Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia, Cahaya Di Tengah Kegelapan
...BAB 19...
...DIA, CAHAYA DI TENGAH KEGELAPAN...
Hari itu cuaca cukup cerah, langit membiru tanpa awan yang menggantung. Suasana pesantren seperti biasa, tenang dan dipenuhi aktivitas santri yang sedang bersiap untuk kajian sore.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah saat suara deru mesin motor gede yang bising terdengar dari kejauhan. Beberapa santri yang sedang membersihkan halaman terdiam dan menoleh ke arah gerbang utama pesantren.
“Eh, suara apaan tuh? Kok rame banget motor?” ujar salah satu santri putra.
BRUUUMM BRUUMM BRUUMMMM...
Tak lama kemudian, sekumpulan pengendara motor gede warna warni dengan tampilan eksentrik memasuki pelataran pesantren. Geng MOGE! Mereka mengenakan jacket kulit, celana sobek dan beberapa di antaranya penuh tato temporer dan aksesoris aneh.
Yang paling mencolok adalah Gita dan Nisa, dua anggota cewek yang tidak memakai hijab. Penampilan mereka benar-benar membuat semua yang melihatnya ternganga.
“Astagfirullah...” terdengar dari mulut para santri dan bahkan beberapa Ustad yang sedang berada di sekitar halaman. Suasana langsung berubah menjadi heboh, dan beberapa santri putri bahkan masuk ke asrama karena syok.
Ustad Hamzah, yang kebetulan melihat dari kejauhan, langsung menghampiri dengan ekspresi waspada.
“Ini... siapa mereka?” gumamnya pelan.
Geng MOGE berhenti tepat di tengah halaman. Pemimpin mereka, seorang cewek dengan rambut dikuncir tinggi dan jacket bertulistan “Geng MOGE ROAR” turun dari motornya dan membuka helm.
“ARABELAAAAA!!!” teriaknya keras.
Arabella yang sedang membantu Ustadzah Rina di dalam aula, langsung mengernyit. Dia mengenali suara itu. Wajahnya langsung berubah pucat.
“Ya Rabb... kenapa mereka kesini sih?!” desisnya panik.
Dia buru-buru keluar aula dan berjalan cepat kearah halaman. Saat melihat wajah-wajah lama dari para sahabat gengnya terutama Gita dan Nisa, Arabella langsung menepuk jidat.
“Kalian ngapain kesini sih? Pake acara heboh segala lagi!” protes Arabella setengah berbisik.
Gita hanya nyengir lebar, “Kita kangenlah sama ketua! Masa udah jadi santri langsung lupa sama gengnya?”
Para santri semakin ribut. Beberapa berbisik-bisik sambil menunjuk Arabela.
“Jangan-jangan dia dulu anak geng beneran...”
“Eh seriusan? Itu gengnya?”
Sementara itu, para Ustad dan Ustadzah berkumpul di teras aula, semua bingung harus bertindak apa. Ustad Jiyad bahkan sampai mengelus dada berkali-kali, sementara Ustad Izzan hanya diam menatap dengan tatapan dingin tapi bingung.
“Ya Allah.. Bella oh Bella... apalagi ini coba...” gumam Ustadzah Rahma sambil memegangi pelipis.
Arabella yang sadar keadaan makin kacau langsung menarik Gita dan Nisa menjauh dari pusat keramaian.
“Udah deh, kalo mau ketemu ngobrolnya tar aja, jangan bikin heboh gini napa?! Ini tuh pesantren, bukan basecamp geng kita dulu...”
Gita tertawa, “Oke.. oke.. tapi kita gak bakal pulang sebelum ketemu dan ngobrol banyak, ya. Kita tuh kangen tau sama ketua kita yang sekarang udah jadi... Ustadzah kecil?”
Arabella menghela napas berat, sementara dari kejauhan, Ustad Izzan masih menatap dengan alis berkerut dan dada bergemuruh.
Beberapa menit kemudian, Arabella berdiri di hadapan para Ustad termasuk Ustad Izzan, menundukkan kepala sambil berkata...
“Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kegaduhan yang terjadi. Saya tidak tau kalau mereka akan datang seperti ini. Tapi... mereka teman saya, dan saya harap bisa membawa mereka ke taman belakang saja untuk ngobrol sebentar.”
Ustad Izzan memandangi Arabella cukup lama sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Silahkan, Arabella. Tapi dengan satu syarat. Mereka harus tertib dan tidak menimbulkan kekacauan lebih lanjut. Ini tetap lingkungan pesantren.”
Arabella menngangguk dengan penuh rasa tanggung jawab. “InsyaAllah, Ustad. Saya akan jaga mereka.”
Gita, Nita, Aji, Faisal, Rizal dan anggota geng lainnya pun diarahkan menuju taman pesantren oleh Arabella. Meski masih dengan gaya khas mereka, mereka berjalan lebih tertib, sesekali masih melirik sekitar dengan takjub.
Sementara para santri dan Ustad hanya bisa mengawasi dari jauh, masih tak percaya bahwa Arabella yang selama ini dikenal absurd dan jahil juga barbar ternyata punya sejarah lenih heboh dari yang mereka bayangkan.
Di taman belakang pesantren, di bawah rindangan pohon mangga yang sedang berbuah, geng Moge duduk melingkar bersama Arabellla. Suasana lebih tenang, meski tetap saja, Gita dan Nisa masih jadi pusat perhatian karena penampilan mereka yang kontras dengan lingkungan pesantren.
“Lord, aslinya lo sekarang jadi santri beneran? Gila, gue sampe mikir ini mimpi pas liat lo tadi pake gamis sama kerudung gede gitu,” ujar Rizal sambil ngakak.
Arabella menatapnya santai, “Iya lah. Gue udah pensiun dari dunia kita yang dulu. Gue capek, Zal. Hidup gue sekarang jadi lebih adem, lebih... punya tujuan.”
Gita menyikut Arabella, “Tapi lo masih absurd ya. Masih bisa tidur pas lagi ngelatih beladiri. Itu viral tau nggak?!”
Arabella tertawa kecil. “Ya namanya juga Arabella. Mana bisa lepas dari ke-absurd-an hidup.”
Nisa memandangi taman sejenak. “Tempat ini... tenang banget. Kayak dunia yang beda. Gue jadi mikir, apa mungkin ya orang kayak kita bisa berubah?”
Aji bersandar di pohon dan bersuara pelan, “Gue salut, Bell. Lo gak Cuma ninggalin masa lalu, tapi lo juga berani berdiri di tempat kayak gini dan ngakuin siapa lo sebelumnya.”
Arabella tersenyum. “Gue gak malu sama masa lalu gue lagi. Tapi gue juga gak mau hidup disana terus. Gue mau jadi lebih baik. Buat diri gue, buat orang tua gue, dan buat... masa depan.”
Mereka semua terdiam. Merenung. Bahkan Gita yang biasanya cerewet pun diam cukup lama. Lalu Faisal berseru.
“Wah.. kata-kata lo keren banget Lord. Gue jadi mikir buat belajar ngaji deh. Tapi ngajinya sama lo aja, boleh?”
Arabella ngakak. “Boleh, asal lo nggak godain Ustadzah lain di sini. Lo bisa-bisa disidang sama Kiyai!”
Semua tertawa lepas. Dan untuk pertama kalinya, geng moge merasakan keheningan dan kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Di sisi lain, Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah terus membicarakan Arabella di ruang guru putri.
“Lihat sendiri kan, teman-temannya seperti preman. Apa pantas santri melihat Arabella sebagai contoh?” keluh Ustadzah Rahmah.
“Iya, saya juga khawatir para santri terpengaruh. Arabella memang cerdas, tapi terlalu bebas. Tidak seperti gadis baik-baik lain,” timpal Ustadzah Halimah.
Pandangan mereka mulai menyebar, memengaruhi sebagian Ustadzah lain dan beberapa santri. Mereka mulai memandang Arabella dengan kecurigaan, tidak tau bahwa perubahan Arabella justru datang dari perjuangan panjang untuk menjadi lebih baik.
Ketika adzan berkumandang dari masjid pesantren, Arabella langsung berdiri. Dia menoleh pada gengnya. “Yuk kita sholat. Ini waktunya.”
