Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Tahu
Senja telah berganti malam ketika pekerjaan lapangan akhirnya selesai. Tubuh Eleanor terasa berat, namun pikirannya tetap terjaga. Nicholas mendekat begitu mobilnya berhenti di depan lokasi.
“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Nicholas tegas, seolah keputusan itu mutlak.
Eleanor baru hendak menolak ketika suara knalpot motor terdengar. Elio muncul dari balik keramaian, masih mengenakan jaket hitam dan helmnya.
Begitu melihat Nicholas berdiri terlalu dekat dengan ibunya, ia turun dengan cepat.
“Jangan keras kepala, Ele…”
Elio spontan menepis kasar tangan Nicholas yang berusaha meraih lengan Eleanor. Lalu ia menarik Eleanor ke belakang tubuhnya, matanya menyala penuh amarah.
“Kenapa kau menyentuhnya?” suara Elio dingin tapi tajam.
Nicholas menatapnya, bibirnya melengkung sinis. “Jadi ini pria itu, hmm? Anak muda sok jagoan yang mencium keningmu di depan umum?”
Elio mengepal tangan, otot rahangnya menegang, amarahnya sudah di ambang batas. Tubuhnya maju setengah langkah ingin menghantam wajah Nicholas. Namun sebelum kepalan itu melayang, Eleanor segera memeluk putranya dari belakang, menempelkan wajahnya ke punggung Elio.
“Elio, no… Don’t. Please,” bisiknya, lirih tapi penuh permohonan.
Elio memejamkan mata, napasnya terengah tapi pelukan ibunya memaksa dirinya menahan diri.
Nicholas semakin panas melihat itu. Ia semakin yakin pria muda ini memang punya hubungan istimewa dengan Eleanor.
“Elio, let’s go.” bisik Eleanor.
Eleanor tidak peduli pada salah sangka yang tercipta. Dengan cepat ia menarik Elio menuju motor, memasang helm dengan tangan bergetar. Ia hanya ingin pergi dari sini secepat mungkin. Elio mengenakan helm, menyalakan mesin dan membawa ibunya pergi.
Nicholas mendengus keras, dadanya naik turun. Amarahnya meledak tanpa bisa dikendalikan. Tinjunya berulangkali menghantam udara kosong meluapkan kekesalannya.
“Sialan!” desisnya, matanya menatap liar jalan yang baru saja dilewati motor Eleanor. “Siapa kau sebenarnya, bocah?” gumamnya pelan, hampir seperti ancaman. Ia harus tahu siapa pria muda itu dan mengapa Eleanor bisa begitu hangat dan begitu melindunginya.
Dalam kepalanya, hanya satu kalimat yang berulang.
Lea milikku… Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya, apalagi bocah ingusan brengsek itu.
Dibalik kerlip lampu kota yang tak pernah benar-benar tidur, Nicholas Armand termenung sendirian. Es batu di dalam gelas kristal berisi whiskey di tangannya sudah mencair saking lamanya dibiarkan.
“Lea…” bisiknya dalam keheningan.
Setiap kali kelopak matanya tertutup, Nicholas hanya melihat punggung Eleanor menjauh. Dan setiap kali ia memejam, ada api yang menyulut dadanya. Pria itu… siapa pun dia… tidak seharusnya berada di sisi Eleanor.
"Tujuh belas tahun, Eleanor… dan kau pikir aku akan diam saja sekarang?" bisiknya pelan.
Ia berjalan ke meja kerjanya. Ruangan luas penuh buku, karya seni, dan segala simbol kekuasaan seorang miliuner. Tapi tak satu pun dari itu bisa memberi ketenangan. Nicholas membuka Ipadnya menampilan foto proyek hotel dengan desain arsitektur yang modern sekaligus berbalut sentuhan China. Namun matanya tidak benar-benar melihat.
Yang ia lihat hanyalah Eleanor. Eleanor dengan tatapan tajam, dengan senyum yang selalu dingin saat berbicara padanya. Nicholas memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam. Saat ia kembali membuka mata, pandangannya telah berubah menjadi dingin, berbahaya, dan penuh tekad.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Dan aku akan tahu segalanya, Eleanor."
Nicholas menekan tombol kecil di meja kerjanya. Pintu terbuka pelan memperlihatkan Pierre, asisten pribadinya.
“Sir,” ucapnya singkat, menunduk hormat.
Nicholas tidak langsung menoleh. Ia masih berdiri menatap keluar jendela denagn tangan dimasukkan ke saku celana.
“Aku ingin kau mencari tahu tentang seorang pria muda.”
