“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS19
Satu hari setelah kepergian Bey Murad, suasana istana diliputi kabar duka. Suami dari adik Bey Murad meninggal dunia.
Ibu Suri terpaksa meninggalkan istana untuk sementara, menemani putrinya yang tengah berkabung di kediaman keluarganya.
Menurut adat, perempuan yang baru ditinggal mati suami dilarang melakukan perjalanan hingga masa berkabung berakhir. Maka, Ibu Suri pun akan menetap di sana lebih lama dari yang direncanakan.
Selama kepergiannya, urusan harem dipercayakan kepada Esma dan Zeynep Hatun. Esma ditugaskan untuk tetap melaksanakan aktivitas harem seperti biasa, yakni pengajian dan sedekah untuk para dayang serta pelayan. Sementara Zeynep bertugas mengawasi kedisiplinan dan memastikan setiap aturan istana tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Hari itu, di tengah lantunan ayat-ayat suci, Yasmin melangkah masuk ke dalam harem dengan langkah tergesa, diikuti oleh Safiye dan salah satu pria tua berjanggut tebal, yakni tabib istana.
“Bisakah kalian hentikan sejenak kegiatan ngaji-mengaji ini? Aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Yasmin dengan congkaknya.
Semua orang di ruangan itu terdiam, aktivitas pun terpaksa dihentikan. Semua mata menatap tak suka ke arah Yasmin.
“Hal penting apa yang ingin kau katakan sampai harus mengganggu kegiatan mulia ini, Yasmin Hatun?” tanya Esma.
Sudut bibir Yasmin terangkat. Ia lekas menoleh ke arah tabib. “Pelayan atas nama Fatma, engkau yang memeriksa keadaannya sejak awal, kan, Pak Tua?”
Sang tabib maju selangkah, mengangguk singkat. “Benar, Yasmin Hatun.”
“Sekarang, jelaskan pada kami, apa yang terjadi pada Fatma ... sehingga wajahnya tiba-tiba menjadi hancur seperti itu?” tatapan Yasmin beralih pada Esma, seakan berkata, ‘kena kau!’
Tabib itu menunduk hormat di hadapan para hatun, lalu membuka gulungan catatan kecil yang ia bawa.
“Berdasarkan pemeriksaan hamba terhadap barang-barang terakhir yang digunakan mendiang Fatma,” ujarnya perlahan, “hamba menemukan sisa racun yang bercampur dalam minyak zaitun miliknya. Racun itu berasal dari bunga Nerium Orlande — bunga yang bila mengenai kulit dapat menyebabkan bengkak, melepuh, bahkan bernanah. Jenis bunga ini, sayangnya, banyak dibudidayakan di taman istana.”
Kening Zeynep Hatun berkerut. “Jadi maksud Anda ... Fatma diracuni? Dan pelakunya kemungkinan merupakan salah satu dari penghuni istana?”
Sang tabib mengangguk. “Benar, Zeynep Hatun. Ibu Suri sebenarnya memintaku merahasiakan hal ini agar tidak menimbulkan kegaduhan,” dustanya.
Padahal kenyataannya, Yasmin Hatun-lah yang pertama kali mengetahui hasil pemeriksaan itu. Dengan sekantung emas, ia membeli suara sang tabib dan menukar kebenaran dengan kebohongan yang kini terucap di hadapan Zeynep.
“Astagfirullahalazim ... iblis mana yang sanggup melakukan perbuatan keji seperti itu?”
Yasmin menjentikkan jarinya tiba-tiba, bibirnya tersenyum lebar. “Aku tau siapa pelakunya, Zeynep.”
Di ambang pintu harem yang masih terbuka lebar, dua algojo masuk sambil menyeret kasar seorang gadis bersimbah darah. Semua mata bergidik ngeri melihat kondisi gadis malang itu. Merekapun serentak menoleh ke arah Esma.
“Alena?!” Esma bangkit dari duduknya, matanya membelalak melihat pelayan setianya yang sedari maghrib tak nampak batang hidungnya—kini tiba-tiba muncul dalam kondisi mengenaskan. “Apa yang kalian lakukan terhadap sahabatku?!”
Wanita itu melangkah maju dengan berani, mencoba melepaskan tangan Alena dari cekalan dua algojo. Namun, tenaganya tak sebanding. Dorongan kasar salah satu algojo, justru membuatnya terjerembab ke lantai.
Yasmin terkekeh pelan melihat adegan itu. “Bisakah kau tenang, Esma? Kenapa kau seperti melihat setan begini? Kau takut jika aksi bejatmu diketahui oleh seluruh penghuni harem?”
Esma lekas berdiri. “Apa maksud dari perkataanmu, Yasmin?!” Matanya menatap nyalang.
Yasmin mengulum bibir, menahan tawa. Ia menoleh ke samping—memanggil dayangnya. “Safiye!”
