Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 27
Darren menyandarkan tubuh di meja dapur sambil menunggu bunyi tanda matangnya roti dari toaster. Sudah lama dirinya berdiri di sana, menunggu nona itu keluar dari kamar mandi dengan baju barunya. Bisa jadi Viena masih terpekur di depan cermin kamar mandi sambil menyiapkan mental untuk keluar. Bagaimana tidak, dua bola matanya tanpa perlindungan lensa yang setia itu. Harap-harap cemas Darren tidak membahas wajah aslinya lebih jauh, Viena tidak tahu harus menjawab apa, bahkan untuk sekedar merespon.
Tak lama, suara pintu kamar mandi terbuka. Viena keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil warna biru muda. Baju yang ia pakai sedikit longgar, kaus oversize warna peach dengan tulisan My Summer Trip di dada, dan celana training abu-abu yang menggantung di pergelangan kaki.
“Ini bajunya Calista, ya?” tanya Viena sambil menarik sedikit ujung kausnya. “Aku kebetulan juga suka warna ini.”
Darren hanya mengangguk singkat dengan tangan bersipang di dada. Jelas pandangannya sedang memindai gadis itu.
Rambut Viena masih basah di ujung, beberapa helai menempel di pipi. Ia tampak segar, tapi juga sedikit canggung dengan model kaos yang kebesaran itu.
“Apa?” tanya Viena dengan nada separuh kesal, separuh malu. Perasaan Viena udah gak enak duluan sedari tadi.
Darren tidak menjawab langsung. Menatapnya seperti sedang meneliti spesies baru di dunia sains. “Enggak, cuma baru sadar kamu punya tahi lalat kecil di bawah mata kiri.”
“Itu bukan hal baru,” Viena mendengus.
“Tapi selama ini nggak kelihatan. Kamu kayak orang yang sengaja nyembunyiin matahari di balik payung.”
“Ngegombal kok pagi-pagi.”
“Serius. Aku jadi inget siapa ya… ,” Darren memiringkan kepala, memperhatikan wajah gadis itu lebih dekat. “Ah! Mirip Jisoo, tapi versi kurang tidur dua hari.”
“Sembarangan,” sahut Viena cepat, tapi tawa kecil lolos dari bibirnya. Ini yang dia takutkan sejak di kamar mandi.
Toster berbunyi. Darren berbalik, mengambil dua lembar roti hangat dan menaruhnya di piring. “Roti atau sereal?”
“Roti aja,” sahut Viena.
Viena menerima piringnya dan duduk di sofa abu tua yang kemarin mereka pakai makan malam. Suasana ruangan terasa tenang, cahaya matahari menyusup dari celah tirai, menimpa rambut basah Viena yang kini mulai mengering. Apapun yang terjadi, Viena harus tetap profesional walau hati kecilnya memaksanya kabur. Tapi ini rumah bosnya dan setelah ini dia juga akan pulang, kan?
“Makasih.”
Hanya membalas dengan senyuman miring, Darren ikut duduk di sofa, menyeruput kopi sambil memandangi wajah gadis itu yang udah jelas tanpa kacamata.
Ia bersandar santai, tapi pandangannya seperti kamera yang menyorot terlampau dekat. “Kamu kelihatan beda banget.”
“Berhenti ngomong kayak gitu,” sembur Viena sambil mengunyah roti. Tatapannya fokus ke TV. “Aku tau kamu lagi nyari bahan buat ngejek.”
“Nggak juga,” Darren tersenyum miring. “Cuma penasaran aja, gimana bisa seseorang berubah cuma karena sepasang kaca bundar. Aneh.”
Viena menaruh piringnya, menatap Darren dengan ekspresi tak percaya. “Kamu ngamatin aku atau mau ngomentarin wajahku mirip apa lagi? Nobita?”
“Mirip sih, tapi hmm… bentar, mikir dulu.”
“Darren!” gadis itu malah tersenyum karena udah kehabisan akal buat melawan pemuda itu. Darren seperti sudah mengenalnya sepuluh tahun, entah ini positif atau negatif. “Seriusan, aku bisa nimpuk kamu sekarang juga kalau gak minta maaf.”
