NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19

Suara hujan di luar semakin deras, menampar genteng pondok seperti ketukan tak henti-henti. Udara malam terasa menusuk, mengusir rasa kantuk, seakan ikut menyaksikan pertemuan dua orang yang sama-sama terluka.

Di dalam gudang tua itu, lampu minyak redup berkelip, bayangannya menari di dinding kusam. Bau debu bercampur lembap kayu lapuk memenuhi udara. Di pojok ruangan, Wulan masih duduk memeluk lutut, tubuhnya terguncang oleh tangis.

Dilara berdiri beberapa langkah di depannya, kedua tangannya menggenggam mushaf kecil yang tadi ia bawa. Napasnya tak teratur. Ia sudah lama ingin bicara, tapi lidahnya kelu.

“Wulan…” panggilnya lirih lagi, kali ini lebih jelas.

Wulan mendongak perlahan. Matanya sembab, wajahnya penuh jejak air mata. Ada keterkejutan, juga semacam amarah, tapi yang lebih kentara justru rasa putus asa.

“Kenapa kamu di sini?” suara Wulan serak, hampir berbisik. “Mau lihat aku jatuh? Mau ketawa?”

Dilara menelan ludah, mencoba menahan degup jantung yang menghentak di dada. “Aku… aku cuma dengar kamu nangis. Aku nggak bisa diam.”

Wulan tertawa hambar, suara tawanya patah-patah. “Nggak bisa diam? Selalu begitu. Kamu itu selalu jadi yang baik, yang benar, yang semua orang kagumi. Aku? Aku selalu jadi bayangan yang nggak pernah cukup. Bahkan nangis pun… kamu harus datang, biar kamu kelihatan makin suci.”

Kata-kata itu menusuk, tapi Dilara tidak marah. Ia tahu, itu bukan sekadar tuduhan—itu jeritan dari hati yang retak.

“Wulan… aku nggak datang untuk menghakimi. Aku cuma… aku cuma khawatir sama kamu.”

Wulan menggeleng keras, air mata kembali mengalir. “Khawatir? Kalau kamu khawatir, kenapa semua orang selalu salahin aku? Semua! Setiap kali ada masalah, selalu namaku yang disebut. Bahkan mushaf kotor kemarin itu… aku nggak tahu apa-apa, tapi semua tatap aku. Aku muak, Lar!”

Suara Wulan meninggi, memantul di dinding kayu gudang. Dilara menahan napas. Ia bisa merasakan betapa sakitnya kata-kata itu lahir dari mulut Wulan.

“Wulan…” Dilara melangkah setapak, tapi Wulan mundur, tubuhnya gemetar.

“Jangan dekat!” pekiknya. “Jangan sok jadi penyelamat! Aku benci itu. Kamu selalu tampak sempurna di depan orang, selalu jadi santri teladan. Aku… aku ini apa? Cuma sampah yang orang-orang pandang dengan jijik!”

Tangisnya kembali pecah. Ia meremas-remas catatan-catatan yang berserakan di lantai, seakan ingin menghancurkan semua isi hatinya sendiri.

Dilara merasakan matanya panas, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia duduk perlahan di lantai, menjaga jarak agar tidak membuat Wulan makin terpojok.

“Aku nggak sempurna, Wulan,” ucapnya pelan. “Kamu salah kalau mengira aku nggak pernah salah. Aku juga takut, aku juga marah, aku juga kadang iri sama orang lain. Bedanya mungkin… aku selalu berusaha lari ke Allah. Bukan karena aku lebih baik, tapi karena kalau aku nggak lari ke Allah, aku hancur.”

Wulan terdiam sejenak, lalu mendengus. “Kamu bisa ngomong begitu karena orang-orang dukung kamu. Kamu punya Salsa, punya Rani, punya Dewi. Kamu punya Ummi yang selalu bela kamu. Aku? Aku sendirian. Bahkan Allah pun… rasanya jauh dariku.”

Kalimat terakhir itu membuat dada Dilara sesak. Ia tahu, itulah inti dari semua luka Wulan.

“Allah nggak pernah jauh, Wulan,” bisiknya lirih. “Kita yang sering menutup hati. Aku juga pernah merasa ditinggal, pernah merasa doa-doaku nggak didengar. Tapi percaya deh… Allah selalu ada, justru di saat kita paling hancur.”

