Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Mendekat
Malam merambat ke lembah Koto Tuo, membawa dingin yang bukan milik musim. Kabut turun terlalu cepat, terlalu tebal—seolah ada sesuatu menyembunyikan diri di balik tirainya yang mematikan.
Angku masih menatap arah jalan raya jauh, seakan memandang jalur tak terlihat yang menghubungkan tempat itu dengan seseorang yang seharusnya tidak pernah datang.
“Dia sudah semakin dekat…” gumamnya, keras sekeras batu tua.
Raga berdiri gelisah di samping pintu rumah gadang, memegang dinding kayu ikut bergetar bersama denyut jantung dadanya. Ada hawa baru dalam tubuh—dingin merambat pelan.
“Apa maksud perempuan itu dipanggil, Angku?” tanyanya rintih.
Laki laki itu melirik cucunya, tatapan tajam menimbang apakah ia kuat mendengar kalimat jatuh dari bibirnya “Setiap ikatan gaib yang diputus,” ujarnya perlahan, “selalu menyisakan satu jalur hilang. Kita menutup pintu itu, Raga… tapi tidak pernah memaku jendelanya”
Raga merinding tidak mengerti, tengkuknya dingin seperti disentuh es batu.
“Dan Nadira…” lanjut Angku, “…datang lewat jendela itu.”
Dia terperanjat kaget menatap Angku.
“Nadira, dia cuma teman satu kantor Raga. Dia bahkan nggak tahu apa-apa soal Arumi, soal perjanjian… soa apa saja tentang Koto Tuo
“Tapi leluhur tahu.” Angku memotongnya cepat, nada suaranya berat bagaikan gong dipukul dari dalam tanah.
Nyanyian hutan kembali terdengar sayup menggetarkan sukma, desiran daun, retakan ranting, dan dengung misterius tak pernah benar-benar hilang semenjak ritual pemutus dilakukan.
“Kenapa justru dia yang dipanggil?” tanya ayah berdiri di ambang dapur, wajahnya direnggut kecemasan.
Angku menatap jauh ke arah pepohonan berayun ditiup angin“Karena ikatan itu… kehilangan calon.”
Raga menegang, tubuhnya menggigil, “Apa maksudnya —”
“Ikatan gaib selalu mencari keseimbangan. Arumi terikat padamu karena perjanjian moyang. Ketika kita memutusnya, dia kehilangan tempat berpijak. Dan Alam ghaib tidak menerima kekosongan begitu saja…” Suaranya turun menjadi bisikan halus, “…maka mereka menarik jiwa lain. Jiwa yang dekat denganmu.”
Raga menelan ludah kelat, dalam bayangan visinya muncul wajah Nadira—gadis cantik di kantor, tempat nya berkeluh kesah, hanya dekat bukan ada ikatan cinta. Dan kini tiba-tiba terhubung oleh ikatan lebih besar dari rasa kasih sayang itu sendiri.
“Lalu bagaimana dengan Nadira, angku ?Apakah dia dalam bahaya?” suaranya pecah menggantung kuat dilangit.
“Bukan dia yang dalam bahaya,” jawab laki laki tua itu lirih.
“Lalu siapa?”
Dia menatap cucunya lekat-lekat.
“Kamu.”
Raga terdiam seperti patung tidak bergerak sama sekali.
Ayahnya melangkah mendekat, wajahnya pucat seperti kertas. “Datuak, maksudnya apa? Kita sudah melakukan doa pemutus. Makhluk apa yang masih menuntut Raga?”
Angku memejamkan mata, merasakan udara yang berubah. Kabut di luar bergerak tidak normal—naik turun, berputar dalam pusaran pelan, mengitari sesuatu yang tak terlihat.
Mulutnya bergerak tipis, Arumi.”
Raga terhenyak, rasa dingin menembus tulang sampai ke sumsum tulang
“Dia… marah, Raga. Sangat marah.”
Langkah Angku terhenti ketika aroma melati tiba-tiba mengisi ruangan rumah — wangi pekat, tajam menusuk hidung.
Ibu dari dalam kamar memanggil lirih, “Ayah… kenapa udara menjadi dingin sekali?”
Ayah masuk memeluk menenangkan meskipun wajahnya juga tak tenang, "Ibu didalam kamar saja ya, biar Ayah, Raga dan Angku menyelesaikannya."
Perempuan itu mengangguk kecil.
Sesuatu bergerak di balik jendela, bukan wajah, bukan pula bayangan manusia. Tapi lengkungan halus… seperti kain putih panjang yang menari dihembus angin, walaupun tak tampak jelas, tapi mengisaratkan dia ada.
Tubuh Raga menggigil tak terkendali, napasnya terputus-putus.“Angku… dia datang lagi…” suaranya nyaris hilang di kerongkongan
Angku menancapkan tongkat ke lantai, keras. “Tenang, Bujang.”