“Silakan,” balas Darren, santai.
Benar saja, Viena langsung mengambil bantal sofa, lalu melemparkannya ke arah Darren. Tapi sayangnya, karena posisi duduk dan jarak, bantal itu cuma mengenai dagunya dan malah jatuh ke pangkuannya sendiri.
Darren menggeleng pelan sambil tertawa yang jelas-jelas mengejek “Gagal total, Tinasha.”
“Nih, biar kamu puas,” gerutu Viena. Ia mengambil kembali bantal itu dan berusaha menimpuknya sekali lagi, tapi kali ini Darren menangkis dan menarik pergelangan tangannya cepat, sedikit terlalu cepat, sehingga keseimbangannya hilang.
Tanpa disadari, tubuh Darren jatuh condong ke depan dan menekan Viena ke sofa.
Suasana jelas jadi hening, canggung luar biasa. Napas mereka berjarak beberapa senti, aroma menthol dari setiap hembusan napas cowok itu tercium oleh Viena. Matanya sontak membulat, sementara Darren menatapnya dengan ekspresi nyaris tidak berubah, sedikit terkejut, tapi tetap tenang dan di situlah letak curangnya. Viena sendiri merah padam kala membuang wajahnya ke samping. Baru sadar dirinya jika badan laki-laki itu sekeras dan seberat ini.
“M-maaf.”
“Salahku juga,” balas Viena tidak berani menatap Darren.
Pemuda itu lantas bangkit sambil menggaruk belakang kepala, meneguk sisa kopinya yang mulai dingin. “Kayaknya stok bahan makananku udah mau habis.”
Viena menatapnya dari sofa, masih berusaha menenangkan jantungnya yang degupannya belum normal.
“Ikut aku belanja bulanan, ya? Aku belum sempat minggu kemarin,” lanjut Darren.
“Belanja?” Viena berkedip tiga kali. “Bukannya kamu mau nganter aku pulang pagi ini?”
“Oh itu.” Darren menatap ke arah jam dinding, pura-pura baru sadar. “Iya, tapi kamu bisa sekalian ikut. Nanti abis belanja, aku anterin.”
“Sekalian?” Viena menirukan kata itu dengan nada setengah protes.
“Yup. Biar efisien. Aku benci kena macet dua kali.”
Darren menaruh cangkir di wastafel, lalu membuka lemari dapur yang hanya setumpuk mie instan, dua kardus sereal, sisa pasta semalam dan oat yang bahkan belum pernah disentuh.
“Kamu sering masak, emangnya?” tanya Viena masih dari sofa. “Masak pasta aja gak bisa.”
Darren sempat tersenyum miring ketika gadis itu membahas pasta semalam. “Sering kalau pas lagi ada waktu.”
“Pantesan sarapanmu cuma roti. Kamu sibuk terus sih.”
“Roti itu penyelamat umat,” sahut Darren datar. Ia menoleh ke arah Viena. “Kamu siap-siap. Aku nggak mau antre parkir lama-lama di Lottie.”
“Lottie Mart? Di mana?”
“Yang di samping kantor polisi itu. Biasanya sepi.”
Viena menatapnya lama. “Seriusan kamu mau belanja sekarang?”
Darren mengangkat bahu. “Kalau nunggu siang, nanti keburu ramai.”
Viena akhirnya berdiri juga, masih setengah malas. “Tapi aku pakai baju adikmu, loh.”
“Masih ada hoodie di kamar, pakai aja.”
“Terus rambutku masih basah—”
“Kamu kan muslim, harusnya pakai kerudung.”
“Darren, kamu tuh… ,” Viena mengembuskan napas kesal, tapi akhirnya menyerah juga. Dia tahu gaada balasan yang bisa mengalahkan fakta itu “Oke, aku ikut. Tapi abis ini aku minta kamu anterin aku pulang. Janji?”
“Janji,” jawab Darren cepat, terlalu cepat, malah.