Nisa mengernyit. “Bell, kita... kayaknya belum pantes, deh. Gue aja belum bisa wudhu yang bener.”
Gita menunduk “Apa boleh, Bell? Kita ini udah kotor loh, dosanya aja udah banyak.”
Aji mengangkat bahu. “Gua malah nggak pernah sholat dari kecil.”
Arabella menarik napas panjang, lalu menatap mereka dengan mantap. “Justru karena kita pernah kotor, kita harus bersihin diri. Allah itu bukan cari yang sempurna, tapi yang mau balik dan berubah. Ayo, kalian ikut gue. Nggak usah takut salah. Kita belajar sama-sama.”
Mereka saling pandang, lalu satu persatu mengangguk. Perlahan, mereka berjalan menuju tempat wudhu, diikuti Arabella yang tersenyum bangga. Hari itu, di bawah langit senja, geng moge yang dulu urakan akhirnya mengambil langkah kecil menuju cahaya.
Melihat geng moge berjalan ke arah tempat wudhu, banyak santri yang menatap mereka dengan rasa takut, jijik, bahkan meremehkan. Bisik-bisik mulai terdengar di antara kerumunan. Diantara mereka, terdengar ucapan lantang dari Ustadzah Rahmah yang tidak mampu ditahan oleh emosi.
“Mereka itu nggak pantas menginjakkan kaki ke masjid yang suci ini! Lihat saja penampilan mereka, rusak kan jadinya citra pesantren!”
Ucapan itu menyulut kemarahan dalam hati Arabella. Dia berdiri di hadapan semua orang, matanya tajam menatap Ustadzah Rahmah.
“Ustadzah, rumah Allah bukan cuma buat mereka yang udah suci. Justru disinilah tempat kita mencari kesucian. Dan mereka? Datang bukan untuk merusak, tapi untuk mencari jalan pulang. Kalo setiap orang dianggap kotor dan ditolak masuk ke masjid, trus gimana mereka bisa berubah?”
Para santri terdiam. Suasana tegang menyelimuti lapangan pesantren. Namun Ustadzah Rahmah tidak tinggal diam. Dengan nada tinggi dia menjawab.
“Kamu ini terlalu percaya diri, Arabella! Apa kamu yakin bisa membimbing mereka hanya karena kamu merasa pernah salah dan berubah?”
Arabella menarik napas dalam, lalu melangkah satu langkah maju. Suaranya tenang, tapi penuh kekuatan. “Saya nggak yakin sama diri saya, Ustadzah. Tapi saya yakin dengan Allah. Karena yang membolak-balikkan hati bukan saya, bukan juga Ustadzah, tapi Allah. Kalau saya bisa berubah karena kasih sayang-Nya, siapa saya untuk meragukan mereka? Bukankah yang terpenting bukan siapa kita dulu, tapi siapa yang ingin kita jadi sekarang?”
Kata-kata itu menampar telak. Ustadzah Rahmah terdiam, wajahnya memerah. Tak ada lagi jawaban. Semua santri yang tadi memandang geng moge dengan tatapan meremehkan, kini menunduk malu.
Dari kejauhan, Kiyai Hasyim yang berdiri di belakang para santri hanya tersenyum tipis, menatap penuh kagum pada Arabella, putri sahabatnya yang kini bersinar dengan kebijaksanaan dan keberanian.
Sementara itu, di belakang Arabella, Gita. Nisa, Aji, Faisal, Rizal dan anggota geng lainnya menatap punggung sang ketua dengan mata berkaca-kaca. Mereka tidak menyangka akan dibela begitu kuat oleh Arabela, bahkan di hadapan seluruh pesantren. Hati mereka tergetar. Mereka yang selama ini merasa tak punya tempat, kini merasa diterima. Kekaguman dan rasa haru memenuhi dada mereka.
“Gila... Lord keren banget...” bisik Aji sambil mengusap air mata yang jatuh diam-diam.
Nisa yang sejak tadi menunduk, kini menatap Arabella dengan bangga. “Apa kita... masih bisa berubah ya, Bell?”
