Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: H-1 Menuju "Pesta Balas Dendam"
"Bawang putihnya mana lagi? Tadi sudah dikupas dua kilo, kok cepat sekali habisnya?"
Maya mengelap keringat yang menetes di pelipisnya dengan punggung tangan. Dapur warungnya kini tak lagi sunyi. Suasana terasa sangat sibuk, mirip bengkel mobil yang sedang mengejar setoran.
Di pojok ruangan, dua orang pria berseragam logistik rapi dari Dirgantara Utama Group sedang memindahkan kotak-kotak pendingin berisi daging sapi segar. Arlan benar-benar tidak main-main dengan ucapannya. Dia tidak hanya meminjamkan tim, tapi juga memastikan gudang logistik perusahaannya bisa diakses Maya kapan saja.
"Ini, Mbak Maya. Sudah bersih semua, tinggal dihaluskan," sahut seorang pemuda berseragam biru, asisten yang dikirim Arlan.
"Makasih ya, Mas. Tolong sekalian cek stok santan di kotak nomor tiga. Kita butuh yang paling kental buat daging rempah jatinya," sahut Maya cepat. Tangannya masih lincah mengaduk bumbu di dalam wajan raksasa.
"Maya, ini bumbunya sudah harum sekali. Ibu sampai bersin-bersin di depan," Ibu Sum muncul dari pintu tengah, memegang semangkok acar yang sudah jadi. Beliau tampak jauh lebih segar, mungkin karena melihat warungnya kini penuh dengan orang-orang yang bekerja dengan profesional, bukan lagi preman penagih utang.
"Ibu istirahat saja di dalam. Biar Maya dan timnya Arlan yang handel di sini. H-1 ini puncaknya, Bu. Besok kita harus bawa piring-piring ini dengan sempurna ke Hotel Cipta Pesona," kata Maya sambil tersenyum yakin.
Tiba-tiba, ponsel Maya yang diletakkan di atas meja racik bergetar hebat. Nama di layarnya tidak muncul, hanya nomor asing yang sudah sangat dia hafal diluar kepala. Maya menghela napas, meletakkan sodetnya sebentar, dan menjauh ke sudut dapur yang agak sepi.
"Mau apa lagi, Dit?" tanya Maya dingin begitu sambungan terangkat.
Suara isakan terdengar di ujung sana. Bukan suara pria gagah yang dulu memutuskannya, tapi suara pria yang hancur. "May... aku nggak bisa. Aku mau lari saja rasanya. Besok itu harusnya jadi hari paling bahagia, tapi aku merasa kayak mau masuk penjara."
Maya memutar bola matanya. "Kamu serius nangis? Cengeng amat. Bukannya besok kamu nikah sama 'kesegaran' yang kamu bangga-banggakan itu? Kenapa malah nangis ke aku?"
"Siska gila, May! Dia bener-bener gila. Tadi dia maki-maki aku cuma gara-gara sepatu pengantin yang aku pilih warnanya kurang pas sama gaun dia. Dia bilang aku ini beban, aku ini cuma sampah yang dipungut dari kantor. Aku kangen kamu, May. Kangen mi instan kita, kangen warung ibu..."
"Cukup, Dit," potong Maya tajam. Suaranya rendah tapi penuh penekanan. "Kamu yang pilih buat makan steak mewah tapi beracun itu, jadi jangan mengeluh kalau sekarang perutmu melilit. Jangan pernah telepon aku lagi cuma buat curhat sampah. Aku sibuk nyiapin katering buat pesta pernikahanmu yang 'megah' itu."
"May, tolong..."
"Selamat menempuh hidup baru, Adit. Semoga kamu betah di neraka yang kamu bangun sendiri."
Klik.
Maya mematikan telepon itu tanpa perasaan. Dia menghapus log panggilannya dan kembali ke wajan. Hatinya tidak bergetar sedikit pun. Penyesalan Adit baginya hanyalah bumbu pelengkap yang membuat masakan balas dendamnya terasa lebih nikmat.
"Kenapa? Si pengantin pria minta tambahan menu?"
Suara berat Arlan membuat Maya tersentak. Pria itu berdiri di pintu belakang dapur, masih mengenakan setelan kantor tapi tanpa jas. Dia menatap Maya dengan tatapan menyelidik.
"Bukan. Cuma ada orang tersesat yang salah sambung," jawab Maya santai.
Arlan berjalan mendekat, memperhatikan kuali besar di depan Maya. "Tim saya sudah selesai mendata semua bahan. Logistik aman. Saya juga sudah minta orang untuk stand-by di hotel besok pagi buat bantu kamu loading barang."
"Makasih, Arlan. Kamu bener-bener penyelamat. Tanpa tim kamu, mungkin aku sudah pingsan di atas tumpukan bawang ini," Maya menatap Arlan tulus.
