Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 19
“Aku lelah, Ma!”
Wira menjatuhkan tubuhnya di sofa, setelah mengantar Nola ke dokter. Terpaksa dia merelakan putrinya kembali bersama Stevi, setelah perempuan itu mengancam akan ikut menginap di tempat mamanya kalau dia nekat membawa Nola tinggal di rumah sang mama.
Mama Wira yang ikut di duduk di seberang putranya hanya bisa menghela napas kasar. Tidak bisa berbuat banyak. Semua keputusan ada di tangan Wira.
“Bertahanlah demi Nola dan Naina. Bukankah kamu menikahi Stevi demi kedua orang ini.” Mama Wira akhirnya membuka suara
“Iya ....”
Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, mengecek kondisi Naina yang ditinggalkannya di rumah hanya berdua dengan Mbok Sumi. Tampak istrinya sudah terlelap dengan memeluk guling.
“Aku berharap Nola bukan putriku,” cicit Wira pelan. Entah dari mana punya pemikiran gila seperti itu. Wira sebenarnya hampir putus asa dengan kehidupannya saat ini. Hidup dalam situasi seperti ini membuat laki-laki itu tidak nyaman.
Plakk!!
Tiba-tiba pukulan kencang mendarat di pundak Wira. Mama Wira yang entah sejak kapan, sudah berpindah. Berdiri di hadapan putranya dengan bertolak pinggang.
“Jangan berkata seperti itu. Kamu boleh tidak percaya saat melihat hasil tes DNA yang disodorkan Stevi saat hamil, tetapi bukankah saat Stevi melahirkan, kamu melakukan tes DNA ulang. Dan hasilnya sama, kan?” Mama Wira mengingatkan.
Laki-laki itu terkulai lemas, menatap mamanya sebelum akhirnya menjatuhkan lagi pandangannya pada Naina yang tertidur pulas di layar ponsel.
Bibir itu tersungging. Tersenyum kecut menangisi nasibnya yang benar-benar buruk, menertawai takdir yang tidak berpihak padanya. Terkadang ingin berterus terang pada Naina, tetapi bibirnya terkatup rapat, tidak memiliki tenaga untuk menyuarakan jerit hatinya.
Wira belum siap berpisah dari Naina. Tidak siap kalau harus bercerai dari istri yang dicintainya dengan segenap hati.
“Kamu menikahi Stevi demi Naina tidak terluka dan menyelamatkan Nola secara bersamaan. Jalani saja dulu, sampai Tuhan memberi jalan untukmu. Ini mungkin yang terbaik. Berdoa saja, saat itu tiba, Naina bisa melembut dan terketuk pintu hatinya untuk mengerti perasaan dan bebanmu,” ucap Mama Wira.
“Sampai kapan Ma. Aku tiap hari hidup dalam ketakutan akan kehilangan istriku setiap saat. Aku seperti sedang menunggu hukuman mati saja,” ucap Wira, memijat pelipisnya.
Wanita tua itu kembali duduk di samping putranya. “Maafkan mama. Kalau bisa, mama juga tidak mau ada Stevi di dalam keluarga kita.”
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Stevi bahkan tidak bisa diajak kompromi. Bukankah kamu sudah menawarkan banyak hal untuknya dan tidak ada satu pun yang disetujui perempuan itu selain pernikahan.”
Wira menghela nafasnya. “Ma, aku pamit dulu. Aku titip Nola. Aku tidak bisa menemui anak itu terus menerus. Aku tidak mau Naina curiga padaku, karena sering keluar setiap malam. Kalau ada masalah dengan Nola, kabari aku secepatnya, Ma.”
“Pulang cepat sana! Kasihan Naina sendirian, apalagi dia baru saja keguguran. Butuh dukungan darimu. Doaku untuk kalian bisa secepatnya mendapatkan momongan. Paling tidak, Naina akan berpikir dua kali sebelum memutuskan meninggalkanmu, Wir.”
***
Keesokan harinya.
Pagi itu Naina terbangun lebih dulu. Senyum terurai di bibirnya saat melihat Wira yang berbaring telungkup di sampingnya. Entah jam berapa suaminya pulang semalam, dia terlalu lelah dan mengantuk sehingga tidak menyadarinya.
Perlahan, Naina memindahkan perlahan lengan Wira yang melintang di area perutnya. Tidak mau pergerakan kecilnya akan membangunkan tidur lelap suaminya.
“Nai, kamu sudah bangun?” tanya Wira, tiba-tiba lelaki itu bereaksi.
“Maaf Mas, Nai sudah membangunkan Mas.” Naina menghentikan pergerakannya, tidak jadi bangkit dari tidurnya.
“Hmmmm.” Mata lelaki itu masih terpejam, tetapi kedua tangannya sudah meraih tubuh Naina dan mendekapnya erat. Menggulingkan istrinya ke atas tempat tidur, menindihnya dengan posesif.
“Ahhhh!!” pekik Naina terkejut.
Tarikan napas panjang kemudian menghembuskannya. Kedua sudut bibir lelaki tampan itu tertarik ke atas.
“Maaf, Mas pulang terlambat semalam,” ucap Wira. Membenamkan wajah di ceruk leher istrinya.
“Mas pulang jam berapa?” tanya Naina, menatap lekat manik mata biru suaminya. Lelaki itu sedang berada di atas tubuhnya.
“Jam satu mungkin. Mas tidak terlalu memperhatikan.”
“Mas mau dibuatkan sarapan apa pagi ini?” tanya Naina lagi. Tersenyum geli saat Wira mengesekan ujung hidung di seluruh wajahnya.
“Mas mau kamu saja. Tidak mau sarapan yang lain,” sahut Wira sembari mengecup kening istrinya.
Tangan terkepal Naina memukul pelan pundak Wira, tersenyum malu-malu mendengar jawaban Wira yang menggodanya. Pipinya bersemu merah, sembari menggigit bibir mengulum senyuman.
“Mas ...” Manja terdengar Naina memanggil.
“Ya Sayang.”
“Nai sangat mencintaimu, Mas,” ucapnya malu-malu.
“Oh ya? Mas apalagi Nai. Tergila-gila padamu.” Lelaki itu sudah mengirim gombalan di pagi buta.
“Pagi ini, Nai mau ke butik. Setelah itu, kita makan siang bersama. Bagaimana, Mas?” tawar Naina.
“Boleh. Mau makan di kantor atau makan di luar?” tanya Wira.
Terlihat Naina berpikir, menghitung jadwal pekerjaannya hari ini. “Mas mau makan siang dengan masakan Nai atau makan di luar?”
“Apa saja, Sayang. Semuanya terserah Nai. Mas menurut.” Laki-laki itu kembali menghadiahkan kecupan di kedua pipi Naina.
“Nai masak makanan kesukaan Mas, nanti kita makan di kantor Mas saja. Bagaimana?”
“Apapun itu, asal bersama Nainaku,” sahut Wira, tersenyum.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.