Arabella menoleh dan tersenyum tipis. “Selama Allah masih ngasih kita buat napas, itu artinya kita masih dikasih kesempatan. Yuk. Wudhu dulu.”
Geng Moge pun berjalan bersama ke tempat wudhu dengan langkah yang berbeda. Lebih ringan, lebih percaya diri. Dan untuk pertama kalinya, mereka merasa diterima apa adanya.
Arabella membimbing mereka dengan sabar, satu persatu memperlihatkan cara berwudhu yang benar. Dia mengulang jika ada yang belum paham, bahkan menyeka air mata Gita yang merasa canggung. Setelah wudhu, mereka berjalan bersama ke masjid dan menunaikan sholat berjamaah.
Selesai sholat, mereka duduk sejenak di serambi masjid. Mata beberapa dari mereka masih sembab karena haru.
“Kayak mimpi ya, bisa sholat bareng lo, Bell,” gumam Aji pelan.
Arabella hanya tersenyum lembut. “Jangan berenti di sini. Lanjut terus ya. Allah itu Maha Baik, selalu nunggu kita balik lagi ke Padanya.”
Mereka pun berpamitan. Gita memeluk Arabella erat. “Thank’s, Lord. Kita bakal sering ke sini ya. Janji.”
Arabella mengangguk, lalu menoleh ke Rizal. “Bang Rizal, Buat sekarang... Gue nggak bisa sering sering ke markas. Jadi, gue serahin ke abang buat jagain anak-anak. Bimbing mereka ya Bang. Gue percaya sama Abang.”
Rizal mengangguk pelan, lalu mengepalkan tangan. “Siap, Lord. Lo jaga diri juga di sini.”
Para anggota geng moge mulai bersiap untuk berpamitan. Wajah-wajah mereka tampak haru dan penuh rasa hormat, meski tetap saja tidak bisa menyembunyikan gaya mereka yang nyentrik dan urakan.
“Assalamualaikum, Pak Ustad! Maaf ya tadi kita sempet bikin rame...” ujar Aji sambil mengangkat tangan seperti hendak tos, padahal yang lain sedang membungkuk sopan.
Faisal yang bertubuh tinggi besar malah dengan polosnya mencoba mencium tangan Ustad Izzan, tapi salah arah dan malah mencium lengan bajunya.
“Aduh maaf, Ustad. Grogi saya,” ucapnya buru-buru sambil nyengir.
Nisa dan Gita yang sebelumnya banyak diam kini juga ikut maju.
“Ustadzah.. eh, Ustad! Makasih ya udah bolehin kita buat sholat di sini,” ujar Gita dengan suara setengah gugup, lalu menoleh ke Arabella. “Lord, pesantrennya adem ya. Beda banget sama markas.”
Ketika mereka hendak keluar dari area masjid, mendadak Kiyai Hasyim yang baru saja keluar dari masjid menatap mereka.
“Eh... Itu.. Itu Kiyainya ya?” bisik Rizal panik.
“Iya.. salim gih!” sahut Arabella pelan sambil mendorong mereka ke depan.
Bang Rizal pun melangkah paling depan dan membungkuk canggung.
“Eu.. Assalamualaikum, Kiyai... maaf ya kami agak... eu... beda style. Tapi Alhamdulillah kami udah sholat bareng Bella.”
Kiyai Hasyim tertawa kecil, matanya teduh menatap mereka semua.
“Waalaikumsallam. Kalian tamu, dan tamu adalah kehormatan. Semoga langkah kalian ke masjid ini jadi awal yang baik.”
“Ammin!” ucap serempak geng moge, ada yang mengangkat tangan ke langit, ada juga yang malah mengangguk-ngangguk seperti sedang di konser.
Arabella memegangi dahinya sambil tertawa. “Udah, buruan balik sebelum kalian ngelawak lebih banyak lagi di sini.”
Mereka pun pamit dan melambaikan tangan sambil berjalan menjauh, meninggalkan jejak tawa, haru dan kekaguman tersendiri bagi para santri dan ustad yang melihgat.
Sementara itu, Kiyai Hasyim menatap punggung Arabella dengan senyum bangga.
“Ardan... Putrimu benar-benar cahaya di tengah kegelapan.”