Winda Happy Azhari, seorang penulis novel yang memakai nama pena Happy terjerumus masuk bertransmigrasi ke dalam novel yang dia tulis sendiri. Di sana, dia menjadi tokoh antagonis atau penjahat dalam novel nya yang ditakdirkan mati di tangan pengawal pribadinya.
Tak mampu lepas dari kehidupan barunya, Happy hanya bisa menerimanya dan memutuskan untuk mengubah takdir yang telah dia tulis dalam novelnya itu dengan harapan dia tidak akan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Tak peduli jika hidupnya menjadi sulit atau berantakan, selama ia masih hidup, dia akan berusaha melewatinya agar bisa kembali ke dunianya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Pangeran
Elizabeth menghela nafas panjang berpikir Pangeran sudah pergi. Tapi Pangeran tiba-tiba kembali yang membuat Elizabeth terkejut dan langsung berdiri. Dia lalu membungkuk sopan, sedikit mengangkat ujung roknya.
"Semoga para dewa dan para leluhur memberkati Anda selamanya, Yang Mulia Pangeran." Ucap Elizabeth.
Pangeran menatap Elizabeth dengan ketidaksenangan di matanya, tetapi tatapan itu menghilang dalam sepersekian detik sebelum sebuah senyuman muncul di wajahnya.
"Silakan angkat kepalamu, Nona Elizabeth." Ucap Pangeran Lewis.
Elizabeth kembali ke posisi semula, mempertahankan senyum palsu di wajahnya.
Lewis James Charles, putra mahkota negeri dan kerajaan ini. Tokoh utama pria yang Happy ciptakan.
'Meskipun wajahmu begitu tampan, tapi maaf, aku tidak tertarik untuk menjadikanmu kekasih, jadi tolonglah tetap bersama dengan tokoh utama wanita itu!' ucap Elizabeth dalam hati.
Pangeran Lewis menunduk dan melihat sepatu hak tinggi Elizabeth tergeletak di rumput. Elizabeth mengumpat dalam hati. Dia lupa kalau dia tidak memakai sepatu. Pangeran Lewis kembali menatapnya dan tersenyum.
"Mengapa kau tidak memakai sepatu mu, Nona Elizabeth?" Tanya Pangeran Lewis.
"Itu karena kaki saya sakit.." jawab Elizabeth canggung, tanpa menatap matanya.
Elizabeth melirik Alex dan memberi isyarat agar membantunya dengan melirik bolak-balik antara dirinya dan sepatu hak tingginya. Alex tampaknya mengerti maksudnya dan mengambil sepatu hak tinggi Elizabeth lalu memakaikannya kembali.
"Nona, hari sudah mulai malam. Kita harus pergi menemui Tuan." Ucap Alex.
Elizabeth mengangguk.
"Ya, tentu saja. Baiklah," ucap Elizabeth membungkuk sekali lagi pada Pangeran Lewis, "saya harus pergi sekarang, Yang Mulia Pangeran. Selamat tinggal."
Pangeran Lewis mengangguk tanpa sepatah kata pun, hanya memperhatikan Elizabeth berjalan pergi bersama Alex.
Ketika Elizabeth sudah cukup jauh, dia pun melepaskan napas yang telah ditahannya sejak tadi.
"Melihat seorang pangeran dengan serius itu menakutkan. Terima kasih sudah membantuku di sana, Alex." Ucap Elizabeth.
Dia mengucapkan terima kasih dengan tulus, melirik Alex sebelum tersenyum lebar.
"Ayo kita cari ayahku sekarang." Ucap Elizabeth sambil menatap ke depan.
Elizabeth tidak menyadari ekspresi rumit di wajah Alex saat dia membuntutinya tanpa sepatah kata pun.
Sementara itu, Pangeran Lewis, yang masih berdiri di bawah pohon, tersenyum sebelum berbalik dan berjalan pergi. Ini pertama kalinya dia tidak perlu menghindari Elizabeth.
Tanpa disadari, Elizabeth akhirnya menarik perhatian Pangeran.
...****************...
Sekembalinya Elizabeth ke kediamannya, dia langsung jatuh ke tempat tidur, menendang sepatunya hingga terlepas. Alex memperhatikan Elizabeth merangkak di balik selimut, melilitkan dirinya hingga menyerupai kepompong. Alex menatapnya, meringkuk di dalam selimut.
Alex menyilangkan lengannya dan mengangkat alisnya.
"Ada apa?" Tanya Alex.
Elizabeth tersenyum malas.
"Bolehkah aku minta kue?" Balasnya.
Alex lalu pergi ke dapur dan kembali ke kamar Elizabeth sambil membawa nampan kue. Mata Elizabeth terbelalak dan dia bisa merasakan perutnya keroncongan.
"Terima kasih!" Seru Elizabeth.
Elizabeth bersenandung sambil menggigit kue dan menjerit kecil.
"Enak sekali.." Kata Elizabeth.
"Para tukang masak di dapur pasti senang mendengarnya, Nona," jawab Alex dengan sengaja.
