantai, melainkan jiwa yang menolak dilupakan sejarah.
Wujud Larasmi telah menghilang, meninggalkan wadalnya dengan peluh membasahi kening.
Arum menatap singkat manik Junaidi yang masih sembab, lalu berkata. “Sekarang, perintahkan anak buah Anda untuk mengurus jasad wanita iblis ini. Kuburkan di tempat paling tak layak yang mereka tau. Pastikan tak ada satu orang pun yang akan menemukan tulang belulangnya.”
“Akan saya urus secepatnya.” Junaidi mengangguk paham.
Arum—mengibaskan rambutnya ke belakang, lalu meminta Mbah Darsih untuk kembali menyanggul rambutnya dengan tusuk konde yang sudah dibasuh.
Matanya bersinar tajam, lalu ia melangkah pelan menuju pintu gudang tua yang masih mengeluarkan aroma arang dan darah.
“Kita harus lekas kembali ke rumah besar itu, Mbah. Saya sudah tak sabar ingin bersenang-senang dengan Pima dan Sri. Mumpung Si Karta dan istri terkutuknya itu sedang menuju ke kota, membeli barang-barang pengganti dari persediaan gudang yang sudah kita sikat habis tadi malam.”
...****************...
Sore itu, di gudang tua yang pernah menjadi saksi bisu penderitaan Arum dan Larasmi, aroma kayu lembab bercampur debu memenuhi udara. Cahaya matahari senja menembus celah-celah dinding reyot, menimbulkan bayangan berkelebat di antara tiang-tiang kayu lapuk.
Di ambang luar pintu gudang, Wagiman—Ajudan kepercayaan Karta, berdiri tegak seperti patung penjaga. Ia tak bersuara, hanya memantau—mengawasi keadaan luar. Ia diutus untuk menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan Arum—untuk menghukum Pima dan Sri.
Di tengah ruangan, Pima dan Sri terikat erat pada dua tiang penyangga berseberangan. Rambut mereka awut-awutan, wajah penuh debu dan peluh, pakaian kusut dan robek di beberapa bagian—akibat dicambuk habis-habisan.
Di depan mereka, Arum duduk anggun di atas kursi tinggi dari ukiran jati tua, dengan sandaran lengkung menyerupai bentuk kelopak bunga teratai. Singgasana itu merupakan kesayangan Nyai Lastri, disimpan di ruang tamu utama rumah besar, hanya digunakan untuk menjamu tamu penting—namun kini, dialihfungsikan untuk takhta pembalasan.
“Apa kalian sudah lelah?” Arum memainkan cambuk tipis berukir emas di tangannya. Suaranya datar, tapi terdengar sangat menakutkan bagi Pima dan Sri. “Lucu ya, bagaimana semesta berputar begitu cepat. Kemarin aku yang menangis pilu di tempat ini ... tapi, hari ini? Malah giliran kalian.”
“Cuih!” Pima membuang ludah ke lantai. Rahangnya mengeras, giginya bergemeretak penuh dendam. “Dasar perempuan tak tau diri! Kau pikir kau bisa menggantikan posisi kami begitu saja?”
Arum terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tawa pun pecah dari bibirnya.
“Ahaa ... Ahahahahahahahaha!” Tawa itu menggema di dalam gudang. Ia memegangi perutnya, seolah kata-kata Pima benar-benar membuatnya geli. “Posisi kalian?! Astaga! Untuk apa aku merebut posisi kalian—yang bahkan lebih rendah dari debu yang menempel di sandalku? Hey, Pima—apa rasa sakit akibat cambukan tadi membuat isi kepala mu jadi miring?”
Arum mendekat, langkahnya ringan namun pasti, seperti seekor kucing pemangsa. Ia berhenti hanya beberapa jengkal dari wajah Pima, menatap lurus ke dalam matanya yang mulai gemetar.
“Kalian lupa satu hal penting. Aku memang pernah ada di bawah, sama seperti kalian. Tapi sekarang? Aku berdiri di atas kalian. Sangat tinggi ... sampai-sampai aku harus menunduk hanya untuk melihat kehinaan kalian!” Desis Arum tenang, namun meninggalkan kesan angkuh nan menyeramkan.
Arum mundur beberapa langkah, sedikit menjaga jarak dari Pima.
“Tadinya, aku ingin memberikan kau kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik. Tapi melihat sifat congkak mu, kau sangat layak mendapatkan penderitaan ini.”
Tanpa aba-aba, Arum mengayunkan cambuknya.
BUGH!
Suara kulit dihantam cambuk dan jeritan menyayat dari Pima menggema.
“AAAARRRGH!”
BUGH! BUGH!
Dua cambukan lagi, mendarat di tubuh Pima. Darah segar mulai merembes dari robekan kain dan kulit.
Pima kembali menjerit, suara seraknya mulai kehilangan kekuatan.
“Arum, ampun, Arum. Tolong, jangan sakiti kami. Ampuuuun.” Wanita babak belur itu meringis. “Kami hanya mengikuti perintah dari Nyai Lastri!”
Arum membungkuk, menatap tajam Pima dengan sorot mata murka.
“Sama, aku juga sedang menjalankan perintah ... dari dendam kesumat yang sudah lama membara dan membusuk!” desis Arum.
Sri yang menyaksikan keadaan Pima—bersimbah darah dan lemas dengan bekas cambukan di sekujur tubuhnya—terisak-isak sambil bergumam ketakutan, “apa yang kau inginkan dari kami, Arum?! Kau menginginkan kami mati?!”
Arum tersenyum tipis. Ia menyeka darah di ujung cambuknya ke kain gaun putihnya. “Aku? Hanya ingin kalian membayar ... semua perbuatan keji kalian terhadapku—juga kepada Larasmi.”
Wajah Sri dan Pima sontak pucat manakala nama Larasmi disebut-sebut. Tubuh mereka bergetar.
“D-dari mana kau tau nama i-tu?” Pima terbata-bata, antara menahan sakit—juga ketakutan.
Sejurus kemudian, angin dingin bertiup tiba-tiba dari sela-sela celah gudang yang tua. Api dari lampu minyak berkedip-kedip tak karuan.
Arum mendongak sedikit, dan senyum menyeramkan kembali mengembang di wajahnya. Dia tiba-tiba berjalan cepat ke arah Pima, berdiri di sisi indera pendengaran Pima.
Lalu berbisik pelan. “Dari mana aku tau? Hihihi! KARENA AKU LAH LARASMI YANG AKAN MENJEMPUT AJAL KALIAN!”
Pima menoleh cepat, matanya seketika membelalak. Ia terkejut melihat wajah Arum yang sudah berubah rupa—menyerupai wajah Larasmi.
Kulitnya pucat kehijauan, dengan urat-urat hitam menonjol di sekitar rahang dan mata. Bibirnya pecah-pecah, dan dari retakan pipi yang mengelupas, mengalir darah kental yang tampak membusuk.
“S-s-s-setaaaan!” teriak Pima histeris.
Larasmi menyeringai kejam. Ia mengitari Pima, dan berhenti di belakangnya. Kemudian, Larasmi melingkarkan cambuk ke leher Pima, menarik benda itu sekuat-kuatnya.
Pima menggeliat keras, tubuhnya menegang di tiang penyangga. Kedua tangannya yang terikat kencang di belakang tubuh, terangkat tinggi—membuatnya tak bisa meraih leher sendiri. Ia hanya bisa menghentakkan tubuhnya ke depan dan belakang dengan sia-sia.
“Hhggkk—aaack!” Suara parau keluar dari tenggorokannya yang tercekik cambuk. “T-olo-ng—aacck!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