Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Revan terdiam, matanya menyipit menatap Anya. Bukan tatapan marah seperti biasanya, tapi lebih ke ... penasaran yang berbahaya. Anya bisa merasakannya, seperti hewan yang diintai predator.
"Apa maksudmu?" tanya Revan, suaranya rendah dan berat. Ada getaran yang membuat bulu kuduk Anya meremang seketika.
Anya memaksakan senyum. "Hanya ingin jadi istri yang lebih baik," jawabnya, tapi matanya terlihat menantang. Ia berbalik, langkahnya sedikit gemetar, menuju pintu keluar.
"Kau mau ke mana?" Revan meraih tangannya, cengkeramannya kuat.
Anya segera menepisnya dengan kasar.
"Bukan urusanmu," desisnya. Ia membuka pintu, membantingnya hingga bergetar. Lalu berlari ke kamar nya setelah masuk ia mengunci kamar terlebih dahulu.
Lalu bersandar di pintu kamarnya, jantungnya berdebar kencang.
Anya menatap dirinya di cermin. Pipi kirinya memerah, bekas tamparan Revan masih terasa perih. Tapi matanya ... matanya menyala. Bukan tatapan ketakutan, tapi tekad yang membara.
Ia melangkah cepat lalu membuka laci meja rias, mengambil buku catatan kecilnya. Di dalamnya tersimpan nama-nama orang yang pernah dikecewakan Revan, juga potongan-potongan informasi tentang bisnis gelapnya. Ia membacanya lagi, mencari celah, mencari cara untuk menjatuhkan pria yang telah merenggut kebahagiaannya.
Setelah selesai, Anya menyembunyikan buku itu lagi. Ia memilih pakaian yang sederhana tapi tegas: blus putih, rok hitam selutut, dan blazer abu-abu. Ia ingin terlihat profesional, bukan seperti istri yang tertekan. Ia memoles wajahnya, menyembunyikan memar dengan hati-hati. Lipstik merah menyala di bibirnya, simbol keberanian yang baru ditemukannya.
Saat melewati ruang keluarga, ia melihat Nyonya Ambar sedang menonton televisi. Tatapannya kosong, seperti pikirannya melayang entah ke mana. Nyonya Ambar menoleh, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Mau ke mana, Anya?" tanyanya. Senyum itu tidak mencapai matanya.
Anya ragu sejenak. Berbohong adalah kebiasaan buruk, tapi kejujuran bisa jadi lebih berbahaya.
"Ke toko buku, Ma," jawabnya, berusaha terdengar santai.
"Mau cari referensi desain terbaru." jelasnya lanjut.
Nyonya Ambar mengangguk pelan. "Hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam. Revan tidak suka kalau kamu keluar sendirian."
"Iya, Ma," jawab Anya. Ia melewati Nyonya Ambar, merasakan tatapannya membakar punggungnya. Ia tahu, wanita itu tidak sepenuhnya percaya padanya.
Di luar, udara pagi terasa dingin. Anya berjalan cepat menuju halte bus. Ia mengeluarkan ponselnya, mencari nomor yang sudah lama tersimpan. Pak Bram, mantan akuntan Revan. Ia pernah mendengar desas-desus tentang perselisihan mereka. Mungkin Pak Bram bisa membantunya.
Anya menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol panggil.
"Halo, selamat pagi," sapa Anya, berusaha terdengar percaya diri.
"Saya Anya, istrinya Revan. Maaf mengganggu, tapi saya ingin bertemu dengan Bapak. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."
Terdengar jeda yang cukup lama di seberang sana.
"Nona Anya? Saya tidak yakin ..."
"Ini tentang Revan," potong Anya cepat.
"Saya tahu Anda pernah bekerja dengannya. Saya yakin Anda tahu banyak hal. Saya mohon, beri saya kesempatan."
Hening sejenak. "Baiklah," jawab Pak Bram akhirnya. "Temui saya di Cafe Senja jam sepuluh pagi."
Anya menghela napas lega.
"Terima kasih banyak, Pak Bram. Saya sangat menghargainya."
Ia menutup telepon, tersenyum tipis. Langkah pertama telah diambil.
Bus datang, Anya naik dan mencari tempat duduk kosong. Ia mengeluarkan buku desain dari tasnya membukanya asal-asalan. Pikirannya tidak ada di sana.
Ia terus memikirkan pertemuannya dengan Pak Bram. Apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia bisa meyakinkannya untuk membantunya?