“Raga nggak bisa Angku… dia terlalu dekat…”
“Tahan! Jangan biarkan dia masuk!”
Bayangan putih itu memudar berganti dengan wajah tersandera di balik kabut… tersudut jauh dekat jalan menanjak. Seorang perempuan berdiri mematung, tidak melayang, tidak berpendar dan tidak bergaun putih seperti manusia biasa, Nadira.
Meski hanya sekelebat, Raga tahu itu dirinya, matanya membesar, “Nadira…?!” Tenggorokannya tercekat.
Angku menggeram lirih, " Dia sudah sampai dia…”
Suasana mencekam meliputi wajah Ayah, bibir nya bergetar kecut.“Bagaimana gadis itu bisa menyeberang melewati jalur gelap berbahaya!”
Angku menggeleng perlahan, wajahnya semakin pucat, “Karena dia tidak berjalan sendiri.”
Raga terpaku.
Pria bersorban itu menatap cucunya lekat, tak pernah sedalam ini. “Hutan memanggilnya.” Nada suaranya getir memecah malam, “Dan Arumi mengikutinya… dari belakang.”
Raga mundur, napasnya terpecah“Tapi… tapi kenapa? Kenapa Arumi mengikutinya?”
Angku menghela napas berat, “Karena perempuan itu menembus jarak tidak boleh tersentuh manusia.” Ia menatap jendela, aroma melati semakin kuat menyerap hidung. “Dan Arumi… takut kehilangan kamu Raga.”
Bulu kuduk Raga berdiri seketika menatap bola matanya.
"Tidak hanya Arumi cemburu, bukan pula karena Nadira mendekat. Tapi karena ...setelah sekian lama…dua dunia mulai membuka pintu bersamaan, dan pintu itu bernama, Raga."
Kabut berarak melintas secara perlahan mendekat tanpa suara.
\=\=\=
Kabut turun lebih cepat dari perkiraan. Matahari belum tinggi, tapi langit di kaki Bukit Barisan terasa seperti menjelang magrib: redup, lembap, dan sunyi.
Ojek terakhir yang ditumpangi Nadira berhenti tepat di mulut jalan kecil yang dipagari hutan kecil. Motor itu tidak berani masuk lebih jauh. Sopirnya, lelaki berusia lima puluhan dengan wajah tirus, menyalakan rokok dan menatap Nadira dari balik asap.
“Dik… yakin mau masuk sini sendirian?” suaranya serak, jelas berusaha tidak memaksa, tapi juga tidak ingin tahu terlalu banyak.
Gadis itu menegakkan ransel di punggungnya “Iya, Uda, jalan kaki ke dalam kan?”
Dia menggeleng pelan. “Jalannya iya… tapi bukan jalan kaki biasa. Kalau kabut sudah mulai turun begini…” ia mengisap rokoknya dalam-dalam, “kadang-kadang orang bisa muter di tempat, balik ke titik yang sama tanpa sadar.”
“Kayak… tersesat?”
“Bukan tersesat.” Tatapannya tajam, tapi disesatkan."
Gadis itu tercekat, tapi ia mengangguk dan membayar ongkosnya setengah hati, setengah nekat.
Kabut menyambut seperti tangan tipis mengulur di udara ketika langkah kaki nya menyeret tanah. Hutan itu seolah menutup jalan begitu motor pergi, menyisakan senyap panjang yang menusuk.
Tanah basah, aroma pakis dan lumut serta dedaunan basah menggesek satu sama lainnya— kress, kress, tapi tidak ada angin yang bertiup.
Nadira berjalan pelan, lebih hati-hati. Batinnya selalu diganggu satu hal, Kenapa Bram melarangnya sampai segitunya? Kenapa suara telepon itu tahu ia akan ke sini?Dan Kenapa ada yang menyuruh dan mencegahnya?
Namun rasa penasaran, kabut dalam mimpi, bunga melati yang tercium tanpa wujud—begitu kuat menarik jiwanya untuk datang ke koto tuo.
Pepohonan semakin rapat. Cahaya matahari seperti disaring ribuan jaring tipis, membuat dunia terasa abu-abu.
Lalu…Ada sesuatu bergerak tidak keras tidak mencolok, tapi cukup kuat untuk membuat jantungnya meloncat loncat.
“Nadira…”
Ia berhenti, suara tipis lembut tapi kosong di tengah ruang hampa.
“Siapa?” Ia menoleh ke kiri
Kabut bergerak, membuka celah ke arah pepohonan tapi tidak ada siapa pun disana
“Nadira…”
Suara itu datang lagi dari arah kanan membuat napasnya tersengal “Kalau ada orang… tolong jangan bercanda, saya cuma mau lewat.”
Tidak ada jawaban, hanya suara krek… krek… dari arah ranting patah—entah oleh angin, atau hewan hutan yang melintas.