Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.
Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?
Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.
Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 19 — Antara Pekerjaan dan Perasaan
Suasana kantor Vibe Media pagi itu lebih ramai dari biasanya.
Tim kreatif baru saja menerima proyek besar dari Brightwave Digital, dan semua orang sibuk menyusun strategi.
Tapi di tengah semua kesibukan itu, hanya satu hal yang membuat Emma benar-benar gugup:
Ryan akan datang hari ini.
Ia berdiri di depan kaca kecil di ruangannya, mengecek penampilan — entah untuk memastikan tampil profesional, atau sekadar menenangkan diri.
Trisha yang duduk di mejanya langsung menggoda, “Kau berdandan kayak mau kencan, bukan meeting.”
Emma mendengus. “Ini proyek besar, Trish. Aku harus tampil meyakinkan.”
Trisha menyeringai. “Yakin nggak ada hubungannya sama mantan pegawai favorit kita itu?”
Emma pura-pura tak mendengar, tapi pipinya memanas.
“Trisha, aku serius.”
“Justru itu masalahnya, Em. Kamu terlalu serius,” sahut Trisha sambil meneguk kopi. “Kamu harus santai sedikit. Kalau enggak, nanti Ryan pikir kamu udah lupa caranya senyum.”
Emma menghela napas, mencoba menahan senyum. “Aku nggak lupa. Aku cuma… belum siap.”
Trisha terkekeh. “Lucu, ya. Orang bilang cinta itu bikin hidup berwarna, tapi kamu malah kayak mode grayscale sejak dia pergi.”
---
Tepat jam 10 pagi, Ryan datang bersama Samantha.
Begitu memasuki ruang meeting, mata semua orang langsung tertuju pada mereka — terutama pada Emma, yang mencoba terlihat tenang padahal detak jantungnya berpacu lebih cepat daripada jam dinding.
Ryan tersenyum kecil. “Hai, semua. Lama nggak bertemu.”
“Lama?” Trisha menyambut, separuh bercanda. “Baru seminggu juga, Mr. Brightwave.”
Samantha tertawa kecil. “Percaya deh, seminggu di Brightwave rasanya kayak tiga bulan di tempat lain.”
Semua tertawa, termasuk Emma — sedikit kaku, tapi cukup untuk mencairkan suasana.
---
Meeting dimulai dengan profesional.
Liam memimpin pembahasan strategi, sementara Ryan menjelaskan kebutuhan klien secara detail.
Namun, yang menarik bukan isi presentasinya — melainkan tatapan-tatapan kecil yang tak sengaja (atau mungkin sengaja) mereka tukar.
Ketika Ryan menyebut ide kampanye digital berbasis nostalgia, Emma langsung menimpali, “Itu menarik, tapi kita harus pastikan nostalgia-nya terasa hangat, bukan murahan.”
Ryan mengangguk pelan. “Kau selalu tahu cara bikin sesuatu terasa hangat.”
Kalimat itu terdengar biasa bagi peserta lain — tapi bagi Emma, nada suaranya terlalu pribadi.
Ia menunduk, berdeham pelan. “Kita bahas data engagement-nya dulu, ya.”
Liam memandang keduanya bergantian, matanya tajam tapi senyum tetap profesional.
Ia tahu ada sesuatu yang tak biasa di antara mereka.
---
Setelah meeting, Ryan dan Emma sama-sama tinggal di ruangan untuk meninjau konsep visual.
Samantha pamit duluan ke ruang lain, memberi mereka sedikit “ruang berdua.”
“Desain yang ini bagus,” kata Emma sambil menatap layar. “Tapi tone warnanya terlalu dingin. Klien ingin kesan lembut.”
Ryan mencondongkan tubuh, melihat ke arah layar yang sama.
“Kayak yang kamu suka, ya — warna lembut.”
Emma melirik cepat. “Aku bicara soal pekerjaan, Ryan.”