Safiye yang berdiri di sisi Yasmin pun menunduk, mengerti maksud panggilan itu. Ia lekas memberi isyarat pada dua dayang lain yang membawa kantong kain lusuh, untuk segera maju. Dari dalamnya, mereka mengeluarkan beberapa batang bunga kering berwarna merah muda pucat, beserta wadah kosong.
“Benda ini ditemukan di kamar pelayan bernama Alena,” ucap Safiye dengan senyuman licik. “Sisa bunga Nerium Orlande, racun yang sama yang ditemukan di minyak zaitun milik mendiang Fatma.”
Ruangan yang tadinya hening, kini penuh bisik-bisik. Semua mata tertuju pada Alena— gadis dengan gaun compang-camping akibat terkena siksaan puluhan cambuk.
Yasmin melipat tangan di depan dada, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Lihatlah, Esma. Bukti tak bisa berbohong. Kau ingin membela pelayanmu itu, padahal ia lah pelaku yang membuat Fatma tewas dalam sengsara. Atau jangan-jangan, engkaulah yang memerintahkan pelayanmu untuk melakukan tindakan keji itu? Dan hal itu pula yang menjadi penyebab Fatma sampai gelap mata memakai jasa Cinçi Hoca demi melenyapkan nyawamu?”
Sungguh lihai mulut Yasmin membolak-balikan fakta. Padahal yang sebenarnya terjadi—pada hari itu, saat Alena diam-diam meneteskan sedikit racun ke wadah minyak zaitun milik Fatma dengan tujuan sekadar ingin memberi pelajaran atas kejahatan wanita itu, seorang mata-mata Yasmin telah mengintainya. Orang itu kemudian membuntuti Alena sampai ke tempat pembuangan sampah di belakang istana, di mana sisa bunga Nerium serta wadah berisi sisa racun dibuang. Setelah Alena pergi, ia memungut bungkusan itu dan menyerahkannya pada Yasmin.
Yasmin, yang tak tahu pasti apa benda itu, membawa racun itu pada tabib kepercayaan ayahnya, Rustum Pasha. Dari sanalah ia tahu betapa berbahayanya bunga tersebut. Dan dengan liciknya, Yasmin memerintahkan agar seluruh sisa racun dituangkan ke wadah minyak zaitun milik Fatma — sedangkan batang-batang bunga beracun ia simpan rapi, untuk digunakan saat waktu tepat tiba.
“Esma Hatun tidak bersalah,” gumam Alena sembari meringis.
“Ck!” Yasmin berdecak. “Kau masih ingin melindunginya, ya? Baiklah ....” Ia menoleh ke salah satu algojo, lalu memberikan isyarat.
PLAK!
Arrrggghhh!
“AAAAAAAA ...!”
Para hatun menjerit histeris ketika cambuk algojo menghantam punggung Alena. Di dalam harem, hukuman seperti itu bukan sekadar kejam—melainkan pelanggaran terhadap kehormatan harem.
“Hentikan dua algojo mu itu, Yasmin!” teriak Esma murka.
Namun Yasmin tak menggubris. Ia justru merampas cambuk dari tangan algojo, lalu mengayunkannya sendiri ke tubuh Alena.
PLAK! PLAK!
“Hentikan!” teriak Esma murka, ia tak sanggup melihat Alena menanggung derita. Tersulut emosi, ia segera merampas cambuk dari tangan Yasmin—dan tanpa pikir panjang, Esma mengayunkan benda itu ke betis Yasmin tanpa mengetahui konsekuensinya.
Arrgghh!
Yasmin meraung kesakitan, namun di dalam hatinya—ia tertawa senang.
“Kau menyerang ku?!” Yasmin meringis menahan perih. “Kalian semua menyaksikannya, bukan?!”
Dalam sekejap, ruangan yang tadinya penuh dengan jeritan, seketika berubah hening—seolah waktu berhenti. Semua tahu apa artinya tindakan itu. Esma baru saja melakukan pelanggaran besar, yakni menyentuh dan melukai ibu dari calon penerus tahta. Dosa yang tak terampuni di dalam harem, sekaligus penghinaan terhadap darah kerajaan.
Yasmin menatap Esma dengan mata menyala penuh kebencian, lalu ia menjerit lantang. “Bawa perempuan biadab itu ke penjara!”
Zeynep mencoba meredakan ketegangan dan membela Esma tanpa berpihak secara frontal. “Yasmin Hatun, tenangkan dirimu, jangan bertindak gegabah. Esma—”
“Tutup mulut mu, Zeynep!” potongnya cepat. Wanita tak tahu sopan santun itu menatap tajam ke arah lawan bicaranya. “Kau tau yang dilakukan wanita itu adalah sebuah kejahatan. Ia telah melukai ibu dari calon penerus tahta. Dan tempat yang pantas untuknya sekarang ... adalah penjara!”
