Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 : HANTU DI KORIDOR
Jakarta menyambut dengan udara yang lembap dan bising, sangat kontras dengan ketenangan Zurich yang dingin. Namun, bagi Aluna, aroma polusi dan aspal panas ini justru memicu adrenalinnya. Di dalam mobil sedan mewah berwarna hitam legam dengan kaca antipeluru, Luna menatap gedung SMA Pelita Bangsa yang menjulang di kejauhan.
"Ingat," suara Xavier terdengar rendah di sampingnya. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan earpiece yang terpasang rapi. Tidak ada lagi kacamata tebal. Xavier kini tampil sebagai kepala keamanan sekaligus asisten pribadi Luna. "Hari ini statusmu adalah Perwakilan Khusus Seraphine Global. Kamu datang untuk melakukan audit operasional. Jangan biarkan emosimu terpancing saat melihat wajah-wajah itu."
Luna menarik napas panjang. Ia mengenakan kacamata hitam desainer dan blazer formal yang sangat elegan. "Aku tidak akan terpancing, Xavier. Aku datang ke sini untuk melihat sejauh mana pembusukan yang terjadi di tempat ini."
Mobil itu memasuki gerbang sekolah. Satpam yang biasanya membentak Luna saat ia terlambat, kini membungkuk hormat hingga punggungnya hampir sejajar dengan tanah. Mereka mengira yang datang adalah investor besar dari luar negeri.
Di koridor sekolah, suasana sedang gempar. Kepala Sekolah dan jajaran guru berbaris rapi di lobi, tampak berkeringat dingin. Kabar bahwa Seraphine Global pemilik lahan dan donatur utama yayasan akan melakukan audit mendadak telah membuat mereka panik.
"Mana perwakilan itu? Apakah dia sudah sampai?" tanya Pak Danu dengan suara gemetar.
Tiba-tiba, mobil hitam itu berhenti tepat di depan lobi. Pintu terbuka, dan Xavier turun terlebih dahulu, memberikan jalan bagi Luna. Saat Luna melangkah keluar, seluruh koridor mendadak hening.
Sepatu hak tinggi Luna berbunyi tuk... tuk... tuk... di atas lantai marmer, suara yang dulu selalu ia coba sembunyikan karena sepatunya yang berlubang. Sekarang, suara itu terdengar seperti lonceng kematian bagi siapa pun yang memiliki rahasia kotor di sekolah ini.
Luna tidak melepas kacamata hitamnya. Ia berjalan melewati barisan guru tanpa menoleh, langsung menuju ruang rapat utama.
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu," ucap Luna dalam bahasa Indonesia yang sangat formal, namun dengan nada yang dingin dan asing. "Saya di sini untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikucurkan oleh yayasan digunakan dengan benar. Saya dengar... belakangan ini banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan perundungan yang dibiarkan oleh pihak sekolah."
Kepala Sekolah menelan ludah. "Nona... maaf, kami selalu menjaga kedisiplinan..."
"Kedisiplinan?" Luna memotong pembicaraan itu, meletakkan tablet transparannya di atas meja dengan suara dentuman kecil yang tegas. "Data saya menunjukkan bahwa satu bulan lalu, seorang siswi berprestasi bernama Aluna Seraphine dikeluarkan secara paksa berdasarkan fitnah dari seorang donatur bernama keluarga Dirgantara. Apakah itu yang Anda sebut kedisiplinan?"
Ruangan itu mendadak sunyi senyap. Para guru saling pandang dengan wajah pucat.
Di saat yang sama, di kantin sekolah, Maya dan pengikutnya sedang berkumpul. Mereka tampak gelisah. Reihan tidak terlihat hari ini, dikabarkan ia sedang dalam perjalanan kembali dari "urusan luar negeri" (yang sebenarnya adalah pelariannya ke Zurich yang gagal).
"Kalian lihat nggak cewek yang baru datang tadi?" bisik Maya. "Gayanya sombong banget. Katanya dia bos dari yayasan."
"Iya, tapi kok postur tubuhnya... mengingatkan gue sama seseorang ya?" sahut Kevin yang sejak tadi sibuk meretas jaringan WiFi sekolah untuk mencari tahu identitas tamu misterius itu. "Tapi nggak mungkin. Dia terlalu berkelas."
Tiba-tiba, pintu kantin terbuka. Luna berjalan masuk didampingi oleh Xavier dan dua orang staf audit lainnya. Luna sengaja ingin melewati tempat ini tempat di mana ia dulu disiram air kotor dan tepung.
Luna berhenti tepat di depan meja Maya. Ia melepas kacamata hitamnya perlahan, namun ia mengenakan riasan yang sangat berbeda sehingga Maya tidak langsung mengenalinya sebagai "Luna si Cupu". Luna terlihat seperti versi dewi dari dirinya sendiri.
"Meja ini..." Luna menyentuh permukaan meja kantin dengan ujung jarinya yang mengenakan cincin berlian. "Terlihat sangat kotor. Sama seperti moral orang-orang yang duduk di sini."
Maya berdiri, merasa tersinggung. "Maaf, Anda siapa ya? Datang-datang menghina kami?"