Wulan menunduk, bahunya bergetar. “Kalau memang Allah ada… kenapa aku harus lahir jadi aku? Kenapa aku selalu kalah? Kenapa semua orang bandingin aku sama orang lain? Aku capek, Lar… aku capek.”

Air matanya jatuh deras, membasahi catatan yang digenggamnya.

Dilara tidak tahan lagi. Perlahan ia geser mendekat, meski Wulan masih menoleh dengan tatapan tajam. Tapi kali ini tidak ada penolakan keras, hanya tatapan penuh rasa sakit.

Dilara mengulurkan mushaf kecilnya. “Ambil ini. Aku selalu bawa mushaf ini tiap kali hatiku goyah. Kalau kamu nggak percaya sama aku, percayalah sama firman Allah. Bacalah… meski satu ayat.”

Wulan menatap mushaf itu lama. Jemarinya bergetar, ragu menyentuhnya.

“Kalau aku pegang ini… apa semua orang berhenti benci aku?” tanyanya getir.

Dilara menggeleng. “Aku nggak janji orang-orang berubah. Tapi kalau kamu pegang ini dengan ikhlas, hatimu yang akan berubah. Dan kalau hatimu berubah, kamu nggak lagi peduli siapa yang benci.”

Sunyi kembali menyelimuti. Hanya suara hujan di luar yang terdengar, diselingi isakan Wulan yang kian melemah.

Perlahan, sangat perlahan, Wulan meraih mushaf itu. Tangannya gemetar, seakan benda kecil itu begitu berat. Saat jari-jarinya menyentuh sampulnya, tangisnya pecah lagi—tapi kali ini bukan tangis marah, melainkan tangis lega bercampur takut.

Dilara ikut menangis, tanpa suara. Ia hanya menatap Wulan, berdoa dalam hati agar Allah benar-benar menyentuh hati temannya itu.

Namun sebelum keheningan itu bisa berubah jadi kedamaian, pintu gudang mendadak berderit keras.

BRAK!

Keduanya tersentak. Lampu minyak berayun kencang, hampir padam.

Di ambang pintu, berdiri dua santri senior yang wajahnya muram—Rani dan Salsa.

“Dilara! Kamu di sini rupanya,” suara Salsa terdengar lega sekaligus cemas. “Kami cari-cari dari tadi.”

Tatapan mereka lalu jatuh ke Wulan, yang masih memeluk mushaf sambil menangis. Ekspresi mereka berubah canggung.

Wulan buru-buru menyeka air matanya, matanya menatap tajam seolah hendak melindungi harga dirinya. “Kalian puas lihat aku kayak gini? Hah?!”

“Bukan gitu, Wulan,” ujar Rani hati-hati. “Kami… kami cuma khawatir.”

Wulan mendengus, berdiri cepat. “Sudahlah! Aku nggak butuh kalian semua. Kalau Dilara mau sok jadi malaikat, biar saja. Aku… aku nggak butuh kalian!”

Ia berlari keluar, meninggalkan gudang dengan langkah terburu-buru. Suara pintu berderit menutup, lalu sunyi kembali menelan ruangan.

Dilara ingin mengejar, tapi Salsa menahannya. “Biarkan dulu, Lar. Dia butuh waktu.”

Dilara menunduk, air mata masih membasahi wajahnya. “Aku takut, Sa. Aku takut Wulan makin jauh.”

Rani menatap lantai, rasa bersalah kembali menghantui. “Mungkin… ini semua salahku juga. Hiks hiks, mestinya kemarin saat dia menyakiti Dilara, aku tahan.”

Salsa menghela napas berat. “Bukan salah satu orang aja, Ran. Kita semua mungkin pernah menyakiti tanpa sadar. Sekarang yang penting, kita jangan berhenti mendoakan.”

Dilara menggenggam mushafnya erat. Malam itu, ia merasa semakin yakin: badai ini belum selesai. Pertemuan tadi hanya membuka pintu kecil di hati Wulan, tapi masih ada dinding tebal yang mengurungnya.

