Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Lin Hua melangkah keluar dari istana putra mahkota, bahunya terasa lebih ringan setelah menyelesaikan tugas pemilihan calon putri mahkota. Tugas yang diberikan Kaisar Han Ruo Xun berjalan lancar, dan kini ia bisa bernapas lega. Udara sore terasa segar di paru-parunya, kontras dengan pengapnya suasana di dalam istana.
"Lin Hua, Kaisar memanggilmu," suara Raja Chen Murong tiba-tiba memecah keheningan. Pria itu muncul entah dari mana, membuat Lin Hua terlonjak kaget.
"Bisakah kau muncul secara manusiawi? Jantungku mudah lepas, kemungkinan untuk mati mendadak sangat tinggi," ujar Lin Hua sarkastis, memegangi dadanya yang berdebar. Ia benar-benar lelah dengan kejutan-kejutan yang sering diberikan oleh Raja Chen Murong.
Raja Chen Murong hanya terkekeh pelan, tidak merasa tersinggung dengan ucapan Lin Hua. "Ayo, aku bawa kau menemui Kaisar," ujarnya sambil meraih tangan Lin Hua. Ia hendak membawanya menuju Paviliun Phoenix, tempat para bangsawan berkumpul untuk merayakan pesta bunga yang diadakan istana kekaisaran. Aroma bunga-bunga yang bermekaran sudah tercium dari kejauhan, bercampur dengan aroma makanan dan minuman yang menggugah selera.
Namun, belum sempat mereka melangkah lebih jauh, Pangeran Han Yuan tiba-tiba muncul di hadapan mereka, menghalangi jalan. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Lin Hua yang lain, membuat wanita itu terhuyung. "Pergi denganku," ucapnya datar, menatap Raja Chen Murong dengan tatapan dingin dan menusuk. Matanya memancarkan aura intimidasi yang kuat.
Lin Hua mengerutkan dahinya, merasa tidak nyaman dengan situasi yang terjadi. Ia sangat familiar dengan sikap Pangeran kedua kali ini. Sikap pria itu benar-benar terlihat seperti Putra Mahkota, penuh dengan otoritas dan ketegasan. Namun, Lin Hua segera menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran tersebut. Ia tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan di antara para pangeran.
Dengan gerakan cepat, ia melepaskan kedua tangannya dari genggaman kedua pria itu. "Aku bisa pergi sendiri," ucapnya tegas, lalu melangkah mendahului mereka memasuki istana Phoenix. Ia tidak ingin menjadi bahan rebutan di antara kedua pria itu.
Hanya tersisa Pangeran kedua dan Raja Chen Murong di sana. Suasana di antara mereka terasa tegang dan penuh dengan persaingan. "Paman, jangan terus menerus menguji kesabaranku. Aku tidak akan sesabar ini lagi, jika kau berani mendekati wanitaku," ucap Pangeran kedua dengan nada dingin penuh intimidasi. Matanya menyipit, menatap Raja Chen Murong dengan tatapan mengancam.
"Oy, Han Xuan rupanya? Baiklah, aku tidak akan mengganggu wanitamu lagi," jawab Raja Chen Murong dengan senyum misterius. Ia mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah. Namun, di balik senyumnya, tersimpan rencana yang sulit ditebak.
Di dalam Istana Phoenix, Lin Hua merasa benar-benar bosan. Para bangsawan di sana benar-benar pandai menjilat, dan beberapa orang bersikap curang dengan menggunakan sihir untuk mengendalikan keadaan. Ia merasa jijik dengan perilaku mereka yang munafik dan penuh dengan intrik.
Lin Hua duduk di kursi penjamuan, dikelilingi oleh berbagai macam makanan dan minuman mewah. Namun, tidak ada satupun yang menarik perhatiannya. Ia mengambil kue bulan dan memakannya sedikit. "Tidak ada yang sesuai dengan seleraku," gumamnya, lalu menyimpan kembali kue bulan yang sudah digigitnya. Rasanya terlalu manis dan berminyak, tidak seperti makanan yang biasa ia buat sendiri.
