Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
Malam semakin larut. Alea sudah kembali ke kamarnya, sementara Ibu Maisaroh duduk di ruang tamu menunggu Faizan turun dari ruang kerjanya.
Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di tangga. Faizan muncul dengan wajah lelah, tapi tetap dengan ekspresi datarnya.
“Faizan,” sapa Ibu Maisaroh pelan.
Faizan hanya menoleh sebentar. “Ada apa, Mah?”
Ibu Maisaroh menarik napas panjang. “Kau tak bisa terus bersikap dingin begitu pada Alea. Dia sudah cukup banyak menanggung rasa sakit. Sedikit saja kau tunjukkan perhatian, Nak… itu bisa membuatnya merasa tidak sendirian.”
Faizan terdiam, rahangnya mengeras. Ia menatap ke arah jendela, bukannya ke arah ibunya. “Aku sudah membawanya ke dokter, Mah. Sudah memastikan dia makan, minum obat. Bukankah itu cukup?” Suaranya tenang, tapi dingin menusuk.
“Tidak, Faizan,” Ibu Maisaroh menatapnya serius. “Perhatian bukan hanya soal kewajiban. Kadang… hanya butuh satu kata lembut, atau senyuman, untuk membuat hati Alea tenang.”
Faizan mengepalkan tangannya. Dalam hati, ada sesuatu yang bergejolak, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Aku tidak pandai melakukan hal-hal seperti itu, Mah.”
Ibu Maisaroh menggeleng pelan. “Belajarlah. Karena diam seperti ini hanya membuat jarak di antara kalian semakin jauh.”
Faizan tak menjawab. Ia hanya berbalik menuju kamarnya, meninggalkan ibunya yang menghela napas panjang.
Di kamar, Alea mendengar suara langkah Faizan lewat di depan pintunya. Hatinya berdebar, berharap pria itu akan mengetuk atau sekadar menyapanya. Tapi yang terdengar hanya langkah menjauh—dan pintu kamar tamu yang di tempati Faizan tertutup rapat.
Alea menutup matanya, mencoba menahan perasaan yang semakin menyesakkan.
---
Keesokan paginya, Alea duduk di teras belakang rumah sambil memandangi taman kecil. Matanya terlihat sayu, pikirannya masih dipenuhi sikap Faizan yang semakin menjauh.
Ibu Maisaroh datang membawa dua cangkir teh hangat. “Pagi-pagi sudah melamun, Nak?” ucapnya sambil tersenyum lembut.
Alea menoleh, memaksakan senyum. “Hanya… Sedang memikirkan sesuatu, Bu.”
Ibu Maisaroh duduk di sampingnya, menyerahkan secangkir teh. “Aku tahu ini tidak mudah. Faizan… dia anak yang keras. Dingin. Sulit sekali membuka hatinya.”
Alea menggenggam cangkir itu erat-erat. “Aku hanya ingin tahu… apa yang sebenarnya dia rasakan. Tapi setiap kali aku mencoba mendekat, dia seperti membangun tembok lebih tinggi.”
Ibu Maisaroh menatapnya penuh empati. “Nak, Faizan itu seperti batu sungai. Di luar keras, tapi sebenarnya di dalamnya menyimpan banyak hal yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Kau tidak boleh menyerah begitu saja.”
Alea menatap Ibu Maisaroh, ragu-ragu. “Tapi sampai kapan, Bu? Kadang aku merasa… aku hanya hidup di rumah ini, tanpa benar-benar ada dalam hidupnya.”
Ibu Maisaroh menggenggam tangan Alea. “Pelan-pelan saja, Nak. Jangan paksa dia bicara. Kadang, perhatian yang diam-diam justru lebih dalam daripada seribu kata manis. Tugasmu hanya bersabar… dan jangan biarkan sikap dinginnya membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”
Alea terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, ada sedikit rasa lega, meski tetap ada keraguan tentang masa depan dirinya.
Dari kejauhan, Faizan muncul di halaman, hendak berangkat kerja. Wajahnya tetap datar, hanya melirik dari kejauhan ke arah mereka sebelum melangkah ke mobil. Tak ada sapaan, tak ada senyuman.
Alea hanya bisa mengikuti punggungnya dengan pandangan yang sulit ia artikan—antara sedih, kecewa, dan harapan yang belum padam.