Pierre mengangkat alis tipis, meski cepat-cepat menundukkan pandangannya lagi. “Nama, Sir?”
Nicholas akhirnya berbalik, sorot matanya menyorot tajam. “Aku tidak tahu namanya tapi dia sering bersama Eleanor Chen. Tingginya hampir sama denganku, tampak Asia campuran.”
Pierre mengangguk paham.
“Cari tahu siapa dia. Semua detail mulai dari mana asalnya, pekerjaannya, keluarganya… sampai apa yang dia makan tadi malam. Aku ingin semuanya, Pierre. Semuanya...”
“As you wish, Sir.”
Nicholas melangkah pelan ke meja, menuang kembali whiskey ke dalam gelasnya lalu menatap Pierre dengan senyum samar.
“Dan jangan sampai Eleanor tahu. Ini urusan antara aku… dan dia.”
Pierre mengangguk tanpa suara hingga sesaat kemudian, pintu kembali tertutup rapat.
Nicholas meneguk whiskey itu perlahan, tapi api di dadanya tidak padam.
Gerimis turun bersamaan dengan indahnya malam di Kota Paris. Televisi di ruang tamu menyala, menayangkan film lama yang menjadi favorit Eleanor. Sementara ia sendiri berbaring santai di sofa dengan selimut tipis menutupi kakinya sambil menikmati biscuit yang diberikan William kemarin. Pria itu selalu begitu, memperhatikan Eleanor lebih dari pada dirinya sendiri.
Elio masuk dari dapur dengan dua cangkir kopi hangat. “Special delivery,” katanya sambil mengangkat salah satu cangkir ke arah ibunya.
Eleanor tersenyum, menerima cangkir itu. “Kau selalu tau cara memanjakanku, Boy.”
Elio menjatuhkan diri di sofa, duduk santai di samping Eleanor. “Anggap saja barista pribadi, Mum. Karena kau selalu jadi teman menonton terbaikku.”
Mereka tertawa kecil, lalu hening sejenak menikmati aroma kopi yang mengepul.
Elio menoleh, menatap Eleanor ragu-ragu. “Mum…” ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Siapa pria itu? Yang bicara kasar pada Mum kemarin.”
Eleanor menghela napas, menaruh cangkir di meja. Tersenyum tipis seolah ingin meredakan ketegangan.
“Hanya rekan kerja, Elio. Bukan sesuatu yang perlu kau pikirkan.”
Elio menggeleng cepat. “Tapi dia… cara dia melihat Mum, ada yang tidak beres. I didn’t like it at all.”
Eleanor menoleh, jemarinya menyentuh pipi Elio dengan kelembutan. “Dengar, Boy. Biarkan aku mengurusnya, okay? Itu urusan orang dewasa. Kau tidak perlu ikut pusing memikirkan ini.”
Elio menggeleng, mencondongkan tubuhnya ke depan. “No, Mum. Don’t do that. Jangan selalu mencoba melindungiku dengan diam. Aku bukan anak kecil lagi.”
Eleanor terenyuh, mengusap rambut Elio. Putranya sudah dewasa.
“Aku sudah tujuh belas dan aku bisa menangkap banyak hal, Mum. Aku tahu pria itu menginginkan sesuatu atau mungkin… kalian pernah ada masalah di masa lalu?” ia menatap Eleanor menyelidik.
Eleanor menggeleng gugup. Jemarinya menyentuh lengan Elio, seolah mencoba menenangkannya. “Bukan… bukan Elio, dia bukan siapa-siapa. Aku sudah bilang, kau tidak perlu memikirkan ini, Boy.”
Elio menggeleng keras. “Kalau itu menyangkut Mum, itu juga urusanku. You’re my everything. Jadi jangan pernah ragu untuk bicara padaku apa pun itu.”
Kata-kata itu membuat dada Eleanor sesak, bersarnya perlindungan yang ditawarkan putranya membuatnya merasa lebih dari cukup. Ia tersenyum samar, menyembunyikan getaran di matanya.
“Tenanglah, aku akan terbuka padamu jika sudah waktunya. Biarkan Mum menilai situasi, Okey? Terimakasih sudah peduli padaku, Elio.”
Elio tersenyum tipis, “Someone has to.”
Mereka lalu kembali menyandarkan diri ke sofa, membiarkan film terus berjalan. Tapi di dalam hati Eleanor, perasaan bersalah dan takut semakin kuat. Karena ia tahu cepat atau lambat, ia tak bisa lagi menyembunyikan kebenaran dari Elio.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