Meski sudah lima belas tahun tinggal di dunia asing ini, Lin Hua sama sekali tidak terbiasa dengan makanan di sini. Di rumah ataupun di markas, ia selalu membuat makanannya sendiri. Ia merindukan masakan dunia nya dulu.
Lin Hua menghela napas panjang, menatap keramaian di sekelilingnya dengan tatapan hampa. Para wanita bangsawan berlomba-lomba memamerkan gaun sutra terbaik mereka, perhiasan berkilauan di setiap gerakan, dan tawa mereka terdengar dibuat-buat, seperti lonceng yang dipaksa berbunyi. Di sudut lain, beberapa pria bangsawan sibuk berbincang dengan suara rendah, sesekali melirik ke arah panggung di mana para penari sedang menampilkan tarian anggun. Lin Hua tahu, di balik senyum dan tawa itu, tersembunyi intrik dan ambisi yang tak ada habisnya.
Ia melihat sekilas Pangeran Han Yuan dan Raja Chen Murong memasuki aula, masing-masing dengan aura yang berbeda. Han Yuan tampak tenang dan berwibawa, namun tatapannya tajam mengawasi sekeliling. Sementara Raja Chen Murong, seperti biasa, tersenyum ramah kepada semua orang, namun ada kilatan licik di matanya yang tidak luput dari perhatian Lin Hua. Mereka berdua sama-sama berbahaya, pikir Lin Hua, hanya saja dengan cara yang berbeda.
"Nona Lin Hua, mengapa Anda duduk sendirian di sini?" Suara lembut seorang wanita menyapa. Lin Hua menoleh, mendapati Selir Liu, salah satu selir Kaisar Han Ruo Xun, berdiri di sampingnya dengan senyum manis yang terasa sedikit dipaksakan. Selir Liu dikenal sebagai wanita yang paling pandai mengambil hati Kaisar, dan juga paling lihai dalam intrik istana.
"Hamba hanya menikmati suasana, Selir Liu," jawab Lin Hua datar, tidak menunjukkan minat lebih. Ia tidak suka berbasa-basi, apalagi dengan orang-orang istana yang penuh kepalsuan.
Selir Liu terkekeh pelan. "Ah, Nona Lin Hua memang berbeda. Tapi, bukankah Anda harusnya lebih bersemangat? Setelah berhasil membantu pemilihan calon putri mahkota, Anda pasti menjadi sorotan," ujarnya, matanya melirik ke arah Pangeran Han Yuan yang kini sedang berbicara dengan beberapa pejabat tinggi.
Lin Hua hanya mengangkat bahu. "Hamba hanya menjalankan tugas, Selir Liu. Tidak ada yang istimewa." Ia kembali mengambil sepotong buah dari piring, mengunyahnya perlahan. Rasanya hambar.
Tiba-tiba, suasana di aula sedikit berubah. Kasim Zhen Fu dengan tergesa-gesa mendekati Kaisar Han Ruo Xun yang duduk di singgasana kehormatan. Kaisar mendengarkan bisikan Kasim itu, dan raut wajahnya sedikit mengeras. Beberapa bangsawan mulai berbisik-bisik, dan Lin Hua merasakan gelombang energi sihir yang samar, namun terasa tidak menyenangkan, menyebar di udara.
'Ada apa ini?'gumam Lin Hua dalam hati. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Instingnya, yang terasah selama bertahun-tahun di dunia asalnya, memberitahunya bahwa bahaya sedang mendekat. Ia menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap fragmen percakapan di sekitarnya.
"Kudengar ada laporan tentang keberadaan iblis di perbatasan utara," bisik seorang wanita bangsawan kepada temannya.
"Iblis? Bukankah sudah lama tidak ada laporan seperti itu?" timpal temannya dengan nada khawatir.
Lin Hua mengernyitkan dahi. Iblis? Di dunia ini, iblis bukanlah sekadar makhluk mitos. Ia pernah berhadapan dengan beberapa di antaranya, dan mereka adalah ancaman nyata. Ia mencengkeram erat cangkir teh di tangannya, matanya mulai memindai setiap sudut aula, mencari petunjuk. Pesta bunga yang tadinya membosankan kini berubah menjadi sesuatu yang lebih menarik, dan mungkin, lebih berbahaya.