Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyergapan di Mansion
Suasana di dalam jet pribadi yang disewa secara rahasia oleh Kira terasa sangat mencekam. Tidak ada lagi candaan tentang durian atau kemenangan di Geylang. Aruna duduk mematung, menatap gumpalan awan di balik jendela pesawat dengan pandangan kosong, namun tangannya terkepal kuat hingga buku jarinya memutih.
Damian berada di sudut lain, berbicara dengan nada rendah melalui telepon satelit dengan sisa-sisa tim keamanannya yang masih setia. "Berapa orang yang ada di dalam? ... Tiga titik buta? Oke, siapkan denah sirkuit listrik cadangan. Jangan ada gerakan sampai aku tiba."
Damian menutup telepon dan menghampiri Aruna. Ia berlutut di depan istrinya, menggenggam tangan yang dingin itu.
"Aruna, dengarkan aku. Ini adalah jebakan. Mereka ingin aku datang, dan mereka ingin aku membawa data yang mereka pikir masih kita miliki. Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke dalam sana."
Aruna menoleh, matanya yang biasanya jenaka kini berkilat tajam. "Mas Damian, Mas lupa? Yang diculik itu Ibu Elena. Wanita yang menerimaku saat aku bukan siapa-siapa. Wanita yang belajar masak seblak demi membuatku senang. Kalau Mas pikir aku akan duduk manis di hotel sementara Ibu dalam bahaya, Mas benar-benar belum mengenalku."
Damian terdiam. Ia tahu, di balik sifat konyol Aruna, ada loyalitas yang lebih keras dari baja. "Baiklah. Tapi kita gunakan rencanaku. Kita tidak akan masuk lewat pintu depan."
Mansion Gavriel terlihat megah namun mati di bawah siraman cahaya bulan Jakarta. Lampu-lampu taman dimatikan, menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan. Di gerbang depan, terlihat dua pria bersenjata lengkap berpatroli dengan anjing pelacak.
"Mereka menggunakan frekuensi radio tertutup," bisik Kira yang ikut turun dalam misi ini. Ia memegang tablet untuk memantau pergerakan panas tubuh di dalam rumah.
"Ada tujuh orang di lantai bawah, tiga orang menjaga Ibu Elena di ruang makan, dan sisanya tersebar di lantai atas."
"Tiara, posisimu?" Damian berbisik ke mikrofon kecil di kerahnya.
"Sudah di panel listrik utama komplek, Bos!" suara Tiara terdengar dari earpiece. "Tinggal tunggu aba-aba, dan 'duarrr', seluruh area ini akan jadi zaman batu selama sepuluh menit."
Aruna menarik napas panjang. Ia mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan tas pinggang yang isinya bukan lagi alat rias, melainkan benda-benda "ajaib" yang ia kumpulkan dari dapur ruko di Singapura.
"Sekarang," perintah Damian.
KLIK.
Seketika, seluruh area mansion gelap gulita. Aruna bisa mendengar suara panik para penjaga dari kejauhan. Dengan menggunakan kacamata night vision yang diberikan Damian, Aruna merasa seperti berada di dalam video gim.
Mereka menyelinap melalui lubang pembuangan udara di dekat kolam renang jalur yang dulu pernah digunakan Aruna untuk kabur. Namun kali ini, arahnya menuju ke dalam.
Di dalam ruang makan, Ibu Elena duduk dengan tenang meski tangannya terikat. Di depannya berdiri seorang pria dengan topeng perak sosok yang dikenal sebagai tangan kanan Silas, Vektor.
"Damian akan segera datang, Nyonya," suara Vektor terdengar lewat distorsi alat pengubah suara. "Dia sangat menyayangi ibunya. Tapi aku lebih penasaran dengan istrinya. Wanita yang konon bisa membuat Silas kehilangan akal sehatnya."
"Istri anakku bukan tandingan orang-orang seperti kalian," jawab Elena tenang.
Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari arah dapur. Pintu ganda ruang makan terbuka, namun tidak ada siapapun di sana. Hanya sebuah benda bundar yang menggelinding ke tengah ruangan.
"Granat?!" salah satu penjaga berteriak dan merunduk.
POOF!
Benda itu meledak, namun bukan api yang keluar, melainkan bubuk putih yang sangat halus dan sangat pedas. "Ini... ini merica?!" teriak Vektor sambil terbatuk-batuk hebat.
