 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Aisy menatap sosok Kenny yang berdiri di hadapannya dengan kemeja biru muda yang kini tampak sedikit berdebu karena angin sore. Tatapan pria itu tulus, bukan sekadar rasa kasihan, tapi seperti seseorang yang benar-benar ingin melindungi tanpa pamrih.
“Aku… cuma capek, Pak,” ucap Aisy lirih. “Setiap kali aku mau maju, rasanya selalu ada tembok yang nggak kelihatan tapi menghadang.”
Kenny mengangguk pelan. “Aku ngerti. Tapi tembok itu bukan untuk menjauhkan kamu dari tujuan, Ais… kadang cuma Tuhan lagi ngajarin cara yang berbeda buat sampai ke sana.”
Aisy terdiam. Kata-katanya menenangkan, tapi sekaligus membuat hatinya nyeri. Ia menatap langit yang mulai jingga, seolah berharap bisa menitipkan seluruh beban itu di sana.
“Kalau kamu nggak keberatan…” ucap Kenny perlahan, “aku bisa bantu kamu cari pengacara lain. Aku kenal seseorang yang bisa dipercaya, nggak akan mudah diintervensi.”
Aisy menatap pria itu dengan mata membulat. “Pak Kenny… aku nggak mau merepotkan,” ucapnya cepat, menunduk.
Kenny tersenyum kecil. “Kamu nggak merepotkan, Ais. Aku cuma… nggak mau lihat kamu berjuang sendirian terus.”
Hening beberapa detik. Angin sore mengelus jilbab abu mudanya yang sedikit tergerai ke pipi. Ada sesuatu yang bergetar di dada Aisy bukan karena jatuh cinta, tapi karena rasa aman yang lama tak ia rasakan.
“Terima kasih, Pak Kenny,” ucapnya tulus. “Tapi biar kali ini aku coba dulu sendiri. Kalau memang mentok, baru aku minta bantuan, ya?”
Kenny menatapnya, lalu tersenyum hangat. “Baik. Aku tunggu di titik itu.”
Mereka berjalan pelan ke arah mobil. Tak banyak bicara, hanya sunyi yang terasa hangat. Hingga akhirnya mobil berhenti di depan kontrakan kecil Aisy. Ia membuka pintu, lalu berpaling sebentar sebelum turun.
“Pak Kenny…” panggilnya.
“Ya?”
“Doain aku ya, biar kali ini aku bisa benar-benar lepas,” katanya dengan suara pelan tapi mantap.
Kenny mengangguk. “Bukan cuma doa, Ais. Aku yakin kamu bisa.”
Aisy tersenyum tipis, lalu menunduk dalam. Ia berjalan masuk ke kontrakan, dan begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung bersandar di balik daun pintu. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih lebih kepada rasa haru, karena kali ini, ada seseorang yang percaya padanya tanpa syarat.
☘️☘️☘️☘️
Malam itu, Aisy duduk di depan meja kecilnya. Laptop terbuka, dan di sana ia mulai mencari referensi pengacara-pengacara independen yang bisa menangani kasus pribadi. Jemarinya sempat berhenti di satu nama Maya S. Prasetyo, S.H., spesialis hukum keluarga.
Aisy menarik napas panjang.
“Mungkin ini jalannya,” gumamnya, sebelum akhirnya mengirimkan email singkat, berisi permohonan konsultasi.
Setelah menekan tombol “kirim”, Aisy menatap layar kosong beberapa saat, lalu menutup laptopnya perlahan. Ia menatap foto dirinya dan Reyhan di masa lalu foto yang belum sempat ia buang. Kali ini, Aisy tersenyum kecil, bukan karena rindu, tapi karena siap mengucap selamat tinggal.
“Selamat tinggal, masa lalu…”
Di luar, angin malam kembali berhembus.
Dan untuk pertama kalinya, Aisy benar-benar merasa ringan.
☘️☘️☘️☘️
Keesokan paginya, notifikasi email membuat Aisy terjaga lebih awal.
Matanya menatap layar ponsel
"Selamat pagi, Ibu Aisy. Saya menerima permintaan konsultasi Anda. Kita bisa bertemu hari Kamis jam 10 pagi di kantor saya. Salam hangat, Maya S. Prasetyo."
☘️☘️☘️☘️☘️
Hari pertemuan itu akhirnya tiba. Aisy duduk di ruang tunggu kantor hukum Maya S. Prasetyo & Partners. Aroma kopi dan kayu cendana bercampur lembut di udara. Ia tampak anggun dalam balutan blazer krem dan hijab sederhana, tapi wajahnya menyimpan gugup yang tak bisa disembunyikan.
“Silakan masuk, Ibu Aisy,” sapa seorang resepsionis ramah.
Di dalam ruangan, Maya menyambut dengan senyum profesional. Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun, berwibawa, dengan sorot mata yang tegas tapi lembut.
Mereka berbicara lama, Aisy menceritakan semua—tentang rumah tangganya, tekanan, hingga upayanya untuk bebas dari Reyhan yang terus menghalangi proses cerai.
