bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertengkaran renata dan andika
Bianka kesal. Ia membuka ponselnya, lalu membuka kontak Andika yang sebelumnya sudah ia blokir.
"Aku harus kembali pada Andika dan menyingkirkan istrinya. Si Feri itu sudah tidak berguna lagi,"ucap Bianka dalam hati.
Tak lama kemudian, Andika menghubunginya.
"Di mana kamu, Sayang?" tanya Andika.
"Aku di mal, dekat toko tas. Tolong aku, Dika," jawab Bianka dengan suara manja.
"Oke, kamu tunggu di sana, jangan ke mana-mana," balas Andika penuh semangat.
Sambungan terputus. Bianka mendengus sambil bergumam, "Dasar laki-laki bodoh, akan kubuat dia membenci ibunya. Aku harus menguasai hartanya."
Andika benar-benar bucin kepada Bianka. Dalam waktu singkat, ia sudah sampai di tempat Bianka berada, di sebuah butik tas mewah.
"Ada apa, Sayang?" tanya Andika.
"Kartu kreditku diblokir. Aku lupa, habis bayar rumah sakit Papah, jadi lupa isi saldo," kata Bianka dengan nada sedih.
"Oh, tenang saja. Kamu mau apa, aku akan belikan," ucap Andika sambil tersenyum, seolah mengerti sepenuhnya keinginan Bianka.
Bianka melangkah anggun ke arah rak tas branded. Ia menunjuk tas yang sebelumnya ia incar bersama Feri — tas yang gagal ia beli karena kartu kredit Feri bermasalah.
"Sayang, aku mau tas itu," kata Bianka sambil menunjuk sebuah tas limited edition seharga lebih dari tiga ratus juta rupiah.
"Silakan, Sayang, ambil saja," ucap Andika tanpa pikir panjang.
Ternyata bukan hanya satu. Bianka memilih lima tas sekaligus. Jika dijumlahkan, nilainya lebih dari satu miliar rupiah.
...
Sementara itu, tak jauh dari mereka, Amira dan Renata sedang asyik melihat-lihat tas di toko lain.
"Wah, tasnya murah-murah banget ya," ucap Amira polos.
"Wah, matre juga nih anak,"pikir Renata dalam hati, sedikit menilai Amira.
"Ini di Tanah Abang saja harganya tiga ratus ribu, tapi di sini cuma tujuh belas ribu," lanjut Amira dengan polos.
Renata tertawa kecil. "Ini harga dolar Singapura, bukan rupiah."
"Loh, bukan harga rupiah ya?" Amira terbelalak.
"Kalau tujuh belas ribu dolar Singapura, berarti berapa duit, Bu?"
"Ya, kalau dirupiahkan sekitar dua ratus juta."
"Gilaaaaa!" teriak Amira kaget.
"Kenapa kamu?" tanya Renata, heran.
"Jangan, Mah, jangan beli, apalagi borong! Tas beginian banyak di Tanah Abang. Nanti aku belikan, Mah, kalau mau. Ini beli tas atau mau beli rumah?" ucap Amira setengah berteriak.
"Kalau mau, ambil saja," kata Renata santai.
"Aku nggak mau, Mah. Ini nggak ada manfaatnya. Yang di Tanah Abang aja lebih bagus, modelnya juga lebih banyak," ujar Amira mantap.
"Jadi kamu nggak mau?" Renata mengangkat alis.
"Ini pemborosan, Bu. Dua ratus juta kalau dibuatkan kosan, bisa dapat empat atau lima pintu. Kali sewa tujuh ratus ribu, bisa dapat tiga setengah juta per bulan. Jadi aku cuma perlu kerja setengah hari, nggak usah sampai dua belas jam!" jelas Amira penuh perhitungan.
Renata terkekeh kecil. "Sudah, ambil saja. Di kalangan orang kaya, gengsi itu penting. Kamu tidak akan bisa masuk acara tertentu kalau tasmu murah."
"Hahaha... Aku akan jadi orang kaya dan berkuasa. Tapi kalau aku kaya, aku tidak akan membiarkan diri ditindas hanya karena tasku murah!" jawab Amira sambil tertawa.
Akhirnya Renata memutuskan, "Ya sudah, Ibu ambil yang ini saja, buat Ibu."
Renata memilih sebuah tas seharga seratus juta rupiah.
Sementara itu, Bianka dan Andika baru saja menyelesaikan transaksi pembelian tiga tas dengan total senilai satu miliar rupiah. Mereka masih berdiri di dekat kasir ketika tanpa sengaja, Andika melihat sosok yang sangat dikenalnya.
"Mah?"gumam Andika, ragu.
Renata berdiri tak jauh dari sana, di depan toko perhiasan, bersama Amira. Kedua wanita itu membawa beberapa kantong belanja, namun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan belanjaan Bianka yang mencolok.
"Andika!" Renata memanggil dengan suara dingin dan tajam.
Dengan wajah kaku, Andika dan Bianka menghampiri. Amira sekilas melirik belanjaan mereka, lalu memandang Bianka dengan tatapan yang sulit diartikan — antara geli, getir, dan muak.
"Kamu masih saja bersama wanita pembawa sial itu. Dan kamu pasti yang membelikan semua tas itu untuk dia, bukan?" ucap Renata, menunjuk belanjaan Bianka dengan ekspresi muak.
"Iya, Mah. Aku sudah bilang, aku mau mencari kebahagiaanku sendiri," jawab Andika tegas.