"BUKAN CUMA MERICA, TAPI CABAI BUBUK LEVEL 30!" suara Aruna bergema dari atas langit-langit.
Aruna melompat turun dari ventilasi udara, mendarat tepat di atas punggung salah satu penjaga yang sedang sibuk mengucek matanya yang perih. Dengan gerakan yang tidak terduga, Aruna menyemprotkan cairan lengket (yang ternyata adalah lem tikus super kuat) ke arah senjata para penjaga, membuat tangan mereka menempel pada gagang pistol tanpa bisa menarik pelatuknya.
"MAS DAMIAN, SEKARANG!" teriak aruna.
Damian muncul dari balik gorden jendela yang pecah. Dengan gerakan cepat dan mematikan, ia melumpuhkan Vektor dalam hitungan detik. Pukulan dan tendangannya sangat akurat, khas seorang pria yang telah lama memendam kemarahan.
"Jangan pernah... menyentuh... ibuku!" Damian memberikan hantaman terakhir yang membuat Vektor pingsan di atas meja makan mewah itu.
Aruna segera berlari ke arah Elena dan memotong talinya. "Ibu! Ibu tidak apa-apa? Ada yang luka?"
Elena memeluk Aruna erat. "Ibu tidak apa-apa, Aruna. Ibu tahu kalian akan datang."
Namun, kemenangan mereka terasa singkat. Sebuah layar besar di ruang makan tiba-tiba menyala sendiri, ditenagai oleh baterai cadangan. Di sana, muncul wajah Silas yang tampak sangat tenang, duduk di sebuah perpustakaan mewah yang entah berada di mana.
"Bravo, Damian. Bravo, Aruna," Silas bertepuk tangan pelan. "Kalian berhasil mengalahkan anak buahku di rumah kalian sendiri. Tapi, apakah kalian lupa siapa yang mengajari Hendrik Gavriel cara bermain catur?"
"Silas, kau sudah kalah! Rekeningmu kosong!" teriak Kira yang baru saja masuk ke ruangan.
Silas tertawa. "Kosong? Kira, kau memang cerdas, tapi kau terlalu muda. Rekening yang kau kuras adalah 'umpan' yang sengaja kusisakan. Kekuatanku bukan pada uang digital, tapi pada informasi."
Layar itu berubah menampilkan foto-foto lama. Foto Ayah Aruna, keluarga Tiara, dan bahkan masa kecil Kira.
"Setiap orang yang kalian kenal adalah sandera bagiku," ujar Silas. "Dan sekarang, saatnya untuk babak terakhir. Damian, jika kau ingin semua orang ini selamat, kau harus datang ke alamat yang kukirimkan. Sendirian. Tanpa istrimu, tanpa Kira, dan tanpa bantuan siapapun."
"Jangan, Mas! Itu jebakan mati!" Aruna menahan lengan Damian.
"Jika kau membawa siapapun, atau mencoba berbuat curang... gedung tempat Ayah Aruna berada sekarang akan meledak dalam satu jam," Silas menunjukkan jam digital yang terus berhitung mundur. "Pilihan ada di tanganmu, Sang Pewaris."
Layar itu mati. Keheningan yang mematikan menyelimuti ruang makan.
Damian menatap jam tangannya. "Aku harus pergi, Aruna. Aku tidak bisa membiarkan Ayahmu dalam bahaya."
"Mas, kalau Mas pergi sendiri, Mas tidak akan kembali," Aruna menatap Damian dengan mata berkaca-kaca. "Silas ingin Mas menggantikannya sebagai pemimpin jaringan kegelapan itu. Dia ingin mematahkan semangat Mas."
Damian memegang kedua pipi Aruna. "Aku akan kembali. Aku berjanji."
Setelah Damian pergi dengan kecepatan tinggi menggunakan motor sportnya, Aruna terdiam di ruang makan. Ia menatap Ibu Elena, lalu menatap Kira.
"Mbak Kira," ujar Aruna tiba-tiba. "Mbak punya akses ke satelit militer yang dulu pernah Mbak ceritakan?"
Kira mengangguk ragu. "Punya, tapi butuh waktu untuk meretasnya kembali tanpa diketahui Silas."
"Lakukan sekarang. Dan Tiara!" Aruna berteriak ke arah pintu. "Hubungi semua jaringan 'Srikandi Jalanan'. Katakan pada mereka, hari ini kita bukan cuma antar makanan atau antar penumpang. Hari ini, kita akan melakukan pengalihan perhatian terbesar dalam sejarah Jakarta!"