Maya menatapnya penuh empati. “Saya paham, Bu Aisy. Tapi kalau suami Anda menolak, maka kita harus siap menghadapi sidang panjang. Saya ingin jujur... ini akan sulit, apalagi jika pihak lawan memiliki pengaruh besar.”
Aisy menunduk. “Saya sudah siap, Bu. Saya cuma ingin tenang.”
Maya mengangguk, lalu menjabat tangannya dengan hangat. “Baik. Kita mulai dari sini.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Hari pertemuan itu akhirnya tiba. Aisy duduk di ruang tunggu kantor hukum Maya S. Prasetyo & Partners. Aroma kopi dan kayu cendana bercampur lembut di udara. Ia tampak anggun dalam balutan blazer krem dan hijab sederhana, tapi wajahnya menyimpan gugup yang tak bisa disembunyikan.
“Silakan masuk, Ibu Aisy,” sapa seorang resepsionis ramah.
Di dalam ruangan, Maya menyambut dengan senyum profesional. Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun, berwibawa, dengan sorot mata yang tegas tapi lembut.
Mereka berbicara lama, Aisy menceritakan semua tentang rumah tangganya, tekanan, hingga upayanya untuk bebas dari Reyhan yang terus menghalangi proses cerai.
Maya menatapnya penuh empati. “Saya paham, Bu Aisy. Tapi kalau suami Anda menolak, maka kita harus siap menghadapi sidang panjang. Saya ingin jujur... ini akan sulit, apalagi jika pihak lawan memiliki pengaruh besar.”
Aisy menunduk. “Saya sudah siap, Bu. Saya cuma ingin tenang.”
Maya mengangguk, lalu menjabat tangannya dengan hangat. “Baik. Kita mulai dari sini.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Beberapa hari kemudian, berkas gugatan resmi sudah diajukan ke pengadilan agama. Surat panggilan pun dikirimkan ke alamat Reyhan.
Sore itu, di rumah mewah berwarna putih gading, Reyhan duduk di ruang keluarga. Di pelukannya, bayi mungilnya tertidur pulas, sementara istrinya yang baru, Nanda, sedang menyiapkan susu hangat di dapur.
Senja merambat lembut di balik tirai, dan suasana tampak tenang sampai suara bel pintu terdengar.
“Pak Reyhan, ini surat dari pengadilan agama,” ucap seorang kurir sopan sambil menyerahkan amplop cokelat besar.
Reyhan menerima dengan kening berkerut. “Dari pengadilan?” gumamnya pelan. Ia membuka perlahan, matanya langsung menajam begitu membaca kop surat dan isi di dalamnya.
Gugatan Cerai Penggugat. Raudhatul Aisy Siyfa, Tergugat. Reyhan Firmansyah.
Tangannya menegang, kertas itu hampir kusut di genggamannya. Wajahnya yang tadi lembut menatap bayi, kini berubah dingin dan keras.
Sinta yang baru datang dari dapur memandang heran. “Ada apa, Mas?”
Reyhan menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar senyum yang lebih mirip garis tipis dari kemarahan yang ditahan.
“Cuma surat kecil... dari masa lalu yang belum tahu diri,” ucapnya datar, lalu menaruh bayi ke boks dengan hati-hati.
Ia melangkah ke arah jendela besar, menatap langit sore yang memerah. Suara jam di dinding berdetak pelan, tapi dalam dadanya, sesuatu mulai berdentum keras.
“Dia benar-benar berani menantang aku,” desisnya lirih, nyaris seperti geraman. “Setelah semua yang aku berikan…”
Sinta mendekat, mencoba menenangkan. “Mungkin Aisy cuma belum bisa menerima semuanya, Mas. Nggak usah diambil hati.”
Reyhan menoleh perlahan. Tatapannya tajam. “Ini bukan soal hati, Sin. Ini soal harga diri. Aku nggak akan biarkan dia menang.”
Ia berjalan menuju meja kerja di ruang sebelah, mengambil telepon genggamnya, dan menekan nomor seseorang.
“Raka, siapkan tim hukum. Aku mau hadapi kasus ini secepatnya.”
“Baik, Pak Reyhan. Kami atur jadwalnya.”
Setelah menutup telepon, Reyhan menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Bayangan itu tampak dingin, ambisius, nyaris tak manusiawi.
“Kalau dia pikir bisa bebas dengan gampang… dia salah besar.”
Ia kembali menatap bayi yang terlelap di boksnya. Ada senyum samar di wajahnya—bukan senyum kebapakan, tapi senyum kepemilikan.
“Lihat, Nak…” ucapnya pelan. “Papa nggak akan biarkan siapa pun meninggalkan Papa sesuka hati.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di kontrakan kecilnya, Aisy tengah menunaikan salat isya. Seusai berdoa, ia memejamkan mata, berbisik pelan,
“Ya Allah, kuatkan aku... karena aku tahu, setelah surat itu sampai, badai pasti datang.”
Aisy termenung seolah tahu tidak segampang itu keluar dari jeratan Reyhan begitu saja.
Bersambung ....
 
                     
                     
                    