NovelToon NovelToon
Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sang_Imajinasi

Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.

Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.

Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Perjalanan pulang ke rumah terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan bagi Erencya. Setiap putaran roda mobil Lusi seakan mengantarnya lebih dekat pada vonis yang tak terhindarkan. Lusi, merasakan kegelisahan sahabatnya, tidak banyak bicara, hanya sesekali melontarkan kata-kata penyemangat yang terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri. Saat mobil berhenti di depan gerbang rumahnya yang megah, Erencya merasa bangunan itu bukan lagi sebuah rumah, melainkan sebuah benteng yang akan mengurungnya.

"Kabarin gue apa pun yang terjadi, ya," kata Lusi pelan sebelum Erencya turun.

Erencya hanya bisa mengangguk lemah. Ia melangkah keluar dari mobil dengan kaki yang terasa seperti jeli. Saat ia masuk ke dalam rumah, suasana dingin langsung menyergapnya. Berbeda dari pagi tadi yang riuh rendah, kini rumah terasa hening dan mencekam. Mamanya muncul dari ruang tengah, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara cemas, kecewa, dan sedih.

"Erencya," sapa Mamanya, suaranya pelan. "Papa menunggumu di ruang kerja."

Dada Erencya terasa sesak. Ruang kerja papanya adalah tempat yang sakral. Tempat itu hanya digunakan untuk urusan bisnis yang sangat penting atau masalah keluarga yang sangat serius. Ia tidak pernah dipanggil ke sana sendirian sebelumnya.

Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu kayu jati yang menjulang di ujung koridor. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuknya pelan.

"Masuk."

Suara berat papanya dari dalam terdengar tanpa emosi, yang justru membuatnya semakin menakutkan. Erencya membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalamnya, papanya duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan berkilauan. Di sofa kulit di sisi ruangan, duduk Bryan, kakak ketiganya, dengan lengan bersedekap dan tatapan tajam yang seolah bisa menembus dinding. Tidak ada kakak-kakak atau adiknya yang lain. Ini adalah sidang yang serius.

"Duduk," kata Papanya, menunjuk kursi di depan mejanya.

Erencya duduk dengan kaku, tangannya terkepal di pangkuannya. Selendang songket pemberian Akbar terasa berat di dalam tasnya, seperti sebuah barang selundupan.

Papanya menatapnya lekat selama beberapa saat, keheningan di antara mereka terasa memekakkan. "Bagaimana proyek fotografinya hari ini?" tanyanya, suaranya tenang namun dingin.

"Baik, Pa. Kami... kami dapat banyak foto bagus," jawab Erencya, suaranya nyaris tak terdengar.

"Oh ya?" Papanya menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bryan," panggilnya.

Bryan berdeham. "Aku tadi siang kebetulan lewat Jembatan Gentala Arasy," Bryan memulai, nadanya datar seperti seorang jaksa. "Dan aku melihat seorang gadis yang sangat mirip denganmu, Ren. Mengenakan blus biru langit yang sama persis seperti yang kamu pakai tadi pagi. Tapi dia tidak sedang memegang kamera. Dia sedang berpegangan tangan dengan seorang laki-laki."

Setiap kata adalah sebuah pukulan. Erencya hanya bisa menunduk, menatap lantai marmer yang dingin.

"Itu bukan kamu, kan, Erencya?" tanya Papanya. "Karena kamu bilang, kamu pergi bersama Lusi untuk proyek sekolah."

Erencya menggigit bibirnya, otaknya berputar mencari jawaban. Haruskah ia terus berbohong? Atau haruskah ia mengaku? Tatapan tajam Bryan seolah berkata bahwa kebohongan lebih lanjut adalah sia-sia.

"Dia... dia juga teman kami, Pa," cicit Erencya. "Dia membantu... membawakan peralatan."

Bryan tertawa sinis, sebuah tawa tanpa humor. "Membawakan peralatan sambil berpegangan tangan dan saling menatap seolah dunia milik berdua? Alasan yang bagus, Ren. Tapi tidak cukup bagus."

