Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Bujukan Ibu Nur
Nissa merasa dua hari terakhir yang dilaluinya terasa begitu tenang. Bahkan terasa sangat tenang. Dimana Nissa yang awalnya masih didera rasa takut, kini sudah beraktifitas seperti biasa. Pagi merawat kebun bunga dan membantu Mbok Nah yang dua hari kemarin tidak datang dikarenakan sakit, siangnya ia gunakan untuk belajar, dan sore harinya Nissa pergunakan untuk merawat kebun sayur di belakang rumah.
Semua itu Nissa jalani seperti biasanya. Hanya saja, tanpa bisa Nissa cegah, hatinya terus memikirkan apa yang pernah dikatakan oleh sang juragan dua hari yang lalu.
''Aku adalah calon suaminya"
Sebaris kalimat pendek tersebut nyatanya sanggup mengusik ketenangan Nissa. Diam-diam menyusup hingga membuatnya merasa tidak tenang.
Ditambah lagi dengan sikap sang juragan yang semakin intens dalam mengajaknya berbicara. Tak peduli jika Nissa sedang sibuk mengurus kebun bunga atau sayuran sampai memasak, pria dewasa itu pasti akan menyempatkan waktu untuk berbicara dengannya.
Dulu, Nissa masih bisa sedikit tenang karena adanya Lala yang selalu berada di dekatnya. Tapi sekarang, gadis yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri itu seakan menjadi orang paling sibuk di dunia demi menghindari pria yang pulang bersama juragannya.
Bahkan kemarin malam, hidung pria itu berdarah ditonjok oleh Lala, entah karena apa.
Herannya, bukannya pria itu berhenti mengganggu Lala, pria yang terlihat tak pernah bersikap serius itu justru terkekeh dan tak pernah kapok untuk mengusili Lala.
Hahhh...
Nissa sedikit bingung dengan situasi yang ada saat ini. Sambil membantu menyiangi kangkung yang baru dipetik dari kebun belakang, Nissa mencoba mencari tahu mengenai apa yang sebenarnya ia rasakan.
"Nis... "
Panggilan bernada lembut tersebut pada akhirnya bisa menarik Nissa dari lamunannya.
Gadis yang pagi ini mengikat rambut panjangnya menggunakan karet bekas bungkus belanjaan itu menoleh ke belakang dan mendapati malaikat penolongnya entah sudah sejak kapan telah duduk di kursi meja makan.
"Sini, nenek mau ngomong sedikit sama kamu."
Tentunya Nissa tak akan menunggu disuruh dua kali untuk menuruti apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya yang baik hati itu.
Setelah mencuci tangannya dan menyerahkan kangkung yang belum selesai disiangi kepada mbok Nah yang senyum-senyum saat menatapnya, walau bingung dengan reaksi wanita paruh baya yang juga sama baiknya itu, Nissa mencoba mengabaikannya dan kemudian melangkah untuk mendekati sang tuan rumah.
"Duduk, Nis."
Nissa menurut.
Setelah menarik kursi di sebelah kiri malaikat baik hati itu dan duduk di sana, Nissa memandangi wanita paruh baya itu dengan sorot yang dipenuhi dengan banyak pertanyaan.
Ibu Nur sendiri tentu mengetahui semua kebingungan yang sedang dirasakan oleh gadis yang masih sangat belia itu. Tetapi, rencana Armand untuk menikahi gadis itu sudah bulat, persiapannya juga sudah mencapai 60%, jadi tidak mungkin bagi ibu Nur untuk membiarkan Nissa terus berada dalam ketidak-tahuannya.
Sebagai ibu dari mempelai pria dan juga bertindak sebagai nenek angkat dari gadis yang masih sangat belia itu, ibu Nur merasa wajib untuk menjadi pengikat dalam hubungan mereka.
"Begini, nak, soal omongannya Armand tempo hari," ibu mulai berucap. Saat melihat kedua mata Nissa membola, ibu Nur kembali berkata, "Kamu pasti merasa bingung dan nggak tau mesti ngapain 'kan, nak? Kamu juga pastinya lagi mikirin macam-macam di kepalamu itu?"
