Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 Tusuk sate
.....kata Gao lembut, dan kelembutan itu membuat bulu kuduk Han Qiu berdiri.
“Lihat dirimu. Sangat rapi. Sangat bersih. Celemekmu seputih salju pertama di musim dingin. Kukumu terpotong rapi tanpa sedikit pun kotoran.”
Han Qiu tidak menjawab, hanya menunduk lebih dalam.
“Kalian tahu,” Gao berbicara kepada yang lain, tetapi matanya tak lepas dari Han Qiu,
“kotoran itu jujur. Jelaga di tangan adalah bukti pengabdian pada api. Noda saus di celemek adalah medali dari pertempuran dengan rasa. Tapi kebersihan yang sempurna…” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya turun menjadi bisikan konspiratif yang bisa didengar semua orang.
“…itu adalah sebuah kebohongan.”
Han Qiu mengangkat kepalanya sedikit, terkejut. Taktik psikologis ini sungguh jenius sekaligus sinting. Di dunia di mana kebersihan adalah dewa, Gao justru menggunakannya sebagai senjata untuk menuduh.
“Kebersihan yang berlebihan,” lanjut Gao, kini suaranya kembali mengeras,
“adalah sebuah topeng. Sebuah cara untuk menyembunyikan jejak. Seseorang yang berusaha terlalu keras untuk terlihat bersih pastilah baru saja melakukan sesuatu yang sangat kotor.”
Pada saat itulah Han Qiu akhirnya mengerti. Ini bukan tentang sanitasi. Ini tidak pernah tentang kesehatan. Rezim kebersihan Chef Gao adalah sebuah alat kontrol pikiran. Dengan menciptakan standar kemurnian yang mustahil dicapai, ia membuat semua orang hidup dalam ketakutan konstan akan kesalahan.
Ia mengubah setiap noda menjadi dosa, setiap aroma menjadi pengkhianatan. Kebersihan adalah penjaranya, dan ia adalah sipirnya. Dengan menuduh Han Qiu terlalu bersih, ia sedang membalikkan logikanya sendiri, sebuah manuver brilian untuk membuatnya panik dan mengaku.
Dasar manipulator ulung, batin Han Qiu, campuran antara rasa ngeri dan kekaguman yang aneh.
Kau akan menjadi manajer pemasaran yang hebat di duniaku. Menjual air mineral sebagai obat keabadian.
“Saya tidak mengerti maksud Anda, Chef Gao,” kata Han Qiu, suaranya dibuat terdengar bingung dan sedikit terluka.
“Saya hanya mengikuti aturan Anda. Untuk selalu menjaga kebersihan.”
Gao menatapnya lekat-lekat, mencari celah sekecil apa pun di pertahanannya. Tapi Han Qiu telah memasang topeng Xiao Lu dengan sempurna. Wajahnya adalah kanvas kosong dari kepolosan dan kepatuhan.
Gagal mendapatkan pengakuan, Gao menegakkan tubuhnya. Wajahnya kembali menjadi topeng es tanpa emosi. Ia tahu ia tidak bisa menghukum seseorang hanya karena terlalu bersih.
Itu akan terdengar gila, bahkan untuk standarnya. Jadi, ia beralih ke metode yang lebih praktis. Jika ia tidak bisa membasmi tikusnya, ia akan membakar lumbungnya.
“Karena insiden ‘bau asap asing’ ini,” Gao mengumumkan dengan suara lantang,
“dan untuk memastikan sumber panas kita tetap murni dan tidak terkontaminasi oleh elemen luar, saya menetapkan sebuah dekrit baru yang berlaku mulai detik ini.”
Semua orang menahan napas.
“Seluruh persediaan arang kayu,” kata Gao, setiap katanya jatuh seperti bilah kapak,
“harus dipindahkan dari gudang-gudang bawah tanah yang lembap dan tersembunyi. Letakkan semuanya di halaman belakang, di tempat terbuka, di bawah pengawasan penjaga siang dan malam. Tidak boleh ada satu pun bongkah arang yang tertinggal di dalam gudang. Mengerti?”
Dunia Han Qiu seakan runtuh.
Gudang arang.
Lokasi panggangan rahasia mereka. Satu-satunya tempat di seluruh istana di mana mereka bisa menyalakan api tanpa terdeteksi. Dengan satu kalimat, Gao telah melenyapkannya. Bukan hanya menutupnya, tetapi membongkarnya sampai ke fondasi.
Ia melirik Li.
Mata kasim muda itu membelalak ngeri, pemahaman yang sama tercetak jelas di wajahnya. Mereka tamat. Revolusi rasa mereka, yang baru saja meraih kemenangan pertamanya, telah dipadamkan bahkan sebelum apinya sempat berkobar lebih besar.
Gao tersenyum puas, senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Ia berbalik dan berjalan pergi, jubah putihnya berkibar di belakangnya seperti bendera kemenangan.
“Laksanakan!” perintahnya tanpa menoleh.
Para penjaga segera bergerak, menggiring beberapa pelayan menuju gudang. Han Qiu hanya bisa berdiri membeku, menyaksikan fondasi dari semua rencananya dibongkar dan diseret keluar ke tempat terbuka, di mana setiap gerak-gerik akan diawasi.
Ia telah memenangkan hati Kaisar, tetapi ia baru saja kalah telak dalam perang logistik melawan Chef Gao.