Tiba-tiba sebuah garpu terselip di bibir Elizabeth. Alex menatapnya, Elizabeth mengerjap sebelum balas menatap Alex. Elizabeth terus menatap garpu dengan sepotong kue di atasnya tanpa bergerak. Elizabeth mendesah, menggeleng. Meyakinkan dirinya bahwa Alex tidak akan mungkin meracuni kue itu untuk membunuhnya.
Elizabeth lalu menyodorkan garpu ke arah Alex, dan dengan ragu, Alex memakannya. Alex mengangguk sebelum melanjutkan makan kue-kuenya.
"Apa Nona tahu, saya masih tidak percaya pada Nona," Alex berbicara dengan nada dingin.
Elizabeth menatap kosong ke atas mendongak dan hanya disambut oleh mata hitam dingin Alex. Elizabeth menggigit kue lagi dengan santai sebelum mengangguk.
"Ya, aku tahu. Aku juga." Ucap Elizabeth.
"Hah!" Seru Alex bingung.
"Aku juga. Aku juga tidak percaya padamu. Memangnya kenapa kalau aku pencipta dunia ini? Aku juga belum percaya padamu. Kita berdua impas," jelas Elizabeth sambil menunjuk garpunya sebelum menusuk kue lagi.
Alex tidak bisa membalas ucapannya, jadi Elizabeth berasumsi itu karena Alex terlalu terkejut hingga tak bisa bicara.
...****************...
Keesokan harinya, seorang pelayan masuk ke kamar Elizabeth saat Alex sedang menyajikan teh untuknya. Wajah pelayan itu menunjukkan kepanikan dan kebingungan.
"Ada apa?" Tanya Elizabeth sambil bangkit dari kursi.
Dengan gemetar, pelayan itu mengangkat sebuah amplop berlapis emas dan bermeterai emas. Dia bicara terbata-bata.
"Su... surat dari Yang Mulia Pangeran!" Ucap pelayan itu.
Alex dan Elizabeth saling berpandangan sejenak sebelum mengambil amplop itu dari pelayan yang kemudian berlari pergi, mungkin untuk memberi tahu pelayan lain tentang informasi ini.
Elizabeth lalu duduk kembali dengan Alex di belakangnya untuk melihat surat itu. Elizabeth menatap bagian depan dan belakang amplop itu lalu sisi-sisinya.
"Nona, apa yang sedang Anda lakukan?" Tanya Alex bingung.
"Apakah ada cara untuk membuka amplop ini tanpa merusak segelnya?" Tanya Elizabeth dengan malu.
Alex mendesah, mengambil amplop itu dari tangan wanita itu sebelum merobeknya tanpa merusak segelnya. Setelah itu, dia menyerahkannya kembali pada Elizabeth.
"Wah, Alex, kamu hebat." Puji Elizabeth, tetapi Alex tidak menghiraukannya.
"Ya, terima kasih, Nona. Itulah sebabnya saya menjadi pelayan pribadi Anda." Balas Alex.
Elizabeth lalu mengeluarkan surat di dalam amplop dan membuka lipatannya. Matanya mengamati isi surat itu sebelum wajahnya memucat. Dia lalu melihat Alex dengan ekspresi bingung.
Elizabeth berkata, "Mengapa dia tiba-tiba ingin bertemu denganku!?"
Dia memegangi kepalanya sambil terus mengoceh.
"Ini seharusnya tidak terjadi. Aku tidak pernah menulis bagian ini di buku, aku bahkan tidak ingat pernah menulis apa pun tentang mereka berdua bertemu karena alasan pribadi! Elizabeth-lah yang selalu meminta untuk bertemu dengan Pangeran, bukan malah Pangeran yang mengundangnya seperti ini. Apa yang terjadi dengan bukuku? Ya Tuhan, apakah ini sudah kiamat?" Ucap Elizabeth panjang lebar.
Dia lalu mendengar Alex mendesah.
"Jangan panik seperti ini. Mungkin dia punya sesuatu untuk dikatakan. Dunia ini tidak akan kiamat, tolong tenang dan jangan bicara yang aneh-aneh." Ucap Alex.
"Ya, tapi ini aneh! Aku sampai merinding sekarang hanya karena ini," kata Elizabeth sambil menggigil, menggosok-gosokkan tangannya ke lengan. "Kapan dia bilang akan datang?" Tanya Elizabeth.
"Eh..tiga hari dari sekarang." Jawab Alex.
"Ya Tuhan Alex, apa kau pikir aku akan mati di tangan putra mahkota?" Ucap Elizabeth.
Dia menatap Alex dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan bereaksi berlebihan. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi." Jawab Alex.
"Kalau saja aku bisa mempercayai kata-katamu..." Ucap Elizabeth.
Elizabet lalu mendecak lidahnya sebelum meneguk teh yang sudah dingin.
Tak lama kemudian, seluruh keluarganya menyerbu kamarnya, menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan apakah benar Pangeran Lewis akan datang. Dengan kelelahan mental, dia menjawab semua pertanyaan mereka, dan tampaknya orang tuanya agak khawatir, sementara kakaknya tampak tidak senang sama sekali.
Tak lama kemudian Elizabeth menyadarinya, tiga hari telah berlalu dan hari yang ditakutkan itu pun tiba.
Bersambung...