Nissa mengangguk jujur. "Iya, Nek. Saya jadi merasa semakin menjadi beban bagi Nenek sekeluarga. Saya tau niat juragan Armand baik dengan mengatakan hal itu demi melindungi saya, tapi tetap saja saya merasa nggak en... "
"Niat Armand bukan hanya sekedar untuk melindungimu, Nis."
"Maksud nenek?" Nissa mengerjap bingung. Entah mengapa hatinya berdetak kencang, seakan-akan bisa merasakan bahwa akan ada hal mengejutkan yang terjadi padanya nanti.
"Armand itu benar-benar serius ingin menikahi kamu, Nis. Dan dia juga sudah mempersiapkan semuanya. Tinggal menunggu persetujuan dari kamu saja."
"Tapi, Nek... "
"Dengerin Nenek dulu, nak." ibu Nur memotong seraya menggenggam lembut tangan gadis yang wajahnya tampak pias tersebut. Rona yang perlahan surut dan tergantikan dengan warna pucat menerbitkan seulas senyum penuh pengertian di bibirnya. "Nenek tau, seharusnya ini tugasnya Armand untuk mengatakan hal ini sama kamu. Kalian mestinya bicara dari hati ke hati, agar kalian bisa semakin merasa dekat. Tapi, di sini Nenek bertindak sebagai ibu dari pihak laki-laki yang ingin membina rumah tangga denganmu dan juga nenek bertindak sebagai nenek angkatmu, nenek merasa perlu untuk berbicara denganmu."
Nissa diam membisu.
Sejujurnya, kata pernikahan tidak pernah ada dalam pikirannya. Bukan hanya karena usianya yang masih sangat muda, tetapi karena Nissa sadar bahwa dengan statusnya yang tidak jelas siapa ayahnya, tidak akan ada satu keluarga pun yang mau menerima anak yang dihasilkan dari luar pernikahan sepertinya. Meski mendiang ibunya pernah berkata jika pernah menikah siri dengan pria yang tak pernah sekali pun Nissa lihat wajahnya itu, tetap saja pernikahan mereka tidak diakui oleh hukum.
Boleh saja orang-orang berkata jika dirinya adalah sosok pendiam dan seolah tak mengerti situasi yang menimpanya. Namun, Nissa memahami semua. Dari statusnya tak bisa dibanggakan sampai cibiran-cibiran mengenai statusnya itu.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, Nis?" tanya ibu Nur setelah membiarkan gadis belia itu merenung sejenak. "Kamu boleh jujur mengatakan apa yang kamu rasakan, khususnya bagaimana perasaanmu terhadap Armand?"
"Saya nggak ngerti apa itu cinta, Nek."
Jawaban yang terdengar sangat jujur tersebut ditanggapi ibu Nur dengan anggukkan mengerti dengan disertai seulas senyuman. "Kalau gitu, boleh Nenek tau, apa yang kamu rasakan terhadap anak Nenek yang udah ngebet banget pengen nikahin kamu itu?"
Nissa kembali terdiam selama beberapa detik. Setelahnya, dipandanginya wanita paruh baya yang sangat baik hatinya itu seraya menjawab, "Saya merasa sangat aman saat berada di dekatnya. Berada di dekatnya terkadang membuat saya merasa bahwa nggak ada yang perlu saya takutkan lagi."
"Hatimu berdebar nggak saat ada di dekatnya?"
Nissa mengangguk, walau ia sendiri sebenarnya tidak mengerti apakah debaran di hatinya itu bisa disebut dengan cinta.