Saat Gao melewatinya, ia berhenti sejenak, tubuhnya sangat dekat hingga Han Qiu bisa mencium aroma herbal steril dari pakaiannya. Ia tidak menatap Han Qiu, hanya berbisik dengan suara yang hanya bisa mereka berdua dengar.
“Asap selalu meninggalkan jejak, sekecil apa pun. Dan aku akan menemukan sumbernya.”
Gadis itu tidak menjawab, hanya menelan ludah yang terasa seperti pecahan kaca. Asap memang selalu meninggalkan jejak. Dan jejaknya kini menempel di paru-paru sang Kaisar, di lidahnya, dan yang paling berbahaya, di ingatan Chef Gao.
Han Qiu hanya bisa mematung, merasakan hawa dingin dari bisikan itu merayap di kulitnya lama setelah Gao berlalu, meninggalkan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan daripada amarahnya.
Bagus sekali, Han Qiu, bisik suara sinis di kepalanya.
Kau berhasil membuat naga yang tertidur kembali lapar, sekaligus membangunkan seekor ular kobra yang sedang bermeditasi. Strategi yang brilian.
***
Di sayap timur istana, di dalam Paviliun Kesehatan Surgawi yang selalu berbau akar ginseng dan keputusasaan yang direbus perlahan, tiga pria terpelajar sedang menatap selembar gulungan sutra dengan ekspresi seolah mereka baru saja menemukan resep keabadian yang ditulis dalam bahasa ayam.
Tabib Kepala Wang, seorang pria tua yang janggutnya lebih panjang dari daftar penyakit yang pernah ia obati, mengelus-elus gulungan itu dengan jari gemetar.
“Tidak masuk akal,” gumamnya untuk kelima kalinya dalam sepuluh menit.
“Sama sekali tidak masuk akal.”
Di seberangnya, Tabib Fu, seorang pria tambun yang kesetiaannya pada Chef Gao hanya bisa disaingi oleh kecintaannya pada kue-kue manis (yang tentu saja ia nikmati secara sembunyi-sembunyi), menyeringai puas.
“Apa yang tidak masuk akal, Tabib Kepala? Ini adalah bukti kejeniusan Chef Gao! Laporan ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun mengalami stagnasi *qi*, energi kehidupan Yang Mulia akhirnya melonjak! Berat badannya…”—ia menyipitkan mata pada kaligrafi yang rumit—“…bertambah tiga kati!”
“Tiga kati itu anomali!” sela Tabib Chen, dokter paling muda di antara mereka, yang matanya setajam elang dan otaknya belum sepenuhnya beku oleh protokol istana.
“Peningkatan berat badan seharusnya bertahap, selembut embun pagi yang menetes. Ini… ini seperti tanah kering yang tiba-tiba diguyur hujan badai! Denyut nadinya, yang biasanya seperti jaring laba-laba rapuh, kini terasa lebih… lebih bergairah.”
Tabib Fu mendengus.
“Bergairah? Itu istilah untuk penyair, bukan tabib. Ini adalah hasil dari diet ‘Kemurnian’! Tubuh Yang Mulia, setelah dibersihkan dari semua racun rasa yang vulgar, akhirnya mulai menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam. Ini adalah kemenangan ilmu sterilisasi!”
“Ilmu sterilisasi tidak membuat seseorang menangis bahagia saat makan!” balas Tabib Chen, suaranya sedikit meninggi. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Kasim Li melaporkan bahwa beberapa malam lalu, Yang Mulia menghabiskan lima tusuk… ehm, hidangan dagingnya. Lima! Biasanya, kita harus memohon padanya untuk menelan tiga suap bubur!”
Tabib Kepala Wang mengangkat tangannya yang keriput, menenangkan perdebatan yang mulai memanas.
“Chen ada benarnya. Peningkatan ini terlalu drastis. Menu resmi dari Chef Gao tidak berubah. Bubur bening, ikan kukus tanpa bumbu, sup sayuran pucat. Makanan seperti itu berfungsi untuk menjaga kehidupan, bukan membangkitkannya.” Matanya menyapu kedua rekannya.
“Pasti ada faktor eksternal.”
“Faktor eksternal?” ulang Tabib Fu, nadanya mengejek.
“Maksud Anda ada hantu juru masak yang menyelinap ke kamar Kaisar dan memberinya makan paha ayam surgawi? Jangan konyol. Chef Gao mengontrol setiap butir beras yang masuk ke istana ini.”
“Mungkin bukan hantu,” kata Tabib Chen pelan, matanya berkilat penuh spekulasi.
“Mungkin… seorang pelayan.” Ia teringat desas-desus tentang bau asap aneh yang membuat Gao murka pagi itu.
Ia juga ingat melihat seorang pelayan dapur bernama Xiao Lu, yang tatapannya terlalu cerdas untuk seseorang yang tugasnya hanya mencuci lobak.
“Sesuatu sedang terjadi di dapur itu. Dan apa pun itu, tampaknya berhasil lebih baik daripada semua ramuan mahal kita.”
Perpecahan di antara para tabib itu kini terasa nyata. Di satu sisi ada dogma kemurnian Gao yang didukung oleh para penjilat seperti Tabib Fu. Di sisi lain, ada bukti nyata yang tak terbantahkan di atas gulungan sutra itu—bukti yang mulai membuat orang-orang seperti Tabib Chen berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, sedikit ‘kotoran’ adalah obat yang selama ini mereka cari.