Bus berhenti di dekat toko buku yang tadi ia sebutkan pada Nyonya Ambar. Anya turun dan berjalan masuk, hanya untuk memastikan ia terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Ia melihat-lihat rak buku desain, pura-pura tertarik pada sampul-sampulnya. Seorang pramuniaga mendekat, menawarkan bantuan.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
Anya tersenyum ramah. "Tidak, terima kasih. Saya hanya melihat-lihat." Ia mengambil beberapa buku, membawanya ke kasir. Ia membayar dengan uang tunai, lalu keluar dari toko.
Waktunya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Anya berjalan menuju Cafe Senja, jantungnya berdebar semakin kencang. Ia melihat Pak Bram duduk di pojok cafe, wajahnya terlihat lelah dan khawatir. Anya mendekat, menarik napas dalam-dalam. Saatnya memulai permainan.
"Selamat pagi, Pak Bram," sapa Anya, mengulurkan tangannya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk saya." sapa Anya sopan.
Pak Bram menjabat tangannya singkat, tatapannya menyelidik.
"Silakan duduk, Nona Anya. Saya penasaran, apa yang membuat Anda ingin bertemu dengan saya?"
Anya duduk di hadapan Pak Bram, mengatur napasnya. "Saya ingin tahu tentang bisnis Revan," jawabnya langsung. "Saya tahu ada banyak hal yang tidak beres. Saya ingin tahu kebenarannya."
Pak Bram terdiam, matanya memandang Anya dengan ragu. "Saya tidak bisa membantu Anda, Nona Anya. Revan adalah orang yang berbahaya."
"Saya tahu," ujar Anya.
"Tapi saya tidak takut. Saya ingin menghentikannya. Saya mohon, bantu saya." mohon Anya.
Anya menatap Pak Bram dengan tatapan memohon. Ia tahu, ini adalah kesempatannya. Ia harus meyakinkannya.
"Apa yang akan Anda lakukan dengan informasi ini?" tanya Pak Bram, suaranya pelan.
Anya menarik napas dalam-dalam. "Saya akan membongkar semua kejahatannya," jawab Anya dengan suara bergetar, namun penuh tekad. "Saya akan memastikan dia membayar semua yang telah dia lakukan."
Pak Bram menatap Anya lekat-lekat, seolah mencoba membaca pikirannya. Wajahnya penuh keraguan, namun ada secercah harapan di matanya. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya.
"Revan ..." Pak Bram memulai, suaranya lirih.
"Dia membangun kerajaannya di atas kebohongan dan pengkhianatan. Dia tidak peduli dengan siapa pun, asalkan dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Pak Bram mulai bercerita. Tentang pemalsuan dokumen, tentang pencucian uang, tentang ancaman dan intimidasi yang dilakukan Revan kepada para pesaingnya. Anya mendengarkan dengan seksama, mencatat semua informasi yang diberikan Pak Bram di dalam benaknya.
"Saya tahu ini berbahaya," kata Pak Bram, suaranya bergetar.
"Tapi saya sudah tidak tahan lagi. Saya ingin keadilan ditegakkan."
"Saya akan memastikan itu terjadi," kata Anya, menggenggam tangan Pak Bram dengan erat.
"Saya tidak akan mengecewakan Anda."
Setelah beberapa jam berbicara, Anya berpamitan kepada Pak Bram. Ia mengucapkan terima kasih atas bantuan dan keberaniannya. Ia tahu, informasi yang diberikan Pak Bram sangat berharga. Ia memiliki cukup bukti untuk menjatuhkan Revan.
Anya keluar dari Cafe Senja, merasa lebih kuat dan bersemangat dari sebelumnya. Ia berjalan menuju halte bus, tersenyum tipis. Ia telah mendapatkan apa yang ia butuhkan.
Namun, saat ia menunggu bus datang, ia merasakan seseorang mengawasinya. Ia menoleh ke sekeliling, namun tidak melihat siapa pun yang mencurigakan. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis perasaan tidak enak itu. Mungkin hanya perasaannya saja, batinnya.
Bus datang, Anya naik dan mencari tempat duduk kosong. Ia mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi pengacaranya. Ia ingin memberitahukan tentang perkembangan terbaru.
Namun, sebelum ia sempat menghubungi siapa pun, ia merasakan seseorang menepuk bahunya. Anya menoleh, dan jantungnya langsung berdebar kencang.
# Bersambung ...