"Kalau gitu, mau dengerin sedikit saran dari nenek?" suara ibu terdengar begitu lembut saat menanyakan hal tersebut. Begitu melihat Nissa mengangguk pelan, ibu Nur kembali berkata, "Begini, Armand 'kan rencananya mau bawa kamu ke kota kalau misalkan kalian jadi menikah. Dia bilang, selain bisa menjauhkan kamu dari omongan-omongan yang menyakitkan, kamu jika bisa belajar dengan tenang di sana untuk mengikuti ujian. Nah, kalau sekiranya menurutmu keinginan Armand itu baik untuk kamu jalani, setujui lah untuk menikah dengannya. Dia memang orangnya sedikit kaku. Nggak kayak temannya yang tingkahnya bikin ngelus dada itu. Tapi, Nenek berani jamin kalau dia akan menjadi suami yang akan mengutamakan kebahagiaanmu. Dia juga akan mengupayakan untuk memberikan segala yang terbaik untukmu. Dan yang perlu kamu tau, kamu adalah satu-satunya perempuan yang bisa mencairkan lagi hatinya yang sudah lebih dari 6 tahun membeku. Jadi, Nis, Nenek harap kamu mempertimbangkan saran dari Nenek ini. Cobalah buka hati untuknya dan jadilah pelabuhan terakhir untuknya."
Nasehat panjang yang lebih terasa seperti bujukan tersebut membuat Nissa tak sanggup berkata-kata. Helaan napasnya terdengar berat, seolah ada beban yang menghimpit dadanya.
*****
"Masak sih mas Armand mau nikah lagi?"
"Bukannya selama ini dia belum menikah karena nggak bisa menemukan pengganti yang melebihi aku."
"Aku yakin kalau sebenarnya mas Armand masih cinta sama aku. Cuma dia gengsi aja buat ngakuin itu."
"Lalu... "
Lina seketika terdiam. Kening wanita yang sedang duduk berselonjor di atas sofa itu berkerut kala memikirkan satu hal yang terus saja mengusik ketenangannya selama beberapa hari terakhir.
Ponsel di pangkuan Lina yang menyala terabaikan. Pikirkannya kini malah penuh dengan segala hal yang benar-benar tak disukainya.
Selama ini Lina memiliki keyakinan yang begitu besar. Keyakinan akan cinta sang mantan suami yang tidak akan mudah untuk menempatkan wanita lain di hatinya untuk menggantikan dirinya.
Terbukti selama lebih dari 6 tahun terakhir mantan suaminya itu masih betah menyandang status duda. Bahkan seringkali wanita yang berusaha mendekatinya selalu ditolak sebelum wanita itu sendiri melakukan pendekatan lebih jauh.
Tapi sekarang, setelah mengetahui mantan suaminya membeli rumah dengan fantastis, mau tak mau Lina terus saja kepikiran.
Hati wanita itu berdebar dengan rasa tak mengenakan. Kepalanya terus saja menggeleng, menolak untuk mengakui jika tidak ada lagi dirinya di hati pria bernama Armand Rizaldi.
"Nggak, mas Armand nggak mungkin bisa semudah itu menemukan pengganti aku." Lina menggeleng. Mati-matian dirinya menolak fakta jika cinta pria itu sudah tidak ada lagi untuknya.
"Pokoknya mas Armand nggak boleh ngelupain aku. Dia selamanya hanya boleh mencintaiku. Apapun caranya, akan 'ku buat dia kembali padaku dan berlutut mengemis cin... "
"Kamu ngapain sih, Lin, dari tadi ngomong sendiri. Mana sambil geleng-geleng kepala lagi. Udah kayak orang nggak waras aja."
Lina mendengus. Wanita yang tak ingin mengakui kenyataan tersebut mencibir kesal saat melihat siapa yang sudah mengatainya tidak waras tadi.
Indriyani, wanita paruh baya dengan dandanan ala kaum sosialita kelas itu menepuk kakinya agar bisa duduk di dekatnya. Sang ibu tercinta, yang selalu mendukungnya, tidak peduli segila apapun jalan yang sudah Lina ambil.