"Saya sudah bilang, ini investasi. Saya ingin lihat pertunjukan besok berjalan lancar tanpa ada kendala teknis," Arlan bersedekap, matanya menatap tajam ke arah jendela dapur yang menghadap ke jalanan. "Termasuk gangguan dari pihak luar."
"Maksud kamu Siska?"
"Dia tidak akan tinggal diam, Maya. Orang seperti dia lebih memilih menghancurkan miliknya sendiri daripada melihat orang lain menang."
Malam semakin larut di Desa Sukaasih. Suara jangkrik bersahutan dengan bunyi gesekan pisau di dapur Maya. Saat semua tim logistik sedang beristirahat sebentar di teras samping, sebuah mobil tangki air berlogo Sumber Air Murni berhenti di depan warung.
"Permisi! Pengantaran air bersih untuk katering Warung Bu Sum!" teriak sopirnya dari luar pagar.
Maya yang sedang mencuci panci di wastafel belakang mengerutkan kening. "Air bersih? Aku nggak pesen air tambahan hari ini. Stok sumur kita masih penuh."
Sebelum Maya sempat keluar, dua pria berbadan tegap yang mengenakan seragam safari hitam—orang-orang kiriman Arlan—sudah lebih dulu mencegat truk tersebut di depan pagar.
"Mau ke mana, Mas?" tanya salah satu penjaga dengan suara berat.
"Ini air pesanan Mbak Maya. Katanya air sumurnya mati, jadi butuh suplai darurat," sahut sopir itu, wajahnya tampak gelisah di bawah sinar lampu jalan.
"Mbak Maya nggak pesen air. Dan air sumur di sini lancar jaya. Bawa pergi truk kamu sebelum saya cek isinya," gertak si penjaga.
Sopir itu tampak panik. Dia mencoba menghidupkan mesin truknya kembali dengan terburu-buru. Namun, Arlan yang turut berjaga di sana sudah lebih dulu melangkah keluar dari warung, berdiri di samping pagar dengan angkuh.
"Tunggu dulu," perintah Arlan. Dia menoleh ke arah penjaganya. "Ambil sedikit sampel airnya. Masukkan ke botol."
Si sopir makin pucat. "Duh, Pak. Saya cuma kurir. Saya nggak tahu apa-apa..."
"Kalau air ini bersih, kamu boleh pergi. Tapi kalau air ini ada baunya atau warnanya aneh, kamu harus ikut saya ke kantor polisi sekarang juga," Arlan menatap sopir itu dengan pandangan mematikan.
Tanpa menunggu lama, sopir itu langsung tancap gas, meninggalkan kepulan asap hitam dan hampir saja menabrak pagar warung. Dia melarikan truknya seolah-olah sedang dikejar hantu.
"Kenapa, Arlan?" Maya muncul di pintu depan, wajahnya penuh tanda tanya.
Arlan berbalik, menatap Maya dengan raut wajah serius. "Siska mencoba meracuni bumbu kateringmu lewat saluran air. Dia tahu, kalau kamu pakai air dari truk itu buat kuah atau cuci piring, aroma masakanmu bakal berubah atau bahkan bikin orang sakit perut."
Maya lemas, dia bersandar di tiang teras. "Gila... dia bener-bener mau ngebunuh usahaku tepat di detik-detik terakhir."
"Makanya saya pasang penjaga di sini dua puluh empat jam, Maya. Mulai malam ini sampai besok pagi saat barang dimuat, tidak ada satupun orang asing atau barang asing yang boleh masuk ke warung ini tanpa pemeriksaan saya," Arlan melangkah mendekati Maya, meletakkan tangannya di bahu perempuan itu. "Kamu hanya perlu fokus masak. Biarkan saya jadi dinding pelindungmu."
Maya menatap barisan penjaga yang kini berdiri tegak di depan warungnya. Dia juga menatap Arlan yang berdiri begitu kokoh di sampingnya. Rasa takut yang tadi sempat muncul kini berganti menjadi keberanian yang meluap.
"Makasih, Arlan. Besok... besok akan jadi hari yang sangat panjang," bisik Maya.
"Bukan cuma panjang, Maya. Besok akan jadi hari di mana sejarah baru warung ini ditulis, dan sejarah kelam Siska berakhir," sahut Arlan dingin.
Maya mengepalkan tangannya. Bukti transfer di dalam sakunya terasa seperti senjata yang siap meledak.
Dia kembali ke dapur dengan langkah mantap.
Di bawah pengawalan ketat orang-orang Arlan, Maya memasak dengan satu tekad: besok bukan cuma soal Nasi Rempah Jati yang lezat, tapi soal kebenaran yang harus tersaji di atas meja pesta.
Rasanya Maya sudah tidak sabar melihatnya ekspresi Siska.