"Aruna, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Elena khawatir.
Aruna mengambil jaket hitamnya kembali. "Silas bilang Mas Damian harus datang sendirian. Dia tidak bilang kalau lima ratus ojek online tidak boleh melakukan konvoi 'salah alamat' di depan persembunyiannya."
Tiga puluh menit kemudian, di sebuah gudang tua di pinggiran Jakarta, Silas menunggu dengan tenang. Ia mendengar raungan motor Damian mendekat. Damian masuk ke dalam gudang, tangannya terangkat, menunjukkan dia tidak membawa senjata.
"Kau tepat waktu, Damian," ujar Silas dari atas balkon lantai dua gudang. "Sekarang, berlutut lah dan bersumpah lah bahwa kau akan melanjutkan warisanku, maka aku akan mematikan bom di kantor mertuamu."
Damian bersiap untuk berlutut saat tiba-tiba...
BEEP... BEEP... BEEP...
Suara ratusan klakson motor terdengar dari luar gudang. Bukan satu atau dua, tapi ratusan! Lampu-lampu sorot dari motor-motor itu menerangi celah-celah gudang, membuat para penembak jitu Silas yang bersembunyi di kegelapan menjadi buta sesaat.
"APA-APAAN INI?!" Silas berteriak panik.
Lewat pengeras suara dari salah satu motor, suara Aruna menggelegar. "PERMISI! PESANAN SEBLAK UNTUK TUAN SILAS DENGAN KETERANGAN 'CEPAT TOBAT' SUDAH SAMPAI! TOLONG KELUAR ATAU KAMI AKAN TERUS KLAKSON SAMPAI TELINGA KAKEK PECAH!"
Di tengah kekacauan klakson dan lampu yang menyilaukan, Aruna menyelinap masuk lewat pintu belakang bersama Kira yang membawa alat pengacak sinyal (jammer).
"Kira, matikan bomnya sekarang!" perintah Aruna.
"Sedang diproses! Berhasil! Sinyal detonator Silas sudah terputus!"
Damian melihat kesempatan itu. Ia berlari ke arah tangga, menerjang Silas sebelum pria tua itu sempat bereaksi. Mereka bergulat di tepi balkon, sementara di bawah, Aruna sibuk mengarahkan "pasukannya" untuk mengepung anak buah Silas menggunakan... botol saus sambal ekstra pedas yang disemprotkan ke mata.
"Jangan pernah remehkan kekuatan rakyat jelata yang hobi makan pedas, Kek Silas!" teriak Aruna sambil menendang salah satu penjaga yang mencoba mendekati Damian.
Pertarungan antara Damian dan Silas berakhir saat Damian berhasil mengunci tangan Silas dan menjatuhkan tongkat peraknya ke bawah. Polisi, yang sudah dihubungi secara rahasia oleh Tiara melalui jalur khusus, akhirnya masuk dan mengambil alih situasi.
Saat Silas digiring keluar dengan borgol di tangannya, ia sempat berhenti di depan Aruna. Tatapannya masih tajam, namun penuh dengan kekalahan. "Siapa... siapa sebenarnya kau? Bagaimana mungkin rencanaku selama lima puluh tahun dihancurkan oleh wanita sepertimu?"
Aruna membetulkan rambutnya, lalu tersenyum manis. "Aku? Aku hanyalah jerat sutra yang Mas Damian temukan di jalanan. Dan satu hal yang Kakek lupa... sutra itu lembut, tapi kalau dipakai untuk menjerat leher musuh, dia jauh lebih kuat dari rantai besi."
Damian menghampiri Aruna, tubuhnya penuh lebam dan luka, tapi senyumnya kembali. Ia menarik Aruna ke dalam pelukannya di tengah hiruk-pikuk sirene polisi dan sorakan para pengendara ojek online.
"Mas," bisik Aruna. "Setelah ini, beneran ya... kita liburan. Yang tidak ada bomnya, tidak ada mantannya, dan kalau bisa... yang ada tukang baksonya."
Damian tertawa, mencium kening istrinya dengan penuh rasa syukur. "Kita akan pergi ke manapun kamu mau, Aruna. Karena sekarang, duniaku benar-benar sudah bersih dari bayangan."