"Hahaha... begitulah kalau kamu bersama Bianka. Kamu selalu mengabaikan ibumu!" tawa getir Renata. "Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali kamu membelikan hadiah untuk mamah? Kapan kamu belikan tas mewah untuk mamah, hah? Lihat itu!" Ia menunjuk belanjaan Bianka. "Tas-tas itu pasti habis lebih dari satu miliar, bukan? Sedangkan aku, ibu yang melahirkanmu, bahkan berpikir sepuluh kali lipat hanya untuk membeli tas seharga seratus juta!"
Andika menghela napas berat. "Selama ini, Mamah nggak pernah bilang mau dibelikan tas."
"Jadi karena aku nggak bilang, kamu merasa tak perlu perhatian?!" suara Renata meninggi.
"Sudahlah, Mah. Kalau mau, Mamah pilih saja tas yang Mamah suka, nanti aku bayar," ujar Andika, mencoba menahan emosinya.
"Aku nggak mau," tegas Renata. "Aku tidak mau menyusahkan kamu. Buat apa beli banyak-banyak, fungsinya sama saja!"
"Terus, apa maunya Mamah?" tanya Andika dengan nada mulai jengkel.
"Tinggalkan dia!" Renata menunjuk Bianka dengan tajam. "Ingat, kamu sekarang sudah punya istri!"
"Mamah menikahkan aku dengan Amira hanya karena warisan," balas Andika. "Sedangkan aku memilih Bianka karena cinta. Aku tidak peduli warisan, Mah. Aku hanya ingin bersama Bianka! Silakan, adukan saja ke Oma Viona. Aku tidak peduli lagi dengan warisan itu!"
"Dika!" bentak Renata keras. "Sekarang kamu pilih, Mamah atau wanita sialan itu?!"
Andika menatap ibunya dengan mata merah menahan emosi. Suaranya bergetar saat ia berbicara.
"Mah... aku capek. Dari kecil aku diatur-atur terus sama Mamah. Saat yang lain asyik balapan, Mamah paksa aku belajar bisnis. Saat teman-teman lain menikmati masa remajanya, aku dipaksa memimpin perusahaan. Hidupku selalu Mamahlah yang atur. Aku lelah, Mah! Aku sudah besar. Aku ingin memilih kebahagiaanku sendiri."
Jantung Renata berdegup kencang. Ia tidak menyangka Andika akan berkata seperti itu di hadapannya — di depan umum, pula.
Andika, pikirnya dalam hati, sama sekali tidak memahami betapa kerasnya dunia tempat mereka hidup. Renata membesarkan Andika dengan keras bukan tanpa alasan. Sejak Pratama — suaminya — meninggal dunia, ia berjuang sendirian untuk membentengi Andika dari lingkungan para pewaris yang licik dan serakah. Ia ingin Andika kuat, bukan sekadar pewaris lemah yang akan dilumat oleh dunia bisnis yang kejam.
“Baiklah, kalau itu yang kamu pilih,” ucap Renata dengan nada penuh amarah. “Catat baik-baik perkataan Mamah, Dika. Wanita sialan ini hanya akan menjadi sumber bencana bagi kamu. Dia akan meninggalkan kamu saat kamu tidak punya uang. Nyawa Mamah taruhannya!”
Andika terdiam, wajahnya tampak bingung dan kecewa. Namun, ia berusaha tenang.
“Mah… aku hanya memilih kebahagiaanku, Mah. Aku juga tetap akan berbakti pada Mamah,” jawab Andika pelan, suaranya menggantung, namun penuh tekad.
Renata menatap Andika dengan mata yang penuh rasa sakit, seakan-akan berkata dalam hati, "Aku berjuang keras untukmu, Dika, tapi kau memilih jalan yang salah."
“Kamu pikir Mamah lemah?” tanya Renata, nada suaranya meninggi. “Aku tidak butuh bakti kamu, Dika. Aku hanya ingin kamu berpikir jauh ke depan. Hidup itu tidak hanya soal cinta. Tanpa uang, tanpa kekuatan, kamu akan dihancurkan oleh dunia yang kejam ini. Kamu akan merasakannya, kalau kamu terus begini.”
Andika merasa hatinya teriris. Ia tahu ibunya sangat peduli padanya, tetapi dalam hatinya ada keyakinan bahwa memilih kebahagiaan dan cinta sejati bukanlah hal yang salah.
“Mah, aku tahu dunia ini keras. Tapi aku juga tahu, hidup tanpa cinta itu kosong. Aku tidak ingin hidup hanya mengejar kekayaan atau status. Aku ingin hidup dengan orang yang aku cintai, yang menerima aku apa adanya,” ucap Andika, matanya mulai berkaca-kaca.
Renata menggigit bibirnya, perasaan campur aduk. Ia ingin melindungi anaknya, tetapi ia juga tahu bahwa Andika sudah dewasa dan punya pilihannya sendiri. Meski begitu, ia merasa hancur melihat Andika memilih jalan yang penuh ketidakpastian.
“Baiklah, Dika. Jika itu pilihanmu, Mamah hanya bisa berharap kamu bisa bertanggung jawab atas pilihanmu. Tapi ingat, hidup ini tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Semua ada harganya,” kata Renata dengan suara lebih tenang, meski tetap penuh kepedihan. “Jangan sampai kamu menyesal nanti.”
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus