SEMALAM DENGAN TEMAN KAKAKKU

"Hah?" Mata Keira berkedip cepat beberapa kali, tak percaya dengan fakta yang barusan ia dengar. "Apa?"

"Ini mungkin kedengarannya konyol," Reynald menghela napas panjang. "Tapi aku serius,"

Reynald menjeda kalimatnya dan menatap Keira. "Setiap kali bertatapan sama kamu, ada dorongan dalam diriku yang menyuruh untuk memeluk dan menciummu. Aku khawatir kalau terus terusan menatap kamu, nantinya aku tidak bisa menahan diri,"

Keira hanya bisa melongo mendengar penjelasannya Reynald. "Jadi, itu alasannya Lo cuekin gue? Terus, apa sekarang Lo juga ngerasa begitu juga waktu ngelihat gue?"

Reynald menundukkan kepala, wajahnya terlihat memerah karena malu. "Iya. Aku sekarang sedang berusaha menahan diri sekuat tenaga. Tapi, tenang saja, aku tidak akan memaksa kamu. Kalau kamu tidak mau, aku juga tidak akan melakukannya. Ya walaupun mungkin aku akan kelepasan sedikit,"

Keira menghela napas kasar, sampai sekarang ia masih tak percaya dengan ucapan Reynald. Masa sih alasannya begitu? Nggak masuk akal banget.

"Gue masih nggak percaya," Keira akhirnya mengatakannya. "Itu pasti cuma alasan yang sengaja Lo buat-buat kan?"

Reynald menatap gadisnya itu dengan wajah frustasi. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Udahlah, jujur aja sama Gue," Keira melipat tangannya di depan dada. "Sebenarnya, Lo udah tertarik sama Marisa dan nggak suka sama gue lagi kan, tapi nggak enak ngomongnya, makanya pakai cari alasan begitu,"

Reynald terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu terlalu banyak membuat skenario, little girl,"

"Soalnya alasan Lo itu nggak masuk akal!" Keira tetap bersikeras. "Lebih masuk akal kalau Lo ngomong Lo itu udah nggak suka lagi sama gue karena udah ada Marisa yang lebih cantik, lebih pinter dan lebih wow dari Gue!"

Reynald mengangkat tangannya dan menangkup kedua pipi Keira dengan lembut. Ia menekan pelan, membuat bibir mungil Keira ikut terjepit manja. Tatapan matanya melembut, senyum tipis muncul tanpa bisa ditahan.

"Kamu gemesin banget kalau lagi cemburu, sayang,"

Keira mendengus. "Siapa yang cemburu?!"

Reynald tertawa. "Marisa itu cuma rekan kerja," Ia dengan sabar menjelaskan. "Kebetulan dia adalah pengacara yang direkomendasikan Raka untuk membantuku menangani kasus. Mungkin kamu sudah pernah dengar dari Raka sebelumnya, kalau aku sedang ada masalah di sini,"

Reynald melepaskan tangannya dari pipi Keira, kali ini mengelus-elus rambutnya. "Salah satu alasan aku kembali ke sini adalah untuk mendapatkan kembali rumah milik mendiang ibuku, yang sekarang dikuasai oleh istri muda Ayah,"

Keira sekarang menatap pria tampan itu dalam diam, menyimak cerita.

"Rumah itu dibangun Ibu jauh sebelum ia menikah dengan Ayah. Sejak dulu, Ibu bermimpi bisa menata keluarga bahagia di rumah impiannya. Karena itu, selama hidupnya, Ibu selalu berusaha membuat kenangan indah bersama kami. Namun, sejak kehadiran wanita itu di rumah kami, segalanya berubah."

Reynald menghela napas dalam-dalam sambil menatap menerawang ke depan, seolah sedang membangkitkan kenangan yang menyakitkan hati.

"Wanita itu adalah pembantu yang dibawa ayah untuk membantu Ibu. Tapi, setelah wanita itu datang, Ibu malah sakit-sakitan dan jadi pemurung. Aku sering tidak bertemu Ibu beberapa hari karena Ibu sering keluar masuk rumah sakit. Dan pada saat itu, aku melihat ayah bermesraan dengan wanita itu,"

Mata Keira terbelalak. "Lo...eh, Kak Reynald, mergokin mereka selingkuh?'

Reynald menoleh ke arah Keira sambil tersenyum miris. "Iya. Dan kamu tau berapa umurku saat itu?"

Keira tidak menjawab, hanya menatap penasaran.

"Sepuluh tahun," Jawab Reynald yang membuat Keira makin kaget. Lalu Reynald melanjutkan. "Beberapa tahun kemudian, penyakit ibu semakin parah, dan akhirnya ia meninggal saat umurku lima belas tahun,"

Keira merasa hatinya ikut teriris saat melihat wajah sedih Reynald. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan pria itu dengan erat, membuat Reynald sedikit terkejut dan menatapnya.

"Gue... nggak tau kalau Lo punya pengalaman yang sesedih itu,"

Reynald tersenyum. "Itu sudah berlalu, tidak perlu bersimpati,"

Keira menipiskan bibir. "Tetap saja, rasanya tidak nyaman mendengar cerita sedih seseorang tanpa bersimpati,"

Senyum Reynald merekah karena ia teringat kenangannya bersama Keira dulu.

"Saat itu kamu juga menghibur aku," Kata Reynald kemudian. "Apa kamu ingat?"

Keira meringis dan menggeleng. "Gue nggak inget,"

"Tidak masalah," Reynald mengelus pipi Keira dengan lembut. "Biar aku yang mengingat semuanya. Kamu hanya perlu menerima perasaanku saja,"

Keira menelan ludah, menatap pria di hadapannya dengan seksama. Wajah pria itu terlihat begitu tulus. Bukankah Keira akan terlihat sangat jahat jika menolaknya sekarang?

"Little girl," Reynald memanggilnya lembut. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?"

Keira lagi-lagi menelan ludah, bingung mau menjawab apa. Di saat seperti itu, ucapan Selina tiba-tiba kembali terngiang di ingatannya.

"Saran Gue sih Kei. Lo jujur aja deh sama perasaan Lo. Sebelum Lo kehilangan dia nanti, dan Lo nyesel,"

Tangan Keira yang menggenggam tangan Reynald terkepal kuat, membuat Reynald heran.

"Little girl, kamu kenapa? Apa ucapan ku tadi membuat kamu nggak nyaman? Maaf, apa aku terlalu memaksa kamu?"

Keira menggelengkan kepalanya. "Gue.. belum tau gimana perasaan Gue yang sebenarnya," ucapnya kemudian dengan nada lirih. Reynald menghela napas panjang, lalu tersenyum.

"Iya, maaf. Aku tidak akan memaksa kamu untuk menjawabnya sekarang,"

"Tapi..." Keira menggantung kata-katanya, tampak ragu untuk melanjutkan. Reynald menatapnya dengan seksama, menanti kelanjutan ucapannya.

"Gue...nggak suka kalau Lo deket sama cewek lain,"