Keesokan harinya, kabar tentang Wulan yang menangis di gudang sudah menyebar. Entah siapa yang memulai, tapi gosip itu beredar cepat. Sebagian santri mulai berspekulasi bahwa Wulan memang kerasukan, sebagian lain bilang ia terkena gangguan jin karena suka menyendiri di tempat gelap.

Ummi Latifah mendengar semua itu. Beliau memanggil para musyrifah (pembina asrama) dan memberi arahan agar tidak ada gosip yang dibiarkan liar. Namun, menutup mulut banyak orang bukan perkara mudah.

Siang harinya, saat pelajaran tafsir berlangsung, Wulan masuk kelas dengan wajah tertunduk. Tatapan para santri mengikuti, sebagian dengan iba, sebagian dengan curiga.

Dilara, yang duduk di dekat depan, bisa merasakan beratnya langkah Wulan. Ia ingin bangkit menyambut, tapi ia tahu, itu hanya akan membuat Wulan merasa terpojok.

Pelajaran berjalan seperti biasa, tapi hati para santri gelisah. Suasana terasa tegang, seperti ada api yang membara di bawah abu.

Sampai akhirnya, setelah kelas bubar, seorang santri berbisik cukup keras, “Hati-hati, jangan sampai barang-barang kita diacak-acak lagi.”

Wulan berhenti di ambang pintu. Kepalanya menoleh, tatapannya menusuk.

“Apa maksudmu?” suaranya tajam.

Santri itu gugup, tapi mencoba berani. “Aku cuma bilang… kemarin ada mushaf kotor, siapa lagi kalau bukan—”

BRAK!

Sebelum kata-katanya selesai, Wulan menghantam meja dengan tangannya. Suara kayu bergetar, membuat semua orang terdiam.

“Cukup!” teriaknya dengan suara pecah. “Kalau kalian semua yakin aku yang salah, kalau kalian semua yakin aku ini najis… bilang saja! Biar aku pergi dari pondok ini!”

Ruang kelas membeku. Tidak ada yang berani bicara.

Dilara bangkit, berusaha menenangkan. “Wulan, jangan gitu—”

“Diam, Dilara!” potong Wulan, suaranya parau. “Aku muak sama kata-kata manismu. Kamu nggak tahu rasanya jadi aku!”

Matanya basah, wajahnya penuh amarah bercampur luka. Lalu, tanpa menunggu lagi, Wulan berlari keluar kelas, meninggalkan semua orang dalam keheningan yang mencekam.

Malam itu, Pondok Nurul Falah kembali diliputi kegelisahan.

Sebagian santri khawatir Wulan akan benar-benar kabur. Sebagian lain merasa takut kalau ia melakukan hal-hal berbahaya.

Di serambi rumah pengasuh, Ummi Latifah duduk termenung. Beliau menatap halaman yang diterangi lampu minyak, hujan gerimis kembali turun. Suaranya pelan ketika berbicara pada Ustadzah Halimah, salah satu musyrifah senior.

“Hati anak itu terlalu penuh luka. Aku khawatir, kalau tidak segera dituntun, setan akan mengambil alih.”

Ustadzah Halimah menunduk. “Ummi, apa sebaiknya kita pulangkan dia ke keluarganya dulu?”

Ummi Latifah menghela napas berat. “Mungkin itu pilihan terakhir. Tapi aku takut, keluarganya justru bukan tempat yang aman baginya. Kita harus cari jalan lain.”

Sementara itu, di kamarnya, Dilara berdoa lama sekali. Ia tidak berhenti menyebut nama Wulan dalam doa.

Namun di sisi lain pondok, Wulan duduk sendiri di sudut aula kosong. Ia menatap mushaf kecil yang masih ia pegang sejak malam di gudang. Tangannya gemetar, hatinya berperang.

“Ya Allah…” suaranya lirih. “Kalau Engkau benar-benar ada… kenapa aku masih merasa sepi?”

Air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini, tangisnya bukan hanya karena marah—melainkan karena hampa yang semakin dalam.

Dan entah kenapa, dari kejauhan, seolah ada bayangan hitam yang terus mengintai.

Bayangan itu bukan lagi sekadar gosip. Ia nyata, bersemayam di dalam hati yang terluka.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!