Ruangan seketika hening. Tak satu pun orang berani bersuara lagi — mereka hanya bisa menatap Esma penuh iba.
.
.
Sejak semalam, Esma meringkuk di sudut gelap penjara bawah tanah, kedua tangannya terikat rantai besi yang menempel di dinding. Ia telah melewati malam panjang penuh siksaan—Yasmin menampar dan memukulinya berkali-kali hingga sudut bibirnya pecah, wajahnya bengkak dan tubuhnya penuh lebam. Jejak darah kering banyak menempel di kulit pipi.
Namun, meski tubuhnya dipenuhi luka dan rasa sakit, matanya tetap terbuka — menatap kosong pada jeruji besi di depannya.
‘Baginda, kapan engkau akan kembali, hm?’ lirihnya dalam hati.
Di keheningan malam itu, suara langkah sepatu berderap di lorong penjara. Yasmin muncul sambil membawa lentera kecil. Senyum miring tersungging di bibirnya.
“Astaga ....” Yasmin terbahak-bahak, lalu mendekat, menatap wajah Esma dari dekat. “Wajahmu jelek sekali sekarang. Sudah tidak pantas lagi disebut selir kesayangan Baginda, ya? Dengan wajah bengkak seperti ini, bahkan budak dapur pun lebih sedap dipandang.”
Esma hanya diam, bibirnya bergetar menahan perih.
“Kau tau?” Yasmin lebih mendekat. “Jika Baginda melihat wajah buruk rupamu ini, pasti dia tidak akan mencari mu lagi. Kau akan segera terlupakan—”
KHUAAAAK CUIH!
AAAAKH!
Yasmin menjerit jijik manakala Esma tiba-tiba meludahi wajahnya.
“Kau tau, Yasmin? Bahkan jika wajah kita berdua sama-sama rusak pun—Baginda tetap akan jatuh cinta pada diri ini,” ucap Esma penuh percaya diri. “Sampai kapan pun, kau hanya akan selalu menjadi bayang-bayang.”
Bugh!
“Budak lancang!” Yasmin menendang wajah Esma dengan ujung sepatunya.
Bibir Esma sontak mengeluarkan darah segar. Namun, sedikitpun ia tak menunjukan rasa sakit.
“Kau tau, Esma,” yasmin terkekeh nyaring. “Karena Baginda saat ini sedang dalam perjalanan ke Edirne, dan Ibu Suri tengah menemani putrinya yang sedang berduka. Jadi ....” Ia mendekat, menangkup dagu Esma dengan kasar, “tidak ada yang bisa menyelamatkanmu kali ini.”
Yasmin tersenyum miring, lalu berbisik di telinganya, “Aku sudah meminta pengesahan hukumanmu pada Ayahku. Kau tau siapa ayahku, ‘kan? Perdana Menteri Rustum Pasha. Dan beliau ....” Ia kembali terkekeh, “menyetujui semuanya.”
Wanita berbadan dua itu mundur selangkah, lalu memanggil algojo istana.
“Bawa budak lancang ini ke tiang gantungan di sudut kota, laksanakan hukuman mati sekarang juga!” titahnya sambil menyeringai, matanya berkilat penuh kemenangan.
Dua algojo bertubuh kekar maju tanpa ragu. Rantai besi di pergelangan Esma ditarik kasar, sampai-sampai tubuh perempuan itu tersentak ke depan.
Perempuan malang itu meronta-ronta. “Aku tidak bersalah!” serunya dengan suara serak.
Dua algojo tak menggubris, justru semakin menyeretnya lebih kencang.
“Lepaskan aku!” bentak Esma, ia berbalik— menatap nyalang ke arah Yasmin. “Kalian akan menyesal jika Baginda mengetahui kebenarannya. Sanggupkah kalian menanggung murka Baginda?!”
Mendengar hal itu, Yasmin Hatun tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan berhiaskan cincin permata. “Kau kira ... Baginda akan peduli pada budak rendahan sepertimu? Sadar diri lah, Esma. Kau, hanyalah kenikmatan sesaat untuk Baginda. Singkirkan budak buruk rupa ini dari hadapanku ... sekarang juga.”
Langkah algojo kembali menyeret Esma.
Sudut bibir Yasmin pun sontak terangkat sinis, “Selamat bertemu ajalmu, Budak Rendahan. Itulah balasan bagi budak yang lancang berkhayal merebut kasih Baginda dariku.”
“Lepas!” teriak Esma, lalu menatap Yasmin sengit. “Dengar baik-baik, Yasmin! Aku bersumpah, jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
“HAHAHA! SILAHKAN KAU MENGKHAYAL SEPUASNYA DI DALAM NERAKA!”
*
*
*