"Bryan, cukup," kata Papanya, memotong dengan tajam. Ia kembali menatap Erencya, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Papa tidak pernah menyangka kamu akan membohongi Papa seperti ini, Erencya. Kepercayaan yang Papa berikan, kamu sia-siakan hanya untuk bisa bertemu dengan seorang laki-laki. Siapa dia?"

Air mata mulai menggenang di mata Erencya. Bukan lagi ketakutan yang ia rasakan, melainkan rasa sakit karena telah mengecewakan ayahnya. "Namanya Akbar, Pa."

"Akbar," ulang Bryan, seolah nama itu meninggalkan rasa tidak enak di mulutnya. "Aku sudah cari tahu sedikit tentang dia sejak aku melihat kalian tadi."

Erencya mengangkat kepalanya, terkejut. Tentu saja. Bryan, dengan koneksi dan kemampuannya, tidak akan tinggal diam.

"Akbar," lanjut Bryan sambil membuka tabletnya, "mahasiswa semester akhir jurusan Sejarah di sebuah universitas negeri di Padang. Bukan dari keluarga berada. Ayahnya sudah meninggal. Ibunya, seorang janda, membuka warung nasi kecil di depan rumah mereka."

Setiap detail yang diungkapkan Bryan terasa seperti sebuah serangan terhadap Akbar, terhadap kesederhanaan hidup pria itu. Erencya ingin berteriak, ingin membela Akbar, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

"Anak yang baik, sepertinya," komentar Papanya datar. "Pekerja keras, mau membantu ibunya. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kamu telah berbohong, Erencya. Dan kamu membawa-bawa nama Lusi dalam kebohonganmu."

"Aku yang salah, Pa. Bukan Kak Akbar," kata Erencya, akhirnya menemukan suaranya. "Dia orang baik."

"Orang baik tidak akan mengajak anak gadis orang untuk bertemu diam-diam di belakang orang tuanya," sela Bryan dingin. Ia menatap ayahnya. "Tapi bukan itu masalah terbesarnya, Pa."

Bryan menggeser layar tabletnya, lalu memutarnya menghadap ayahnya. Erencya tidak bisa melihatnya, tapi ia melihat perubahan drastis di wajah papanya. Raut kecewa itu kini berubah menjadi raut kaget, lalu mengeras menjadi sebuah ekspresi dingin yang belum pernah Erencya lihat sebelumnya.

"Dan yang paling penting," kata Bryan, suaranya kini terdengar final. "Dia seorang Muslim."

Satu kata itu jatuh di tengah ruangan yang hening seperti sebuah bom. Muslim. Inilah dia. Dinding tertinggi dan terkokoh yang selama ini ia coba lupakan.

Papanya menarik napas panjang, meletakkan kedua tangannya yang terkepal di atas meja. Kehangatan di matanya telah sirna sepenuhnya. "Berikan ponselmu," perintahnya, suaranya tidak lagi dingin, melainkan sedingin es.

"Tapi, Pa..."

"Berikan. Sekarang."

Dengan tangan gemetar, Erencya mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di atas meja. Benda itu terasa seperti borgol yang baru saja ia pasangkan pada dirinya sendiri.

"Mulai hari ini, sampai Papa putuskan lain, kamu tidak boleh keluar rumah kecuali untuk sekolah. Tidak ada lagi proyek fotografi, tidak ada lagi jalan-jalan bersama Lusi. Pulang sekolah, langsung pulang," kata Papanya, setiap kata adalah sebuah paku yang menancap di peti mati kebebasannya.

"Dan soal laki-laki itu," lanjutnya, matanya menatap Erencya dengan tatapan yang tak bisa dibantah. "Lupakan dia. Putuskan semua hubungan dengannya. Hubungan seperti ini tidak akan pernah Papa restui. Tidak akan pernah ada tempat untuknya di keluarga ini. Apa kamu mengerti?"

Air mata Erencya mengalir deras. Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. Ini bukan sekadar hukuman karena berbohong. Ini adalah sebuah penghakiman. Perasaannya pada Akbar, semua momen indah yang telah mereka lalui, dianggap tidak ada artinya, dihapuskan hanya karena sebuah perbedaan yang tidak bisa mereka ubah.