“Tapi aku serius,” katanya sambil tersenyum tipis. “Dulu waktu di Vibe, kamu selalu pilih warna-warna yang bisa ‘bicara’. Aku rindu itu.”
Emma menatapnya beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Kau banyak berubah.”
“Lebih baik atau lebih buruk?”
Emma tersenyum kecil. “Lebih… hati-hati.”
Ryan mengangguk pelan. “Mungkin karena aku belajar dari seseorang yang terlalu mudah jatuh.”
Suasana hening sejenak.
Emma tak bisa menahan tawa kecil. “Kamu masih suka bicara pakai setengah kiasan, ya?”
“Dan kamu masih suka pura-pura nggak paham.”
---
Tiba-tiba pintu terbuka.
Liam muncul, dengan senyum tipis tapi tatapan tajam.
“Bagus, kalian udah mulai kerja sama lagi,” katanya sambil melangkah masuk. “Pastikan semuanya siap sebelum deadline. Brightwave klien penting.”
Ryan berdiri tegak. “Tentu, Pak Harrison. Kami akan pastikan hasilnya maksimal.”
Liam menatapnya, lalu menatap Emma. “Kalau begitu, aku tinggal kalian berdua saja. Sepertinya kalian sudah punya… chemistry kerja yang bagus.”
Nada suaranya manis tapi menggigit.
Begitu Liam keluar, Emma mendesah panjang. “Dia belum berubah.”
Ryan mengangkat alis. “Masih suka kontrol semua hal?”
“Dan semua orang,” sahut Emma cepat.
Ryan menatapnya dengan senyum samar. “Kecuali kamu. Kamu satu-satunya yang nggak bisa dia kendalikan.”
Emma memandang Ryan beberapa detik, lalu berkata pelan, “Kau terlalu berani ngomong begitu.”
Ryan menatapnya lembut. “Atau mungkin aku cuma nggak mau kehilangan kesempatan kedua.”
---
Sore itu, setelah Ryan pergi, Emma menatap dokumen di layar tanpa benar-benar membaca.
Trisha mendekat, menepuk pundaknya.
“Dia masih sama ya?”
Emma tersenyum samar. “Iya. Tapi sekarang dia lebih tenang. Lebih tahu kapan bicara, kapan diam.”
Trisha menatapnya curiga. “Dan kamu suka itu?”
Emma tertawa kecil. “Aku nggak tahu. Tapi aku… lega dia masih jadi dirinya.”
Trisha menyeringai. “Itu jawaban klasik perempuan yang mulai jatuh cinta lagi.”
Emma memutar bola mata. “Trish…”
“Ya ya,” kata Trisha sambil berjalan pergi. “Tapi jangan salah, Em. Kadang cinta kedua itu bukan pengulangan — tapi versi revisi yang akhirnya benar.”
Emma terdiam lama, menatap ke luar jendela.
Langit sore New York berwarna oranye lembut — warna yang ia suka, warna yang “bicara.”
Dan entah kenapa, di warna itu, ia melihat bayangan Ryan tersenyum lagi.
---
Di sisi lain kota, Ryan berdiri di balkon apartemennya, menatap ponsel.
Ia hampir mengetik pesan, tapi berhenti.
> “Kamu terlihat cantik di meeting tadi.”
[hapus]
“Senang bisa kerja bareng lagi.”
[hapus]
“Aku masih belum lupa caramu menatap aku waktu di kafe itu.”
[hapus lagi]
Akhirnya ia hanya mengetik satu kata:
> Ryan: “Terima kasih sudah tetap jadi kamu.”
Dan mengirimnya.
Beberapa detik kemudian, ponsel Emma bergetar.
Ia membaca pesan itu, lalu menatap layar lama.
> “Terima kasih sudah tetap jadi kamu.”
Emma tersenyum kecil, menutup ponsel, dan berbisik pelan:
> “Dan terima kasih sudah datang lagi.”
---