NovelToon NovelToon
Kesempatan Kedua Sang Duchess

Kesempatan Kedua Sang Duchess

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: KazSil

Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.

Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Festival

Malam semakin larut, dentuman kembang api terus terdengar bersahut-sahutan, mewarnai langit Duchy Carwyn dengan cahaya merah, biru, dan emas. Elena berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun malamnya yang berat segera ia lepaskan, berganti dengan pakaian sederhana berwarna gelap gaun polos tanpa hiasan, jauh dari kemewahan seorang Duchess.

Myra, yang gugup setengah mati, membantunya mengencangkan selendang tipis dan menutupi rambut Elena dengan tudung kain. “Duchess, ini sungguh… gila apalagi anda sedang terluka bagaimana jika Duke mengetahui—”

Elena menoleh, senyum jahilnya kembali muncul. “Itulah kenapa kita tidak boleh ketahuan.”

Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap keluar melalui koridor samping yang lebih sepi. Para pelayan sibuk menyiapkan jamuan malam, sementara para penjaga banyak yang ditempatkan di menara luar untuk mengawasi perayaan di kota. Kesempatan itu dimanfaatkan Elena dengan cerdik.

Beberapa kali mereka bersembunyi di balik pilar, menunggu prajurit lewat, sebelum kembali bergerak cepat. Napas Myra memburu, sementara Elena justru tampak semakin bersemangat, matanya berkilat setiap kali kembang api meledak di langit.

Akhirnya, mereka sampai di gerbang kecil di sisi timur Duchy. Pintu besi itu jarang dipakai, hanya dijaga dua prajurit yang tampak lebih sibuk mengamati kilatan kembang api daripada memperhatikan sekeliling.

Elena menahan napas, lalu menggenggam tangan Myra erat-erat. Dengan gerakan terlatih dari masa lalunya yang penuh intrik, ia menunggu momen ketika suara dentuman kembang api paling keras menggema dan pada detik itu, mereka melangkah cepat melewati bayangan tembok, menyelinap di sisi gerbang.

Tak ada yang menyadari. Tak ada yang bersuara.

Beberapa langkah kemudian, udara malam kota menyambut mereka. Cahaya festival terlihat jelas di kejauhan, musik rakyat bercampur dengan riuh tawa dan sorak sorai.

Elena menarik tudungnya lebih rapat, lalu tersenyum pada Myra yang masih pucat ketakutan. “Kita berhasil,” bisiknya penuh kemenangan.

Myra hanya bisa menatapnya dengan bingung, antara kagum dan ngeri. Ia hanya bisa berpasrah pada takdir yang akan menimpanya nanti.

...

Langkah Elena dan Myra berhenti di mulut jalan yang menuju ke alun-alun kota. Cahaya lampion berwarna-warni tergantung di sepanjang jalan, menari tertiup angin malam. Denting lonceng kecil, suara tawa anak-anak, dan aroma manis karamel bercampur dengan gurihnya daging panggang memenuhi udara.

Elena menutup sedikit wajahnya dengan tudung jubah yang sudah ia kenakan. Myra berjalan setengah langkah di belakang, wajahnya cemas namun tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

“Duch—” ia buru-buru meralat, “Nona Elena, lihat itu…”

Elena tersenyum tipis. “Aku tahu. Indah sekali.”

Belum lama mereka menyusuri keramaian, seorang penjual roti panggang yang kulitnya legam karena bara api menyapa riang.

“Selamat malam, nona-nona! Mau coba roti panggang madu hangat?"

Kali ini seorang gadis muda penjaja bunga melambai sambil mengacungkan buket liar berwarna-warni.

“Nona! Mawar musim panen, indah dan harum. Cocok sekali untuk nona secantik Anda!”

Elena berhenti sejenak, menatap bunga itu. Jari-jarinya hampir terulur, tapi Myra buru-buru menyentuh lengannya dengan halus. Elena hanya tersenyum kecil dan menundukkan kepala pada si penjual, lalu berjalan lagi.

Suara musik mulai terdengar dari alun-alun biola, seruling, dan tabuhan genderang beradu, menciptakan irama hangat yang membuat hati tergerak untuk menari.

Beberapa anak kecil berlari melewati mereka sambil membawa kembang api tangan yang memercikkan cahaya. “Awas nona! Hehe!” teriak salah satu anak sambil tertawa.

Elena menahan tawa, matanya berbinar. “Mereka memanggilku nona…” gumamnya pelan, seolah menemukan kebebasan sederhana dalam sapaan itu.

Myra meliriknya dengan khawatir. “Ya, tapi jangan sampai ada yang mengenali Anda.”

Kruuukk…

Suara lirih itu terdengar jelas dari perut Myra. Wajahnya langsung merona merah, buru-buru ia menunduk dengan malu.

Elena menatapnya sejenak, lalu tiba-tiba tertawa lepas. “Hahaha…! Astaga, Myra. Rupanya kita terlalu bersemangat kabur sampai lupa makan malam.” Ia mengusap perutnya sendiri, lalu tersenyum lebar. “Kau benar, aku juga sudah lapar. Ayo, kita cari sesuatu untuk dimakan.”

Mata Myra berbinar penuh semangat. Ia memang pencinta makanan, dan kini alasan itu membuatnya lupa sejenak akan kecemasannya. “Baik, Nona Elena!” serunya, senyum merekah di wajahnya.

Mereka pun berjalan di antara deretan kios makanan, cahaya lampion menyoroti wajah-wajah riang para pedagang yang berlomba menarik perhatian pembeli. Bau harum memenuhi udara manis gula karamel, gurih sup daging, hingga segarnya buah musiman yang dipotong-potong.

Hidung mereka akhirnya terpikat oleh aroma daging panggang yang sedang berasap di atas bara. Di sana, potongan daging ditusuk rapi, lemaknya meleleh perlahan dan menetes ke api, menimbulkan suara cesss yang menggoda.

“Kemarilah, nona-nona cantik!” seru sang penjual dengan wajah riang. “Bau yang sedap ini pasti membuat kalian lapar, bukan? Ingin mencoba?”

Elena tersenyum, matanya berbinar karena tak kuasa menahan godaan. “Tolong buatkan dua,” ucapnya mantap.

“Baiklah! Tunggu sebentar saja.”

Tak sampai lama, dua tusuk daging panggang panas sudah berpindah ke tangan mereka. Elena dan Myra berjalan pelan sambil menggigit daging itu. Rasanya gurih, berair, dan begitu nikmat hingga keduanya saling bertukar pandang lalu terkekeh bahagia.

“Luar biasa…” gumam Myra dengan mata berbinar, sementara Elena hanya menutup mulutnya sambil tertawa kecil karena tak ingin ketahuan makan dengan lahap.

Untuk pertama kalinya sejak lama, mereka benar-benar menikmati malam tanpa beban, berbaur dengan keramaian rakyat biasa.

Brakk!

Pintu ruang kerja Duke Carwyn terbuka dengan kasar.

“Tuan… Nyonya menghilang!” suara seorang pelayan pria terdengar gugup, napasnya terengah-engah seakan ia baru berlari sekuat tenaga.

Mervyn yang tengah duduk memeriksa dokumen sontak menoleh tajam. Wajahnya menegang, sorot matanya berkilat dingin. “Apa katamu?” suaranya berat dan penuh tekanan.

“Nyonya tidak ada di kamarnya, Tuan! Kami sudah memeriksa seluruh paviliun, halaman, bahkan taman dalam… beliau tidak ditemukan!”

Kursi Mervyn bergeser keras ke belakang saat ia bangkit berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya dipenuhi kemarahan yang ditahan. Ia melangkah cepat keluar, langkahnya bergema di lorong panjang.

“Kerahkan semua orang,” suaranya menggema, dalam dan penuh ancaman.

“Cari dia. Periksa setiap sudut mansion, setiap gerbang, setiap jalan menuju kota.”

Suasana di Mansion Carwyn seketika berubah kacau. Pelayan berlarian dengan wajah pucat, para kesatria bersiap dalam barisan, memegang senjata mereka seakan menghadapi perang.

Dan di tengah semua hiruk-pikuk itu, aura Mervyn terasa kian mencekam.

Suara derap langkah para kesatria menggema di halaman depan. Obor-obor dinyalakan, menerangi gelapnya malam, sementara para pelayan sibuk membawa lentera untuk mencari hingga ke sudut-sudut taman.

Namun hasilnya nihil. Elena seolah lenyap begitu saja dari dalam mansion.

Mervyn berdiri tegak, sorot matanya dingin menelusuri kegaduhan. Rahangnya mengeras, tangan kanannya terkepal erat di sisi tubuhnya.

"Gerbang timur terbuka sedikit, tuan," lapor salah seorang kesatria dengan wajah pucat. "Ada bekas langkah kaki... dua orang."

Mervyn mendekat, menunduk meneliti tanah. Bekas pijakan sepatu tipis terlihat samar di tanah, satu lebih besar, satu lebih kecil. Bibirnya mengeras.

"Elena..." desisnya, penuh tekanan.

Ia mendongkak, manatap ke arah kota yang berkilauan cahaya. Suara kembang api dan musik festival terdengar jelas dari kejauhan.

Seketika, ia meraih tali kekang kuda hitam yang dituntun oleh prajurit. Dengan gerakan cepat, ia melompat naik. "Siapkan lima orang. Ikuti aku, kita pergi ke festival." Perintahnya dingin

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!