"Keluar," perintah Papanya.

Erencya berdiri dengan kaki lemas dan berjalan keluar dari ruang kerja itu. Di luar, mamanya sudah menunggunya dengan mata yang juga berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, mamanya memeluknya, sebuah pelukan yang menyiratkan simpati namun juga ketidakberdayaan.

Erencya melepaskan pelukan itu dan berlari menuju kamarnya. Ia menutup pintu dan tubuhnya merosot ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan semua rasa sakit, takut, dan putus asa. Ia terkunci. Terisolasi. Dan yang terburuk dari semuanya, ia tidak punya cara untuk memberitahu Akbar.

Di seberang kota, di kamar guesthouse-nya yang sepi, Akbar menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah hampir tiga jam berlalu sejak Erencya pulang. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Ia mencoba menelepon, namun panggilannya langsung dialihkan ke kotak suara. Ia mengirim beberapa pesan, namun semuanya hanya bertanda centang satu. Tidak terkirim.

Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia bisa merasakannya. Keheningan dari seberang sana terasa lebih menakutkan daripada teriakan mana pun. Ia sendirian di kota yang asing, menunggu kabar dari gadis yang ia cintai, tanpa menyadari bahwa gadis itu kini telah dipisahkan darinya oleh dinding-dinding yang jauh lebih tebal dari sekadar tembok rumah.

1
👣Sandaria🦋
kentara sekali ini Akbar yg pegang kendali, Kak. mungkin itu enaknya punya hubungan dengan bocil😅
👣Sandaria🦋
anak SMA punya cowok anak kuliahan pasti senang banget dia, Kak. bisa dibanggakan pada temannya. tapi bagi cowok yg anak kuliahan punya cewek SMA pasti sering diledek temannya. biasanya begitu. malah dikatain pedofill🤦😂
Sang_Imajinasi: tapi muka anak kuliahan baby face kok 🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
iya. siapa tahu sebentar lagi Akbar jadi seorang CEO. kek di nopel-nopel🤦😂
Sang_Imajinasi: hahaha ga sampai ceo2 an 🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
wah. sholeh juga Akbar. tebakanku kalau mereka berjodoh. si cewek yg login🤔🤣
Sang_Imajinasi: iya cewek nya yang login, udh belajar juga sebagian 🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
dunia maya penuh tipu-tipu. hati menginjak otak mah lumayan. yg parahnya yg enggak kebagian otak itu, Thor😂
Sang_Imajinasi: Hahahaha 🤣
total 3 replies
👣Sandaria🦋
aduh! ini lagi. 18 tahun baru kelas 1 SMA, Thor? berapa tahun itu tinggal kelasnya?😭😭😭 atau authornya masuk SD umur 8 th kali..?🤔
👣Sandaria🦋
nama gurun banget ya?😆
👣Sandaria🦋
24 tahun baru nyusun skripsi, Thor? model-model mahasiswa sering nitip absen ini nampaknya🤔😆
Sang_Imajinasi: 🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
👣Sandaria🦋
aku dulu juga pernah mengalami hal konyol serupa, Thor. terpaku melihat profil aktor-aktor Korea. rasa-rasa bisa kumiliki😭😂
👣Sandaria🦋
mampir, Kak. menarik kayaknya nih. cinta menabrak aturan. Muslim Minang - Budha Tionghoa. kita lihat bagaimana cara authornya menyelesaikan perkara ini. dan seberapa cantik manuvernya. berat lho ini. gas, Kak!😅
Fendri
wah hp yang disita dibalikin ayahnya, jadi bakal hubungin akbar donk
Fendri
kalau dihayati cerita nya jadi sedih juga berasa diposisi mereka 🤭
Sang_Imajinasi: jangan sampai 🤣🤣
total 1 replies
Fendri
lanjut lagi thor jadi penasaran wkkw
Sang_Imajinasi
ON-GOING
Fendri
lanjut thor baguss
Fendri
awal dari segalanya ini
Bayu
bikin happy ending aja thor ini 😅
Bayu
jangan sad ending yah
Bayu
anak kuliahan nih
Lira
bakalan seru nih ini😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!