Luna menatap Maya langsung ke mata. Tatapan itu begitu tajam hingga Maya merasa dadanya sesak. Ada sesuatu yang sangat familiar di mata itu, sesuatu yang memicu ketakutan primitif di hati Maya.
"Aku adalah orang yang akan memastikan beasiswamu dicabut besok pagi, Maya Sanjaya," ucap Luna tanpa ekspresi. "Mengingat catatan perundunganmu yang sangat panjang, yayasan memutuskan untuk tidak lagi mendanai siswi dengan kualitas karakter seperti sampah."
"Lo... lo pikir lo siapa?!" teriak Maya, suaranya melengking karena panik.
"Xavier," panggil Luna tanpa menoleh.
Xavier maju satu langkah, tubuhnya yang tegap mengintimidasi seluruh orang di kantin. "Harap jaga nada bicara Anda pada perwakilan yayasan. Jika tidak, pengamanan sekolah akan menyeret Anda keluar dari gedung ini sekarang juga."
Luna berbalik dan pergi, meninggalkan Maya yang gemetar hebat di tengah kantin yang kini dipenuhi bisikan-bisikan jahat dari murid lain yang mulai berbalik menyerang Maya.
Sore harinya, Luna berdiri di ruang kelas XI-A yang kosong. Ia berjalan menuju bangkunya yang dulu di pojok belakang. Di sana, coretan "PELACUR PELABUHAN" masih samar-samar terlihat meski sudah coba dihapus.
Luna mengelus bekas coretan itu.
"Dua hari lagi, Xavier," bisik Luna.
"Ya, Nona. Dua hari lagi adalah acara peringatan hari jadi sekolah. Madam akan memberikan pengumuman resmi melalui video satelit, dan Anda akan berdiri di podium itu sebagai pewaris tunggal," Xavier mengingatkan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari pintu kelas. Reihan berdiri di sana. Ia baru saja sampai dari bandara, wajahnya masih kuyu, namun matanya berkilat saat melihat Luna dari belakang.
"Gue tahu itu lo!" teriak Reihan. "Lo pikir dengan baju mahal dan pengawal itu lo bisa tipu semua orang? Gue udah ketemu Valerie di Zurich! Gue tahu lo cuma anak haram yang dipungut Madam!"
Luna berbalik perlahan. Ia tidak tampak terkejut. Ia justru tersenyum, senyum yang membuat Reihan mundur selangkah.
"Reihan," panggil Luna. "Selamat datang kembali. Aku harap perjalanmu ke Zurich menyenangkan. Bagaimana rasanya melihat rumah megah yang tidak akan pernah bisa kamu miliki?"
"Lo... lo emang Luna!" Reihan menunjuk-nunjuk dengan tangan gemetar. "Gue bakal bilang ke semua orang! Gue bakal bongkar kalau perwakilan yayasan ini adalah si cupu yang dulu gue siksa!"
"Silakan, Reihan," jawab Luna sambil berjalan mendekatinya. "Katakan pada mereka. Tapi tanyalah pada dirimu sendiri... siapa yang akan percaya pada putra dari seorang koruptor yang sedang bangkrut, dibandingkan dengan perwakilan resmi Seraphine Global?"
Luna berhenti tepat di depan Reihan. Ia berbisik, "Nikmati dua hari terakhirmu, Reihan. Karena di acara peringatan sekolah nanti, aku bukan hanya akan membongkar siapa aku... tapi aku akan menunjukkan pada dunia video asli di gudang pelabuhan yang selama ini kamu sembunyikan."
Wajah Reihan berubah menjadi putih kertas. "Video itu... udah gue hapus!"
"Kamu lupa ya?" Luna melirik ke arah Xavier yang sedang memegang tablet. "Xavier bukan hanya jago beladiri. Dia adalah mimpi buruk bagi sistem keamananmu. Kami punya segalanya, Reihan. Setiap tetes air mata yang aku keluarkan dulu, akan aku ganti dengan setiap tetes darah dari reputasimu."
Luna berjalan melewati Reihan, bahunya sengaja menabrak bahu Reihan hingga pemuda itu terhuyung. Saat Luna sudah sampai di ambang pintu, ia menoleh sedikit.
"Oh, satu lagi. Berhentilah memakai parfum itu. Bau 'kekalahan' tetap tercium meski kamu mencoba menutupinya."
Di sebuah hotel mewah, Valerie Seraphine baru saja mendarat di Jakarta. Ia membanting laporan detektifnya ke meja.
"Jadi dia sudah ada di sekolah itu? Berani sekali!" geram Valerie. "Dia pikir dia bisa merebut takhtaku dengan bermain sandiwara sebagai auditor?"
Valerie mengambil ponselnya dan menelepon seseorang di kepolisian. "Halo? Saya ingin melaporkan adanya penggunaan identitas palsu dan penipuan yang dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang menyamar sebagai perwakilan Seraphine Global. Tangkap dia tepat saat acara peringatan sekolah dimulai."
Valerie tersenyum licik. "Ayo kita liat, Aluna. Siapa yang akan memakai borgol di hari kemenanganmu nanti."