Tidak ada kata yang Lina ucapkan untuk menimpali perkataan ibunya tadi. Sebaliknya, Lina malah menanyakan, "Tumben Mama pulangnya awal begini? Sengaja pulang awal atau bosan ngeladenin omongan teman-teman Mama yang membosankan itu? Udah bosen ya bikin acara alasannya cuma arisan, padahal lagi ngundi brondong, kan?"
Indriyani berdecak. Merasa kesal karena putri sulungnya itu selalu saja mengejek kebiasaannya saat berkumpul bersama beberapa temannya.
Sadar jika dirinya tidak akan pernah menang dalam meladeni omongan anaknya, Indriyani, atau yang biasa disapa Indri itu mengibaskan tangan, "Halah... nggak usah deh bahas soal Mama. Masih mending Mama yang punya kesibukan. Dibandingkan kamu, kerjaannya nguntitin mantan mulu. Emang nggak capek apa, Lin, ditolak terus sama mantan suamimu itu?"
"Aku masih cinta sama dia, Ma."
"Prettt... " Indriyani mencibir anaknya. "Kalau emang cinta, kenapa dulu kamu sampai selingkuh, coba? Emangnya Armand sendiri aja nggak cukup ngegaruk vag*namu yang gatal itu?"
"Emang nggak cukup." Lina mengedikkan bahunya santai. Bersama ibunya, Lina tak merasa perlu menyembunyikan apapun. "Aku pengennya 'dihentak' dengan kasar bila perlu sampai pingsan, eh malah mas Armand terlalu berhati-hati. Mana waktunya nggak bisa seratus persen buat aku lagi. Pikirannya selalu aja dipenuhi sama nenek tua itu. Aku 'kan kesepian, Ma, tiap kali dia pulang ke sana. Makanya nggak ada salahnya 'kan, kalau aku bawa laki-laki lain buat menghangatkan ranjangku."
"Emang kegatelan kamu tuh." ucap Indriyani santai sembari menyandarkan punggungnya di sandaran sofa yang ia duduki. "Tapi kamu juga nggak boleh terus merendahkan harga dirimu begitu. Kalau dia udah nggak mau lagi, ya cari aja yang melebihi dia dalam segala hal." imbuhnya mencoba membuka pikiran anaknya yang sudah dipenuhi dengan obsesi terhadap mantan menantunya itu.
"Tapi aku nggak rela kalau mas Armand nikah lagi, Ma."
"Hah?" Indriyani mengernyit. Ditolehkannya kepalanya ke arah putrinya itu dengan kernyitan yang terlihat semakin jelas di keningnya, "Maksud kamu apa?"
"Mas Armand kayaknya mau nikah lagi deh, Ma. Soalnya dia baru aja beli rumah." kekesalan, marah serta iri tampak jelas dari ekspresi dan sorot mata Lina saat menjawab pertanyaan ibunya itu. "Mana rumahnya jauh lebih bagus daripada rumah yang kami tempati dulu dan dikasihnya begitu aja buatku setelah kami bercerai."
"Serius kamu, Lin?" Indriyani terlihat meragukanmu apa yang baru saja didengarnya.
Lina mengangguk tegas meski raut wajahnya semakin kesal dan juga iri. "Aku serius, Ma. Beberapa hari yang lalu aku nggak sengaja ngeliat dia sama si Daffa lagi ngeliatin rumah di kompleks perumahan tempat Sela tinggal. Dan Mama tau berapa harga rumahnya itu?" tanya Lina sambil menatap ibunya yang juga sedang membalas tatapannya.
"Memangnya berapa harganya?"
"Si Sela bilang, rumah yang dibeli sama mas Armand itu harganya bisa 3-4 kali lipat dari harga rumah yang dia tempati."
"Gila." Indriyani menggumam seraya menggelengkan kepala, tak menyangka jika mantan menantunya itu mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk membeli sebuah rumah.
Ya, memang gila...
Lina juga berpikir jika mantan suaminya itu memang sudah gila.
Namun yang jadi pertanyaan, kegilaan mantan suaminya itu karena siapa?
Untuk siapa rumah itu dibeli?