-
Hari itu hujan turun sejak siang. Alea yang sedang merapikan tanaman di teras sore ini tiba-tiba merasa pusing. Tubuhnya terasa lemas, pandangannya berkunang-kunang.
“Nyonya Alea, istirahat dulu… wajahmu pucat sekali,” ujar Bi Iyem khawatir.
Alea tersenyum lemah. “Tak apa, Bi… sebentar lagi selesai.”
Tapi sebelum sempat beranjak, tubuh Alea goyah. Ia hampir terjatuh kalau saja Bi Iyem tak segera memegangi tubuhnya.
Berita itu cepat sampai ke telinga Ibu Maisaroh—dan tak lama kemudian Faizan yang baru pulang kerja melihat Alea terbaring di sofa, wajahnya pucat pasi.
“Apa yang terjadi?” suara Faizan datar, tapi matanya menatap tajam penuh kecemasan.
“Dia tiba-tiba lemas, Nak,” jawab Ibu Maisaroh.
Faizan mendekat, memeriksa Alea tanpa banyak bicara. Wajahnya tetap tenang, tapi ada urat yang menegang di rahangnya.
“Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang,” ucapnya tegas.
Alea menatap Faizan samar-samar. “Tak perlu… mungkin hanya kecapekan…”
“Diam, turuti saja perintahku.” potong Faizan singkat. Nada suaranya dingin.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Faizan tetap tidak banyak bicara. Bahkan ketika dokter berkata bahwa Alea hanya kelelahan dan butuh istirahat, Faizan tetap berdiri kaku di samping ranjang, pandangannya sulit ditebak.
“Mulai sekarang, jangan keras kepala,” ucapnya datar kepada Alea. “Kalau butuh sesuatu, bilang. Jangan sampai aku harus melihatmu seperti ini lagi. Merepotkan saja.”
Suara itu tetap dingin, tapi Alea merasakan ada sesuatu yang berbeda—seperti amarah yang tercampur takut, peduli, dan rasa bersalah yang tak diucapkan.
Masih di rumah sakit, setelah dokter memastikan kondisi Alea hanya karena kelelahan, Faizan tetap berdiri di samping ranjang dengan wajah tanpa ekspresi.
“Minum obatnya sesuai anjuran dokter. Jangan sampai terlambat,” ucap Faizan datar, bahkan tanpa menatap Alea.
Alea hanya mengangguk pelan. “Iya… terima kasih sudah membawaku ke sini,” suaranya nyaris berbisik, mencoba memecah kebekuan yang menyelimuti mereka.
Tapi Faizan tetap dingin tak membalas meski hanya dengan anggukan kecil. Tak ada sentuhan hangat, tak ada kata-kata yang menenangkan. Seolah-olah yang ia lakukan hanyalah kewajiban, bukan karena rasa peduli.
-
Di sisi lain, di rumah, Ibu Maisaroh mondar-mandir di ruang tamu. Pandangannya sesekali tertuju ke arah pintu gerbang, menunggu kepulangan mereka.
“Semoga Alea tidak apa-apa…,” gumamnya pelan, wajahnya penuh kecemasan.
Ketika akhirnya mobil Faizan masuk ke halaman rumah, Ibu Maisaroh langsung menyambut di depan pintu.
“Bagaimana kondisi Alea, Nak?” tanyanya cepat.
“Dia baik. Hanya kelelahan saja,” jawab Faizan singkat, kemudian berjalan melewati ibunya tanpa menambahkan penjelasan lain.
Ibu Maisaroh memandanginya tak percaya. “Itu saja? Kau tak bisa bicara yang lebih menenangkan, Faizan?” suaranya sedikit meninggi.
Faizan menoleh sebentar, ekspresinya tetap datar. “Apa lagi yang harus dikatakan, Mah? Dokter sudah menjelaskan semuanya. Dia hanya perlu istirahat, itu saja. Aku harus bagaimana lagi?”
Alea berdiri di belakang Faizan, menunduk. Hatinya perih mendengar jawaban itu, tapi ia memilih diam.
Faizan kemudian melangkah ke ruang kerjanya tanpa menoleh, meninggalkan Alea bersama Ibu Maisaroh yang hanya bisa menghela napas panjang melihat jarak di antara mereka berdua yang semakin terasa.
...----------------...
Bersambung...